oleh Johnson
Berdasarkan pengertian dari UNESCO, Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage) adalah merujuk pada tradisi-tradisi dan budaya hidup yang diwariskan secara turun-temurun dari para leluhur kepada generasi-generasi selanjutnya, termasuk namun tidak terbatas pada: transmisi lisan, seni-seni pertunjukan, praktik-praktik sosial, ritual, festival-festival tertentu, pengetahuan, dan berbagai praktik lainnya yang berkaitan dengan lingkungan dan alam semesta, serta termasuk pula pengetahuan dan keahlian-keahlian untuk menghasilkan suatu karya tradisional tertentu. Ribuan karya budaya tak benda telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang dikelola oleh Pemerintah Indonesia. Lebih jauh lagi, bahkan terdapat 13 warisan budaya tak benda tersebut yang telah diakui dan dilindungi oleh UNESCO, antara lain seperti: kesenian wayang, batik, tari Saman, dan sebagainya, di mana jamu merupakan warisan budaya tak benda terbaru yang diakui oleh UNESCO di tahun 2023.
Hingga akhir tahun 2023, tercatat ada 1.941 karya budaya tak benda yang telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang dikelola oleh Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di tahun 2024 ini pun tercatat ada 272 karya budaya tak benda yang baru yang sedang dalam proses penetapan oleh Kemdikbud.
Terlepas dari semua itu, sayang sekali bahwa hingga saat ini belum ada sama sekali upaya ke arah tersebut untuk apa yang disebut sebagai “ilmu terima kasih” yang telah diwariskan oleh Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dari Sriwijaya sejak abad ke-10 Masehi dan masih lestari hingga saat ini.
Pada periode sekitar abad ke-10, Sriwijaya menjadi sebuah pusat kebudayaan yang sangat masif di dunia. Musafir-musafir dari berbagai belahan dunia datang dan mampir di Sriwijaya, baik untuk belajar bahasa maupun belajar ilmu-ilmu filsafat dan ilmu keagamaan. Salah satu ilmu pamungkas Guru Suwarnadwipa ketika itu adalah apa yang disebut sebagai instruksi untuk berlatih membangkitkan batin altruistik sejati (bodhicita). Bahkan banyak sekali pandita besar dari India yang datang ke Sriwijaya semata-mata untuk mendapatkan ilmu tersebut dari Guru Suwarnadwipa. Termasuk di antaranya adalah Guru Atisha, seorang pandita besar dari Bengal, India, yang kemudian menjadi sangat terkenal karena membawa ilmu tersebut dan menyebarkannya secara luas di Tibet.
“Altruisme” sendiri sebenarnya adalah sebuah istilah yang cukup baru, yang dipopulerkan oleh seorang filsuf Perancis, Auguste Comte di abad 18 Masehi, sebagai lawan kata dari “egoisme”. Istilah tersebut diambil beliau dari kata “alteri” dari bahasa Latin yang berarti “orang lain”. Jadi altruisme ini merupakan sebuah prinsip untuk mementingkan kebahagiaan orang lain di atas kebahagiaan diri sendiri. Hingga sekarang, konsep altruisme ini telah menjadi sebuah topik studi yang sangat besar di dalam tataran ilmu psikologi modern.
Meskipun belum dikenal dengan istilah “altruisme” ketika itu, prinsip mementingkan kebahagiaan orang lain di atas kebahagiaan diri sendiri telah diajarkan oleh Buddha sejak abad ke-6 SM. Ini bahkan menjadi topik pelajaran utama yang diajarkan oleh Buddha yakni bahwa: kebahagiaan sejati dikatakan baru bisa dicapai ketika seseorang telah terbebas dari pandangan salah yang lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Sekilas terdengar seperti paradoks, bukan?
Namun, dewasa ini, orang-orang baru mulai memahami hal tersebut dan menyebutnya sebagai Paradoks Kebahagiaan, yakni bahwa ketika kita semakin mengejar kebahagiaan untuk diri kita sendiri maka kita akan semakin menderita dan sebaliknya ketika kita berusaha untuk memberikan kebahagiaan kepada orang lain maka justru kita akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih bernilai tinggi dan bertahan lama. Penelitian di tahun 1980 oleh Hunter & Linn menunjukkan bahwa orang-orang yang senang membantu dan berderma cenderung memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi dan bahkan memiliki tingkat depresi yang sangat rendah ketika mereka tua. Penelitian-penelitian lebih lanjut (antara lain: Moen et al. 1992, Musick MA & Wilson J., 2003, Otake et al. 2006 dan sebagainya) bahkan menemukan bahwa aktivitas kebaikan hati, misalnya menjadi sukarelawan (volunteerism) dan sebagainya dapat meningkatkan tingkat kebahagiaan dan kesehatan mental seseorang, menurunkan risiko terkena penyakit, dan bahkan dapat menurunkan tingkat kematian hingga 44%.
Demikian pulalah yang diajarkan oleh Guru Suwarnadwipa dan menjadi harta yang dicari-cari oleh para musafir dunia. Ada dua instruksi utama yang diwariskan oleh Guru Suwarnadwipa, yakni: 1) Instruksi Tujuh Tahap Sebab Akibat, dan 2) Instruksi Menyetarakan serta Menukar Diri. Esensi dari kedua instruksi ini adalah serangkaian tahapan latihan meditatif yang dapat membuat orang memiliki sifat altruistik sejati, yakni: mengambil penderitaan orang lain untuk diri sendiri dan memberikan kebahagiaan diri sendiri kepada orang lain. Kedua aspek latihan meditatif inilah yang kemudian tercermin dalam sebuah kata: “Terima Kasih” yakni: MENERIMA penderitaan orang lain dan MENGASIHKAN kebahagiaan kita kepadanya.
Konsep berterima kasih juga dapat diamati dalam berbagai budaya dan bahasa di dunia. Sebagai contoh, asal kata “thank you” dalam bahasa Inggris dapat ditelusuri hingga ke abad ke-13 dan memiliki korelasi dengan kata “think/thought” yang berarti berpikir/pemikiran. Jadi mengucapkan “thank you” memiliki konotasi “saya memiliki pemikiran yang baik untuk Anda”. Kata “merci” dalam bahasa Perancis berasal dari istilah dalam bahasa Latin yang bermakna “pembayaran dan membalas budi”. Kata “grazie” dalam bahasa Italia dan kata “gracias” dalam bahasa Spanyol berasal dari istilah lain dalam bahasa Latin yang bermakna “bersyukur”. Kata “obrigado” dalam bahasa Portugis juga berasal dari bahasa Latin “obligo” yang bermakna “saya berutang/memiliki suatu kewajiban kepada Anda”. Kata “arigato” dalam bahasa Jepang dapat ditelusuri dari dua kata yang bermakna “sesuatu yang sulit diperoleh”, jadi terima kasih dalam bahasa Jepang pada dasarnya mengandung makna bahwa “Anda telah melakukan sesuatu yang sangat sulit/langka”.
Semua makna kata berterima kasih yang terkandung secara lintas bahasa di atas pun terangkum secara sangat lengkap di dalam instruksi yang diajarkan oleh Guru Suwarnadwipa. Dalam bahasa yang dipermudah, Guru Suwarnadwipa mengajarkan bahwa:
Pertama-tama, berlatihlah menyeimbangkan batin terlebih dahulu dalam melihat tiga jenis orang, yakni: yang kita cintai, yang kita musuhi dan yang tidak kita kenal;
Kemudian, kenalilah mereka semua sebagai orang yang telah berjasa sangat besar kepadamu;
Ingat kembali apa saja jasa orang-orang tersebut kepadamu;
Bangkitkan keinginan untuk membalas jasa mereka;
Lihatlah semua orang sebagai orang yang terkasih dan berikanlah kebahagiaan kepada mereka (“KASIH” kebahagiaanmu kepada mereka);
Kasihanilah mereka dan ambil penderitaan mereka (“TERIMA” penderitaan mereka);
Jadikan sebagai komitmen pribadi untuk bertanggung jawab terhadap semua orang;
Jadikan praktik altruistik ini sebagai praktik utama sehari-hari yang berkesinambungan.
Semua ini tentu saja merupakan sebuah instruksi latihan yang sangat komprehensif dan harus dilatih secara bertahap dan intensif. Psikologi modern bahkan telah mulai mengadaptasi ilmu kuno ini menjadi berbagai metode untuk mengatasi permasalahan manusia khususnya yang terkait dengan kesehatan mental (mental wellness).
Instruksi ini tercatat dalam karya-karya asli Guru Suwarnadwipa, antara lain di dalam teks yang berjudul “Tujuh Poin Latihan Batin” yang disusun oleh beliau di tanah Sriwijaya. Lebih lanjut, di abad ke-15, ilmu ini juga pernah tercatat pada sebuah kitab yang berjudul “Latihan Batin Laksana Sinar Mentari” yang disusun oleh Je Tsongkhapa Lobsang Dragpa dan Namkha Pel di Tibet. Di abad modern ini, ilmu ini juga mulai diadaptasikan ke dunia sekuler oleh Thubten Jinpa, Ph.D. menjadi sebuah program bernama Compassion Cultivation Training (CCT) di Stanford University, Amerika Serikat, dan telah memberikan manfaat yang luar biasa besar bagi banyak orang.
Namun, sayangnya, Indonesia sendiri sepertinya belum berhasil menggali kembali harta yang yang masih terkubur ini. Padahal, dipercaya bahwa ilmu inilah yang telah dipraktikkan oleh leluhur bangsa Indonesia sejak dahulu kala sehingga orang-orang Indonesia sampai sekarang pun dikenal sebagai orang yang sangat ramah, murah senyum, suka menolong, dan berbudi luhur.
Tanggung jawab pelestarian warisan budaya tak benda ini tidak hanya terletak pada pundak pemerintah, tapi juga pada komunitas, masyarakat dan juga individu, karena terdapat dua cara untuk melestarikan ilmu seperti ini. Yang pertama adalah pencatatan, penyimpanan dan penetapan secara kelembagaan untuk menjamin keberlangsungan informasi perihal adanya ilmu ini. Yang kedua dan tak kalah penting adalah melestarikannya dalam kesinambungan batin para individu yang mewarisinya, yakni bangsa Indonesia ini sendiri, agar “ilmu terima kasih” benar-benar hidup dalam benak dan menjadi watak bangsa yang besar ini.