
oleh Junarsih
Untuk mengingat Guru Besar Buddhis di Nusantara pada zaman Sriwijaya, yakni Suwarnadwipa Dharmakirti, Lamrimnesia menyelenggarakan bedah buku “Untaian Kelahiran yang Berharga” pada Jumat, 29 Januari 2021. Kedua narasumber sekaligus penulis buku, Nayaka Sangha Agung Vajrayana SAGIN Y.M Lobsang Gyatso Sthavira dan Kepala Editor YPPLN Stanley Khu memaparkan dengan jelas tentang Sriwijaya dan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti. Lebih dari 124 orang mengikuti acara ini via aplikasi Zoom.
Nakapala sebagai moderator menyampaikan sedikit pengantar untuk mengawali acara. “Sekilas hari ini kita akan membedah buku Untaian Kelahiran yang Berharga. Buku ini berisi tentang riwayat tokoh-tokoh yang berjuang dalam mempraktikkan Dharma yang mampu menjadi rujukan kita untuk menumbuhkembangkan keyakinan dan mengikuti teladan mereka. Dan salah satu tokoh tersebut adalah Guru Suwarnadwipa Dharmakirti.” tuturnya.
Buddhisme Mahayana di Sriwijaya
“Pada suatu ketika di masa lampau, ada Kerajaan Sriwijaya. Ia terletak di Pulau Sumatera. Kerajaan ini pernah berjaya sebagai sebuah peradaban, sebagai pusat dari tradisi filosofis besar yang kita kenal sebagai Buddhisme,” tutur Stanley Khu mengawali pemaparan Sriwijaya zaman dulu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Buddhisme adalah sistem pemikiran dan moralitas yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni. Buddhisme mulanya adalah sebuah gerakan spiritual yang menawarkan alternatif dari Brahmanisme di India yang kemudian bergerak menuju kawasan Asia, terutama di Asia Tenggara serta Asia Timur seperti China, Korea, dan Jepang. Melalui jalur Asia Tenggara, kemudian Buddhisme sampai di Sumatera termasuk kawasan perdagangan Internasional di Sriwijaya.
“Terdapat aktivitas keagamaan yang intens selama era perdagangan yang hiruk-pikuk di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara,” Stanley Khu menambahkan. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Nicolaas Johannes Krom, seorang filsuf barat, bahwa kalau dilihat dari kondisi geografis Nusantara, terdapat hubungan erat antara Buddhisme dan perdagangan.
“Menurut sejarahnya, Buddhisme di Asia Tenggara mendapat pengaruh yang berubah-ubah dari Asia Selatan. Misal pada abad ke-3 dan ke-4 mendapat pengaruh dari Antrapadesh, Sri Lanka. Sedangkan pengaruh Mahayana dari sisi Timur Laut India di daerah Bihar itu sangat kentara pada periode abad ke-7 sampai ke-10.” jelas Stanley Khu. Abad ke-7 sampai ke-10 ini adalah periodenya Sriwijaya sehingga tradisi Mahayana sangat kental di Sriwijaya. Kemudian pada abad ke-11, Buddhisme di Asia Tenggara mendapat pengaruh dari Asia Selatan, tepatnya dari Tamil Nadu, Dinasti Chola yang menginvasi Sriwijaya.
Catatan yang membuktikan Sriwijaya memiliki tradisi Mahayana terdapat dalam Prasasti Talang Tuo yang ditemukan di Palembang dan dibuat pada tahun 684M. Singkat isi dari prasasti tersebut adalah harapan para penguasa agar semua kebun, telaga, dan bendungan dapat berkontribusi untuk kesejahteraan semua makhluk, semoga bodhicita atau batin pencerahan tumbuh dalam diri setiap makhluk, dan semoga semua makhluk mencapai pencerahan. “Prasasti ini juga membuktikan hubungan Buddhisme di Nalanda dan Sriwijaya,” imbuh Stanley Khu. Di Nalanda sendiri terdapat asrama untuk menampung biksu-biksu dari Nusantara.
“Dari sedikit gambaran ini, entah karena mentalitas atau psikologi, kita nggak tahu, Asia Tenggara maritim atau lautan cenderung lebih mudah menyerap kebudayaan baru dan menerima perubahan,” ujarnya. Hal ini dibuktikan dengan masuknya Islam dan kolonialisme yang juga tidak melalui banyak pergolakan.
“Pulau Jawa menyaksikan perkembangan tradisi ini selama masa Dinasti Syailendra,” tutur Stanley Khu. Pada masa Dinasti Syailendra kita bisa melihat kekayaan budaya dilihat dari kemegahan monumen yang dibangun pada era itu, seperti Candi Borobudur, Candi Sewu, dan Candi Plaosan.
Lalu apa karakteristik dari Dinasti Syailendra? Corak utama dari dinasti ini adalah orientasi Internasional Nusantara dari para penguasanya. Misalnya sebuah inskripsi dari Ratu Boko bertarikh tahun 792 yang mewartakan bahwa terdapat wihara untuk biksu-biksu Sinhala yang diberi nama Abhayagiri. Di Sri Lanka sendiri, di tempat bernama Anuradhapura memang dulu ada wihara dengan nama serupa, yakni Abhayagiri. Di wihara ini, ajarannya tergolong unik karena merupakan sinkretisme dari tradisi Theravada, Mahayana, dan Tantrayana. Sifat plural mereka ini menimbulkan pergesekan dengan komunitas lain sehingga mereka harus mencari tempat lain. Kalau ingin berpindah mereka bisa mencari tempat lain di Srilanka, tetapi mereka malah pergi ke Jawa untuk memenuhi undangan dari Dinasti Syailendra untuk menetap ke Jawa.
Sriwijaya Itu Apa Sebenarnya?
“Apa itu Sriwijaya?” Stanley Khu menjelaskan dengan nada seperti bertanya. Sriwijaya adalah kerajaan kota berbasis perdagangan yang kemakmurannya berdasarkan penguasa dalam mengontrol pengiriman barang di sepanjang Selat Malaka sehingga menjadi titik ini sebagai transit bagi para kaum pedagang dari wilayah Nusantara lain dan dari Semenanjung Melayu. Layaknya Islam setelah berabad-abad kemudian, Buddhisme bisa menyebar dengan apik di sepanjang jalur perdagangan.
Sistem pemerintahan Sriwijaya memiliki struktur yang longgar, jadi mau pindah ibukota di mana saja tetap bisa. Kekuatan militernya tidak terlalu kuat, sedangkan di bidang administratif sangat kuat. Sriwijaya dinamai sebagai Suwarnadwipa oleh orang Inda karena mereka bisa menemukan emas di sana.
Perputaran ilmu pengetahuan luar biasa terjadi di Sriwijaya dibuktikan dengan datangnya biksu China untuk belajar di sana. Biksu China bernama Yi-Jing berlayar menuju Sumatera dengan tujuan untuk belajar gramatika dan tata berperilaku di Sriwijaya. Dalam diari Yi-Jing, beliau meninggalkan China pada tahun 671 dan menuju Sumatera dengan kapal kepunyaan raja Sriwijaya. Yi-Jing belajar di Sriwijaya selama enam bulan. Kegiatan Yi-Jing di Sriwijaya ini juga menjadi contoh lain orientasi internasional para penguasa Sriwijaya.
“Penguasa Sriwijaya mengutus Yi-Jing menuju kerajaan lain yang namanya Melayu. Lalu dari sana YI-Jing menuju Kedah tempat ia menantikan angin. Karena dulu kan nggak ada pesawat, jadi pulang-pergi harus naik kapal dan menunggu angin yang akan meneruskan perjalanannya ke India. Karena ia di Sriwijaya hanya untuk belajar, konon katanya belajar gramatika dan tata cara berperilaku,” imbuh Stanley Khu. Pendidikan filsafat Buddhis yang yang lengkap pada masa itu ada di India seperti Nalanda dan Vikramasila, jadi Yi-Jing harus meneruskan perjalanannya menuju India. Kurang lebih 17 tahun Yi-Jing menghabiskan hidupnya di Nalanda. Yi-Jing juga membawa kitab yang konon mengandung lima ratus ribu bait ajaran menuju Sriwijaya.
Kesan positif yang didapat Yi-Jing selama tinggal di Sriwijaya membuatnya menganjurkan peziarah China untuk belajar di Sriwijaya sebelum bertolak ke India. Yi-Jing tetap belajar di Sriwijaya setelah pulang dari India selama 7 tahun terhitung sejak tahun 688-695M sebelum akhirnya ia pulang ke China.
“Dalam diarinya, Yi-Jing juga mencatat ada lima guru Buddhis yang tersohor seantero dunia. Dan yang menarik, ada satu orang dari Sriwijaya. Namanya Sakyakirti. Secara historis kita memang tidak menemukan catatan tentang guru ini,” Imbuh Stanley Khu.
“Selanjutnya kita membahas tentang geopolitik Sriwijaya. Sebenarnya Sriwijaya ini kisah apa sih? Ya kisah geopolitik. Pada masa lampau, jalur-jalur dagang di Asia akan berujung pada tempat kecil bernama Selat Malaka. Dalam catatan perjalanan Tommy Perez setelah Portugis menginvasi Malaka tahun 1511, terdapat ungkapan bahwa siapapun yang mampu menguasai Selat Malaka akan memegang tenggorokan Venesia, Italia. Kelihatannya tidak begitu nyambung, tetapi seluruh barang-barang sebelum masuk ke Eropa harus ditampung dulu di Malaka. Selat Malaka ini pendek sekali, diapit oleh dua samudera, yakni Samudera Pasifik di sebelah Timur dan Samudera Hindia di sebelah Barat, juga diapit oleh Semenanjung Melayu dan Pulau Sumatera di sisi lain.
Karena selat ini merupakan selat terpendek di dunia, ia pun menjadi jalur maritim alternatif dan paling sibuk pada zaman dulu. Saat itu, selat ini dikuasai oleh hanya satu kerajaan, yaitu Sriwijaya, berbeda dengan sekarang Selat Malaka dibagi menjadi tiga kawasan, yakni Indonesia, Singapura, dan Malaysia.
“Lokasi Sriwijaya yang strategis, terdapat banyak hal yang bisa dibahas terkait eksistensinya. Pasti banyak risalah, sumber pustaka, sumber historis! Sayangnya bukan begitu kasusnya. Pengetahuan tentang Sriwijaya ironisnya baru muncul pada abad ke-20,” ujar Stanley Khu. Baru setelah seribu tahun kerajaan ini eksis saat seorang sarjana Prancis, George Coedes menyusun ulang bukti adanya Sriwijaya. Beruntungnya ada beberapa prasasti yang menjadi bukti peradaban Sriwijaya di Sumatera, salah satunya adalah Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang pada tahun 1920 dan bertarikh 683. Tulisan dalam prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Tua serta ditemukan beberapa kosa kata Sanskerta yang berbunyi “Sriwijaya”.
Bukti eksistensi Sriwijaya lebih banyak ditemukan pada sumber sejarah dari Tiongkok, bukan dari India meski ada hubungan cukup kental antara Nalanda dan Sriwijaya. Hal ini dikarenakan Tiongkok memiliki pengarsipan sejarah yang lebih baik dibanding India. Namun, nama Sriwijaya di Tiongkok bisa berubah-ubah karena di Tiongkok sendiri sering terjadi pergantian dinasti yang masing-masing menggunakan kata berbeda untuk menyebut Sriwijaya.
Siapakah Suwarnadwipa Dharmakirti?
“Indonesia adalah tempat suci yang dikagumi banyak orang, tidak hanya India, tapi juga Tibet,” tutur Y.M Lobsang Gyatso Sthavira mengawali giliran untuk menguraikan tentang Mahaguru Suwarnadwipa Dharmakirti.
“Nama lain Guru Suwarnadwipa Dharmakirti adalah Serlingpa Chokyi Dragpa dalam tradisi Lamrim.”
Lebih lanjut, Beliau menjelaskan bagaimana Guru Suwarnadwipa merupakan keturunan dari Dinasti Syailendra. Pada saat itu, Sriwijaya sangat didominasi oleh Hindu. Namun, sebagai seorang anak raja (pangeran), Beliau mempromosikan Buddhisme dan menganjurkan rakyat untuk berlindung pada Triratna.
Kemudian, pangeran menuju Bodhgaya, India, tempat Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung yang lengkap dan sempurna. Di Bodhgaya, banyak makhluk bijaksana yang memiliki kualitas baik seperti cendekiawan dan praktisi meditasi yang berkumpul. Pangeran menumbuhkan rasa hormat serta sujud pada satu di antara pada makhluk bijaksana tersebut, yakni Guru Maha Sri Ratna. Lalu pangeran menemani sang Guru selama tujuh hari, tetapi pada hari ke-8 pangeran kehilangan sosok Guru Maha Sri Ratna. Akhirnya pangeran tidak sengaja tertidur dan bermimpi bertemu dua penyanyi cilik yang melantunkan syair berikut:
“Setelah meninggalkan keluarga, pelayan, dan aneka kebahagiaan di negeri sendiri. Satu akibat yang marak tak dapat menelusuri di manakah gerangan orang yang dicari. Sejak lama kehilangan ataukah cepat kehilangan. Keturunan murni mulia tapi miskin kebijaksanaan.”
Saat terbangun, Guru Maha Sri Ratna sudah berada di hadapan pangeran. Setelah memberikan penghormatan, pangeran mempersembahkan mandala sebagai simbol persembahan semesta raya sambil memohon supaya diterima sebagai murid. Setelah menerima persembahan, Guru Maha Sri Ratna menahbiskan pangeran sebagai biksu. Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, Serlingpa Chokyi Dragpa adalah nama yang diberikan Guru Maha Sri Ratna kepada pangeran.
Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dikenal dengan ajaran bodhicita. Ajaran inilah yang mengundang keingintahuan Guru Atisha Dipamkara Srijnana untuk menuju Sriwijaya dari India dengan berlayar selama 13 bulan dan belajar kurang lebih 12 tahun di Sriwijaya.
Keistimewaan Suwarnadwipa Dharmakirti
Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta bertanya pada Y.M Lobsang Gyatso Sthavira tentang keistimewaan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dalam hal ibadah dan pelayanan umat dibanding guru lainnya pada zaman tersebut.
Y.M. Lobsang Gyatso Sthavira menyatakan bahwa Beliau belum menemukan catatan spesifik mengenai ibadah dan pelayanan umat pada masa Guru Suwarnadwipa. Namun, berdasarkan teks yang ada, diketahui bahwa Beliau adalah pangeran Buddhis yang memegang pandangan filosofis citramata, jadi kemungkinan besar praktik Beliau adalah Prajnaparamita (Penyempurnaan Kebijaksanaan). Kalau Beliau melakukan pelayanan pada umat, kemungkinan sama seperti yang kita temukan di teks Guru Shantidewa, yaitu Bodhisatwa-caryavatara (Lakon Hidup Sang Penerang/Bodhisatwa) karena teks itulah yang diturunkan dari Guru Swarnadwipa ke Guru Atisha.
Selain itu, ada pula praktik atau pelayanan itu dulunya bersifat rahasia dan tidak mudah diperoleh, yaitu praktik lojong (latihan batin) atau tonglen (praktik terima kasih) yang bertujuan untuk mengembangkan welas asih, khususnya bodhicita. Dengan berlandaskan pada bodhicita serta sejalan dengan posisi Beliau sebagai pangeran yang mengayomi negaranya, pelayanan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti diberikan secara menyeluruh untuk semua rakyat. Sifat welas asih Beliau melampaui perbedaan suku, agama dan ras.
Apa yang diajarkan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti di Sriwijaya? Baca ulasannya dalam buku “Latihan Batin Laksana Sinar Mentari” karya Namkha Pel!
“Jadi kalau sudah belajar bodhicita maka sikap intoleran tidak akan berkembang, dan semuanya menjadi toleransi,” imbuh Y.M Lobsang Gyatso Sthavira. Sifat welas asih inilah membuat Guru Suwarnadwipa Dharmakirti tetap membimbing semua makhluk untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dan kedamaian yang sesungguhnya meskipun ada yang berlaku tidak baik terhadapnya.
Y.M Lobsang Gyatso Sthavira juga berpesan agar semua umat Buddha, baik itu romo pandita ataupun umat awam, untuk meneladani Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dengan menolong semua yang membutuhkan tanpa pilih kasih. Kita seharusnya menolong mulai dari yang paling menderita dahulu, bukan berdasarkan yang seagama dulu. “Kalau kita kan masih punya ego, jadi harus belajar Madhyamika supaya pandangannya gak pilih-pilih. Atau belajar bodhicita, menyamakan diri kita dengan orang lain sama persis, makhluk lain juga sama, ingin bahagia, tidak ingin menderita, ini yang harus direalisasikan,” imbuh Y.M Lobsang Gyatso Sthavira.
Artikel ini pertama kali dterbitkan di Buddhazine.com