Sejak tanggal 12 Februari 2025, sekitar 100 biksu dari seluruh dunia yang berada di kompleks Mahabodhi – Bodh Gaya, India memutuskan melakukan aksi damai berupa puasa hingga waktu yang tidak ditentukan. Pada tanggal 22 Februari 2025, kondisi kesehatan beberapa biksu yang melakukan aksi tersebut menurun drastis. Namun, mereka tetap memutuskan untuk melanjutkan aksi puasa tersebut. Beberapa biksu bahkan sudah mempersiapkan tekad untuk meninggal dalam aksi tersebut bila memang tidak dihiraukan. Tujuan aksi ini adalah pengaturan ulang kepengurusan Mahabodhi sehingga lebih mengutamakan para peziarah Buddhis alih-alih fungsi pariwisata dan juga mengembalikan fungsi utama Mahabodhi sebagai tempat suci agama Buddha yang dibangun oleh Kaisar Ashoka. Para biksu juga menuntut penghapusan hukum tahun 1949 mengenai komite kepengurusan bersama Mahabodhi. Pertanyaannya: ada apa dengan kepengurusan komite yang sekarang?
Sumber foto: Pexels.com oleh Nancy Yu
Mahabodhi tempat suci Buddha, tapi…
Kuil Mahabodhi dikelola oleh terusan dari sebuah komite yang dibentuk dan dikepalai oleh presiden pertama India pada tahun 1949. Komite tersebut terdiri atas 9 orang perwakilan dari dua kelompok: Hindu dan Buddha. Ya, saya tidak salah ketik. Kini, perwakilan kelompok Hindu yang sekarang mengelola Mahabodhi sudah mengganti beberapa objek pemujaan agama Buddha di kompleks Mahabodhi menjadi objek pemujaan Hindu dan bahkan sudah mengambil alih salah satu wihara beraliran umat Buddhis Tibet diganti menjadi tempat pemujaan Dewa Wisnu. Info terakhir adalah mereka sudah memasang lingga-yoni di depan patung Buddha di dalam kuil utama dan juga melakukan klaim bahwa kompleks tersebut adalah tempat Pandawa dahulu diasingkan sehingga kaum Hindu berhak mengambil alih. Mereka juga memerintahkan petugas keamanan negara bagian agar melarang biksu dan umat Buddha yang terlibat aksi damai untuk bisa masuk ke kompleks Mahabodhi.
Sumber foto: Wikipedia commons oleh Lanasaman
Lalu sejak kapan sebenarnya Mahabodhi ini menjadi bahan rebutan? Mari kita kembali ke sejarah India saat negeri ini diserang bangsa Turki. Serangan tersebut membuat biara Nalanda dan Vikramasila terbakar habis. Perpustakaan biara Nalanda terbakar selama 3 bulan lamanya. Serangan bangsa Turki ini juga memberikan dampak kepada lingkungan Mahabodhi. Mahabodhi jelas tidak luput dari serangan dan terjadi kehancuran cukup parah dan terpaksa ditinggalkan oleh para biksu dan akhirnya terlupakan oleh waktu, hingga akhirnya pada tahun tahun 1590, seorang pertapa Shiwa bernama Gosain Ghamandi Giri mendapatkan izin dari Raja Shah Alam dari kerajaan Mughal untuk mendirikan biara Shiwa terbesar pada masa itu di dekat Mahabodhi. Atas izin raja juga akhirnya Mahabodhi diubah fungsinya menjadi tempat pemujaan Shiwa dan krematorium untuk pengikut Shiwa. Berbagai patung Buddha dan ornamen pun disembunyikan oleh para pengikut Shiwa tersebut. Pada tahun 1880 Inggris akhirnya memutuskan memugar Mahabodhi seperti semula ketika dibangun, namun tidak mempermasalahkan perubahan fungsi bangunan tersebut dari situs suci umat Buddha menjadi situs umat Shiwa.
Titik balik perjuangan umat Buddha atas tempat suci Mahabodhi
Pada tahun 1891 biksu asal Sri Lanka bernama Anagarika Dharmapala datang untuk berziarah ke Mahabodhi. Ketika sampai beliau kaget melihat kondisi bangunan Mahabodhi yang tidak terurus dengan baik. Saat itu, hanya ada 4 orang biksu yang tinggal di daerah Mahabodhi untuk berusaha merawat semampunya tanpa bantuan dana atau orang lain. Beliau menjadi lebih kaget ketika mengetahui ada lebih banyak ibadah Hindu dibanding peziarahan Buddhis yang dilakukan di Mahabodhi. Beliau membawa kasus ini ke pengadilan kerajaan Inggris di India dan menuntut agar Mahabodhi dikembalikan ke fungsi utama sebagai tempat suci agama Buddha dan kepengurusannya diserahkan ke komunitas Buddhis. Beliau kalah di pengadilan, tapi kekalahan tersebut menyadarkan komunitas Buddhis seluruh dunia yang berujung pada pembentukan Mahabodhi Society. Mahabodhi society ini sendiri dibentuk oleh Anagarika Dharmapala dengan tujuan untuk merestorasi bangunan dan fungsi dari kuil Mahabodhi agar bisa dijaga dan dilestarikan keaslian bangunan dan fungsi sebagai tempat suci agama Buddha.
Permasalahan klaim ini terus berlangsung hingga saat India merdeka dari Inggris. Presiden pertama India saat itu membentuk komite bersama antara Hindu dan Buddha untuk mengelola bersama kompleks Mahabodhi. Pada awalnya, komite ini terdiri atas 4 orang dari sisi agama Buddha, 4 orang dari sisi agama Hindu, serta 1 perwakilan pemerintah yang netral dan sebagai ketua komite. Namun, kini komposisi ini berubah menjadi 5 orang dari sisi agama Hindu dan 4 orang agama Buddha sementara ketua komite dipilih dari sisi Hindu.
Janji palsu keadilan untuk pengelolaan tempat suci Buddha
Permasalahan klaim hak pengelolaan seperti yang memicu aksi para biksu sekarang ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada 14 Oktober 1992, hampir seribu biksu dari berbagai belahan dunia sempat melakukan aksi protes damai selama 3 minggu di New Delhi untuk menuntut pemerintah pusat India menindak pengingkaran janji pemerintah negara bagian Bihar (negara bagian tempat Mahabodhi berada) dan juga untuk menunjukkan kekecewaan terhadap pemerintah pusat India yang selalu bungkam terkait persoalan Mahabodhi. Pasalnya, pada tahun 1991, setelah negosiasi dengan pemerintahan negara bagian Bihar, pemerintah setuju untuk mengembalikan pengelolaan Mahabodhi sepenuhnya kepada umat Buddha. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah terealisasi karena tekanan dari pihak Hindu. Pemerintah negara bagian mengatakan tidak bisa berbuat apapun karena kekuatan hukum komite tahun 1949 lebih kuat karena berasal dari pemerintah pusat di New Delhi, India.
Sumber foto: www.insightsonindia.com
Hal ini tentunya menjadi sebuah dilema karena pada waktu yang bersamaan, di negara bagian Jaipur, kota Ratnagiri, tim arkeolog dari salah satu universitas di India menemukan sebuah potongan wajah Buddha setinggi 1,4 meter. Penemuan ini juga disertai oleh penemuan puluhan stupa serta ratusan patung Buddha berbagai ukuran. Kepala tim arkeolog yang menemukan semua ini yakin bahwa penemuan tersebut akan menjadi sebuah permulaan dari sesuatu yang menakjubkan kelak. Beliau juga menambahkan bahwa kepala Buddha setinggi 1,4 meter ini diyakini sebagai kepala dari Buddha Amoghasiddhi sehingga ada kemungkinan situs tersebut merupakan salah satu cetiya Buddhis tradisi Vajrayana.
Penemuan peninggalan Buddhis baru di India ini dapat menjadi pertanda baik dari perjuangan yang dilakukan di Mahabodhi mengingat Buddha Amoghasiddhi dalam paham Vajrayana merupakan simbol dari kesuksesan akan suatu pencapaian. Bagaimanapun juga, Buddhisme tak bisa dipisahkan dari sejarah India. Jadi, merawat dan mengelola peninggalan Buddhis sesuai dengan fungsinya merupakan bagian dari upaya merawat sejarah India. Meski pasti butuh proses panjang dan tidak mudah, penulis yakin pengelolaan Mahabodhi bisa kembali ke tangan umat Buddha asalkan umat Buddha di seluruh dunia terus menghimpun sebab-sebab bajik untuk mewujudkannya.
Sumber foto: www.smsperkasa.com
Bagaimana dengan tempat suci Buddha di Indonesia?
Indonesia sendiri juga tidak lepas dari permasalahan yang sama, umat Buddha di Indonesia selama ini tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan maupun pemeliharaan dan bahkan sisi edukasi peninggalan sejarah yang bercorak agama Buddha. Candi Borobudur sebagai contohnya, baru-baru ini dengan jelas sebuah video beredar di medsos, ada seorang pemandu wisata menyebutkan bahwa candi Borobudur itu bukan candi atau situs keagamaan, melainkan sebuah monumen. Saya tidak tahu bapak tersebut mendapatkan pengetahuan itu dari mana, tetapi di sini yang ingin saya tekankan adalah misinformasi dan misedukasi ini akan tetap terus terjadi dan berulang dikarenakan tidak ada SDM yang mumpuni dari sisi Buddhis yang dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan.
Baca juga: Memaknai Borobudur dengan Keyakinan
Memang benar selama ini umat Buddha difasilitasi ketika mau beribadah, tapi harus melalui perizinan berlapis dan panjang. Bila dilakukan dalam skala besar tentu saja perizinan tersebut diperlukan, akan tetapi bagaimana dengan personal yang ingin beribadah? Apakah harus membuat surat resmi juga ke pengelola candi? Begitu juga dengan kondisi aktual sekarang, pengunjung dibatasi jumlahnya untuk alasan preservasi, tapi juga diburu-buru karena hanya diberi waktu 60 menit untuk naik ke candi. Belum lagi pengunjung dibatasi oleh berbagai paket yang ditawarkan pengelola sehingga bila ingin mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang candi Borobudur, mereka harus membayar mahal dikarenakan setiap paket hanya menjelaskan aspek tertentu yang ditawarkan sesuai paketnya. Dengan segala hormat, saya pernah membacakan dan menjelaskan seluruh panel Lalitawistara Candi Borobudur beberapa kali ke teman maupun saudara yang bertanya secara langsung pada setiap relief candi, dan ini perlu waktu paling tidak 2,5 jam.
Baca juga: Borobudur Candi Buddha, tapi Buddha untuk Semua
Argumentasinya bisa jadi adalah tidak semua orang mau menyediakan waktu dan mendengar cerita tiap panel relief. Akan tetapi tolong sediakan juga waktu dan tempat bagi kami umat Buddha Indonesia yang ingin melestarikan dan meneruskan pengetahuan akan Candi Borobudur tersebut kepada generasi muda Buddhis Indonesia. Jelas kami membutuhkan waktu lebih banyak dibandingkan turis-turis yang hanya ingin menikmati keindahan secara umum, selfie, dan upload ke medsos dengan bibir monyong.
Sumber foto: www.bumiborobudur.com
Sumber foto: Wikipedia Commons oleh Gunkarta
Candi Borobudur itu adalah mandala Buddha dan memang benar bukan sekedar candi, apalagi sekedar monumen seperti kata bapak pemandu wisata itu. Harap diketahui mandala itu bisa dikatakan sebagai rumah, sehingga ketika kita masuk ke candi Borbudur; maka kita ibarat sedang bertamu ke rumah para Buddha. Sebagaimana kita ketahui, Buddha adalah Guru, junjungan, panutan dan bahkan bisa dikatakan juga orang tua kita. Dengan penjelasan singkat dan sederhana ini, tentu orang paham bahwa kita itu akan bertamu ke Buddha tiap kali ke Candi Borobudur. Jika disampaikan dengan baik, para turis pun pasti paham dan akan berpakaian dan beretika seperti selayaknya tamu yang sopan juga. Candi Sewu juga merupakan mandala Arya Manjushri sehingga setiap kita ke candi Sewu maka pola pikir yang harus diterapkan adalah kita sedang bertamu ke rumah Arya Manjushri. Sesederhana itu, tapi menjadi rumit karena pemegang wawasan tidak didengar, apalagi dilibatkan.
Terakhir saya teringat sebuah kalimat dari seorang bernama Akash Lama yang juga mengikuti aksi damai di Mahabodhi. Beliau berkata, “Setiap komunitas beragama di dunia memiliki kendali penuh akan tempat-tempat suci agama-agama tersebut, terkecuali Buddhis.”. Di situ saya tersadar bahwa benar adanya pernyataan tersebut. Paling tidak itu yang terjadi di India dan Indonesia sampai saat ini. Sekian dari saya dan semoga tulisan ini bisa membantu menumbuhkan kesadaran atau pengetahuan baru dalam batin anda semua pembaca yang membacanya.
Penulis: Chatresa7