Sebelumnya kita telah berkisah tentang apa itu Lamrim, yaitu sebuah metode untuk menelusuri Dharma Sang Buddha yang teramat luas secara urut dan melatih batin hingga kita bisa mencapai berbagai tujuan spiritual, mulai dari meraih kebahagiaan. Tapi dari manakah Lamrim berasal? Di manakah Lamrim berkembang dan di mana saja Lamrim dipelajari? Itulah yang akan kita bahas kali ini.
India, Negeri Asal Sang Buddha
Lamrim bersumber dari keseluruhan ajaran Buddha, jadi kita dapat mengatakan bahwa asal-muasal Lamrim berasal dari India, negeri tempat Buddha Shakyamuni dulu membabarkan Dharma. Sejak Sang Buddha memasuki Parinirwana, para anggota Sangha yang menerima langsung ajaran dari Beliau melestarikan dan mewariskan ajaran Buddha kepada generasi selanjutnya. Raja-raja menjaga tradisi Buddhadharma. Utusan-utusan dikirim untuk menyebarkan jalan menuju kebahagiaan sejati ini ke negeri-negeri lain. Salah satu tokoh penting dalam pelestarian Buddhadharma di India dan penyebarannya ke negara-negara lain adalah Raja Ashoka (268-232 M). Beliau tidak hanya menjadikan Dharma sebagai basis pemerintahan dan kehidupan rakyat, tapi juga mengirimkan utusan ke negara lain untuk menyebarkan Dharma secara damai.
Berkat perkembangan dan penyebaran Dharma, semakin banyak orang dari berbagai negara yang tertarik untuk mempelajari Buddhadharma secara mendalam. Di abad V, berdirilah sebuah institusi monastik yang menjadi tempat pembelajaran dan praktik Buddhadharma secara mendalam dan serius, yaitu Biara Universitas Nalanda. Ribuan biksu dari India dan negara-negara lain mempelajari kitab-kitab Sang Buddha dan menyusun kitab-kitab komentar guna memberikan penjelasan praktis yang sesuai dengan perkembangan zaman. Xuanzhang, biksu Tiongkok yang menerjemahkan banyak kitab suci ke dalam Bahasa Mandarin dan diabadikan dalam cerita fiktif Journey to The West, belajar di Nalanda. Ada pula prasasti yang menunjukkan hubungan diplomatis antara penguasa di India dengan Kerajaan Sriwijaya di Nusantara seputar pendirian kompleks asrama untuk pelajar dari Sriwijaya yang hendak menuntut ilmu di Nalanda.
Satu tokoh yang menghubungkan Nalanda dengan Lamrim adalah Guru Atisha Dipankarasrijnana. Guru Atisha merupakan satu dari 17 Pandit Besar Nalanda, sejajar dengan Yang Mulia Shantidewa yang menyusun kitab Lakon Hidup Bodhisatwa (Bodhicaryawatara) dan Naropa yang menjadi guru dari Marpa Sang Penerjemah. Karya Beliau yang berjudul “Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan” (Bodhipathapradipa) merupakan cikal-bakal Lamrim. Karya tersebut disusun di Tibet dan dikirim ke India untuk diuji oleh para pandit. Di masa itu, karya yang tidak memiliki kesalahan bahasa maupun makna akan dipersembahkan kepada raja, penulisnya akan menerima penghargaan, dan karya itu dinyatakan layak untuk disebarluaskan. Sebaliknya, karya yang meski ditulis dengan sangat baik tapi memiliki kesalahan makna akan diikatkan pada seekor anjing, lalu anjing tersebut akan dilepas di jalan-jalan kota. Bodhipathapradipa yang disusun oleh Guru Atisha juga melalui proses ini dan para pandit India yang menguji karya tersebut tidak hanya menyatakan karya tersebut bebas dari kesalahan, tapi juga memberikan pujian setinggi-tingginya dan memohon Guru Atisha untuk menyusun ulasan dari kitab tersebut dan mengirimnya kembali ke India.
Akar Nusantara
Di satu titik dalam hidupnya, Guru Atisha menempuh perjalanan laut selama 13 bulan dari India ke Nusantara, tepatnya ke pusat Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Beliau rela melalui itu semua demi bertemu sosok agung yang kemudian menjadi guru utamanya, yaitu Guru Suwarnadwipa Dharmakirti.
Terlahir di keluarga kerajaan yang berkuasa di Sriwijaya, Guru Suwarnadwipa membangkitkan keyakinan yang amat dalam terhadap Triratna sejak kecil hingga akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang biksu. Beliau sempat belajar di India. Salah satu guru Beliau adalah Shantarakshita, pandit besar dari Nalanda dan saudara seperguruan Xuan Zhang, biksu asal Tiongkok yang banyak menerjemahkan kitab suci ke dalam Bahasa Mandarin. Setelah menuntaskan pembelajaran, Guru Suwarnadwipa kembali ke Sriwijaya untuk mengajar ribuan biksu di kompleks pendidikan monastik yang kini kita kenal sebagai Candi Muaro Jambi. Pada masa itu, Muaro Jambi tidak hanya menjadi tempat pembelajaran bagi rakyat Sriwijaya, tapi juga bagi pencari Dharma dari seluruh dunia.
Guru Suwarnadwipa Dharmakirti mewarisi ajaran Buddha yang amat penting dan berharga, yaitu ajaran tentang cara melatih Bodhicita atau batin pencerahan. Ajaran inilah yang dicari oleh Guru Atisha hingga rela menempuh perjalanan laut yang sulit dan tinggal di negeri asing selama 13 tahun. Ajaran ini pun kemudian menjadi elemen penting dalam penyusunan “Bodhipathapradipa” dan tak terpisahkan dari Lamrim yang kita pelajari sekarang. Tradisi dan ritual yang dipelajari Guru Atisha di Sriwijaya juga dapat ditemukan dan menjadi bagian penting dalam tahapan praktik Lamrim.
Berkembang di Tibet
Kita semua tahu bahwa Buddhadharma mulai memudar di Bumi Nusantara sejak runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha seperti Sriwijaya dan Majapahit. Hal yang sama juga terjadi di India bersama dengan keruntuhan institusi monastik karena berbagai hal. Meski demikian, Dharma tetap dilestarikan di negara-negara lain, salah satunya di Tibet.
Buddhadharma masuk dan menyebar di Tibet pada abad VIII bersama dengan kedatangan guru-guru Buddhis agung Shantarakshita dan Padmasambhawa. Pada abad XI, Dharma telah mengalami kemerosotan akibat kesalahpahaman terhadap praktik Sutra dan Tantra. Lebih jauh lagi, Raja Hlalama Yeshe Wo yang memerintah di jalan Dharma dikalahkan disandera oleh raja lain yang bengis dan membenci Dharma. Keponakan sang Raja, Hlatsun Jangchub Wo, telah menyiapkan emas seberat tubuh Raja untuk menebus nyawa pamannya, tapi Raja menyuruh keponakannya menggunakan emas itu untuk mengundang guru Dharma yang mahir dan dapat menolong rakyat Tibet hidup dengan bajik.
Guru Atisha yang telah mewarisi ajaran Bodhicita dari Guru Suwarnadwipa dan menjadi guru Dharma termasyhur diundang ke Tibet oleh Jangchub O untuk mereformasi Dharma di Tibet. Permohonan dari Jangchub O adalah sebagai berikut:
“Yang Mulia yang penuh karuna, tidaklah perlu mengajarkan kami, murid-murid Tibetmu yang tidak patuh, Dharma yang sangat mendalam atau rahasia. Saya memohon padamu untuk membimbing kami dengan instruksi yang mengungkapkan sifat dasar sebab-dan-akibat dari karma. Khususnya, Oh Yang Mulia, saya memohon padamu untuk menjaga kami dalam karunamu dengan mengajarkan Dharma yang Anda sendiri telah kuasai, sesuatu yang mengandung semua ajaran Sutra dan Tantra dari Sang Penakluk beserta dengan ulasannya masing-masing. Lagi pula, ajaran itu harus mengandung jalan yang lengkap tanpa kesalahan, mudah untuk dipraktikkan dan bermanfaat bagi semua orang Tibet.”
“Bodhipathapradipa” adalah kitab yang disusun oleh Guru Atisha sesuai dengan permohonan orang-orang Tibet tersebut, sebuah kitab Dharma yang merangkum inti dari seluruh ajaran Buddha dan dikemas dalam urutan praktik yang mudah dipahami. Kitab ini juga dikirim kembali ke India untuk diuji keabsahannya. Di Tibet sendiri ajaran Guru Atisha diwariskan dari guru ke murid dalam silsilah tak terputus hingga akhirnya menginspirasi raja Dharma Je Tsongkhapa untuk menyusun Risalah Tahapan Agung Menuju Pencerahan (Sansekerta: Bodhipathakrama, Tibetan: Lamrim Chenmo). kitab Lamrim yang pertama.
Dari Je Tsongkhapa, Lamrim terus diwariskan turun-temurun. Tradisi Gelug, satu dari empat aliran utama dalam Buddhisme Tibet, yang didirikan oleh murid Je Tsongkhapa menjadikan Lamrim sebagai inti praktik mereka. Guru-guru agung mengembangkan dan menyusun kitab-kitab Lamrim dengan disertai contoh dan pembahasan yang relevan dengan zamannya, sebut saja di antaranya Gomchen Lamrim oleh Gomchen Ngawang Drakpa, Instruksi Lisan Manjugosha karya Y. M. S. Dalai Lama V, atau Pembebasan di Tangan Kita karya Phabongkha Rinpoche. Phabongkha Rinpoche mewariskan Lamrim kepada Trijang Rinpoche, tutor dari Y. M. S. Dalai Lama XIV, yang kemudian mewariskan kembali ajaran tersebut kepada Guru Dagpo Rinpoche yang masih aktif mengajarkan Dharma sampai sekarang. Guru Dagpo Rinpoche sendiri diyakini merupakan kelahiran kembali dari Guru Suwarnadwipa Dharmakirti yang membimbing Guru Atisha. Beliau juga merupakan satu dari sedikit guru Dharma yang menerima transmisi ajaran lengkap yang Beliau terima dari guru-guru Beliau.
Demikianlah setelah lahir di India dan Indonesia, Lamrim benar-benar terwujud, dilestarikan, dan dikembangkan di Tibet.
Mendunia
Tibet merupakan negeri yang tertutup. Akibatnya, tak banyak yang tahu mengenai Buddhadharma yang berkembang di sana. Tradisi Buddhis yang sempat berjaya di Nalanda dan Sriwijaya hidup di Tibet, tapi tak terjamah oleh negara-negara lain. Namun, semua berubah ketika Tiongkok mulai menduduki Tibet pada tahun 1959. Persekusi terhadap masyarakat awam maupun monastik mendorong banyak orang mengungsi meninggalkan Tibet, termasuk para guru-guru besar. Y. M. S. Dalai Lama XIV yang kala itu menjadi pemimpin spiritual dan politik Tibet pun turut mengungsi ke India dan disusul para guru Dharma lainnya. Institusi biara yang dihancurkan di Tibet dibangun kembali di pengasingan di India. Itu merupakan awal dari menyebarnya Buddhadharma dari Tibet ke seluruh dunia.
Fenomena ini membuka kesempatan bagi pencari spiritual yang makin banyak jumlahnya di negara-negara lain, terutama di Eropa dan Amerika, untuk mempelajari Buddhadharma Tibet. Para guru pun diundang ke negara-negara asal mereka dan mendirikan berbagai pusat Dharma. Bersamaan dengan menyebarnya Buddhisme Tibet, Lamrim pun turut menyebar. Guru-guru memberikan pengajaran Lamrim di berbagai negara. Bahkan Y. M. S. Dalai Lama XIV sendiri pergi ke berbagai negara untuk memberikan pengajaran.
Tak dapat dipungkiri bahwa popularitas Buddhisme Tibet membuka kesempatan bagi oknum untuk berpura-pura menjadi seorang guru Dharma, memberikan ajaran palsu, dan mengumpulkan pengikut demi keuntungan materi. Tak sedikit pula “umat Buddha” yang hanya tertarik dengan ritual-ritual eksotis tanpa niatan serius untuk mengembangkan batin. Namun, masih banyak guru-guru autentik yang serius dan tulus mengajarkan Dharma di berbagai belahan dunia. Begitu juga dengan murid-murid yang serius ingin mempelajari dan mempraktikkan Dharma. Berkat itu semua, Lamrim dan Buddhadharma di Tibet masih terus tumbuh di seluruh dunia hingga saat ini.
Ada beberapa contoh yang membuktikam bahwa Lamrim kini dipelajari di seluruh dunia. Murid-murid Guru Dagpo Rinpoche mendirikan pusat Dharma di Prancis, Belanda, Malaysia, Indonesia, dan negara lainnya. Ling Rinpoche, kelahiran kembali dari salah tutor senior Y. M. S. Dalai Lama XIV sekaligus guru utama Guru Dagpo Rinpoche, telah memberikan pengajaran di berbagai negara, di antaranya Prancis, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Singapura. Geshe Tashi Tsering, seorang guru Dharma asal Tibet lulusan dari Biara Sera yang merupakan salah satu biara utama Gelug, baru saja menerima penghargaan dari Ratu Inggris atas jasa Beliau mengajarkan Dharma di negara tersebut. Kitab-kitab Lamrim juga sudah tersedia dalam Bahasa Inggris. Aktivitas penerjemahan ini nantinya memudahkan negara lain yang asing dengan Bahasa Tibet, Mandarin, atau Sansekerta untuk menerjemahkan kitab-kitab Dharma.
Kembali ke Indonesia
Bersamaan dengan menyebarnya Lamrim ke berbagai negara, sistem pembelajaran Dharma ini juga kembali ke salah satu negara akarnya, yaitu Indonesia. Pada tahun 1989, Guru Dagpo Rinpoche pertama kali datang ke Indonesia dan mengajarkan Lamrim kepada pencari spiritual di Nusantara. Melalui Beliau, umat Buddha Indonesia yang sempat kehilangan koneksi dengan tradisi Buddhadharma yang pernah dimiliki di masa lampau akhirnya menemukan kembali tradisi tersebut melalui Lamrim yang diajarkan oleh Guru Dagpo Rinpoche. Beliau juga tidak datang hanya sekali saja. Kalau dulu Guru Atisha harus melewati perjalanan laut berbulan-bulan demi berguru pada Guru Suwarnadwipa, kali ini Guru Dagpo Rinpoche yang setiap tahun bolak-balik Indonesia Prancis sejak kedatangan Beliau pertama kali demi mengajarkan Lamrim. Beliau juga mendorong kegiatan penerjemahan kitab-kitan Lamrim dan buku Dharma lainnya ke dalam Bahasa Indonesia sehingga bisa dipelajari dengan mudah.
Jadi, Lamrim datang dari mana?
Istilah “Lamrim” berasal dari Tibet dan praktiknya pertama kali dikembangkan di sana. Namun, Lamrim juga memiliki akar dari India dan Nusantara. Secara khusus, melalui Guru Suwarnadwipa dan Guru Atisha, Lamrim menyimpan tradisi dan semangat Dharma yang pernah diajarkan di Nusantara. Perkembangan Lamrim di berbagai belahan dunia juga mempermudah akses kita untuk mempelajarinya.
Satu hal yang pasti, ada banyak sekali nilai-nilai Lamrim yang bermanfaat bagi kita semua dari mana pun kita berasal!
Sumber:
Pembebasan di Tangan Kita Jilid I oleh Phabongkha Rinpoche
Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Selatan karya Yi Jing
“Nalanda dan Sriwijaya: Sejarah Bukan Dongeng” oleh Prawirawara Jayawardhana