“Buddhis ya? Ngerayain Imlek dong?” Pernah ditodong pertanyaan seperti itu? Atau barangkali kamu yang sering nanya begitu? Seolah-olah tahun baru imlek merupakan hari raya agama Buddha yang sudah sewajibnya dirayakan seluruh umat Buddha.
Memang banyak umat Buddha yang keturunan Tionghoa dan merayakan tahun baru Imlek. Makanya orang bisa mengira tahun baru Imlek itu hari raya agama Buddha. Padahal, nyatanya tidak demikian. Selain banyak juga umat Buddha Indonesia yang bukan keturunan Tionghoa, tahun baru Imlek juga bukan hari raya keagamaan!
Sejarah Tahun Baru Imlek
Perayaan tahun Imlek imlek yang sudah berusia 3500 tahun ini mulanya merupakan ritual menyambut musim semi bagi petani-petani China. Oleh sebab itu, tahun baru imlek juga akrab disebut Xin Jia yang artinya festival musim semi. Dari situ, konsep tahun semakin populer di China. Seiring berjalannya waktu, perayaan tahun baru Imlek yang mulanya hanya ritual pun kemudian berubah menjadi festival rakyat. Tradisi ini mengakar kuat dan terus dipertahankan oleh etnis Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Melihat sejarah tersebut, kita jadi tahu bahwa tahun baru Imlek tidak ada kaitannya dengan agama Buddha, melainkan merupakan sebuah tradisi budaya. Tahun baru Imlek ini dapat dirayakan oleh seluruh masyarakat etnis Tionghoa, terlepas dari apapun agama yang dipeluknya. Namun, meskipun bukan hari raya agama Buddha, terdapat beberapa tradisi hari raya imlek yang bisa jadi praktik Dharma lho!
Pattidana di Tahun Baru Imlek
Agama Buddha mengenal praktik Pattidana, yakni pelimpahan jasa kebajikan untuk menolong makhluk yang terlahir di alam menderita agar mendiang dapat terlahir di alam bahagia. Tahukah kamu kisah Arya Moggalana yang melakukan pelimpahan jasa untuk ibunya di alam hantu kelaparan? Beliau memberikan persembahan kepada anggota Sangha dan bersama-sama anggota Sangha melimpahkan kebajikan kepada ibunya. Alhasil, Arya Moggalana pun berhasil membebaskan ibunya yang terlahir sebagai hantu kelaparan. Kebajikan dari doa yang kita lakukan dengan dasar orang lain, membuat orang yang didoakan itu juga mendapatkan kontribusi kebajikan dari kita.
“Jika kita minum air, maka kita harus selalu ingat kepada sumbernya” merupakan peribahasa yang dipegang teguh oleh masyarakat etnis Tionghoa. Artinya, kehidupan yang dijalani saat ini tidak akan ada tanpa leluhur yang mendahului kita. Oleh sebab itu, masyarakat Tionghoa biasa melakukan sembahyang kepada leluhur setiap menjelang tahun baru Imlek sebagai bentuk penghormatan dan ucapan syukur. Umat Buddha pun umumnya akan pergi ke wihara atau berdoa di rumah, menghaturkan berbagai macam persembahan dan mendedikasikan kebajikan agar leluhur mereka terlahir di alam bahagia sejalan dengan praktik Pattidana.
Baca juga: “Benarkah Doa Bisa Terkabul?“
Memberi Angpao, Praktik Dana Paramita
Tradisi memberi angpao sudah sangat melekat dengan tahun baru imlek. Angpao sendiri melambangkan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik. Berbagi angpao di tahun baru Imlek bisa menjadi sarana melatih praktik Dana Paramita.
Dalam Buddhisme, Dana Paramita atau kemurahan hati merupakan salah satu sifat luhur yang harus dikembangkan untuk mencapai Kebuddhaan. Sebenarnya, bentuk dana yang diberikan tidak terbatas pada materi saja. Bentuk dana tertinggi adalah berdana Dharma, namun kita juga bisa berdana hal-hal sederhana, salah satunya berdana senyuman agar bisa membawa aura positif untuk orang di sekeliling kita. Istilahnya, kalau kita belum bisa melakukan hal yang besar, lakukanlah hal kecil dengan jiwa yang besar.
Agar bagi-bagi angpao bisa jadi praktik dana paramita, pastikan kita punya motivasi bajik, yaitu demi menyempurnakan kemurahan hati kita serta memberikan kebahagiaan kepada si penerima. Tak lupa, dedikasikan kebajikannya untuk kehidupan mendatang yang bahagia, pembebasan dari samsara, dan tercapainya penerangan sempurna demi menolong semua makhluk.
Pertanyaan Intimidatif, Momen untuk Melatih Batin
Tahun baru Imlek juga merupakan ajang kumpul keluarga. Akan tetapi, pada momen ini, biasanya muncul pertanyaan-pertanyaan sensitif dari sanak keluarga. “Kapan nikah?”, “Kapan lulus?”, “Kapan punya anak?”, dan ragam pertanyaan personal lainnya yang kadang bikin keki. Belum lagi kadang ada saja keluarga yang nggak sengaja bikin komentar yang menyakiti hati demi basa-basi.
Kalau pertanyaan dan komentar itu langsung bikin kita marah atau tersinggung, artinya batin kita masih perlu dilatih. Kita perlu ingat bahwa segala pengalaman tak menyenangkan yang kita alami adalah buat dari karma buruk di masa lampau. Dengan kata lain, kita harus ingat untuk tidak membalas atau membuat karma buruk lain yang sejenis agar tidak mengalaminya lagi di masa mendatang.
Kita juga bisa belajar menempatkan diri kita di posisi orang lain. Kira-kira kenapa mereka bertanya seperti itu? Apa karena sengaja mau menyakiti kita? Atau sekadar ingin tahu kabar dan kebetulan tidak terpikir bahan obrolan lain? Kalau alasannya yang pertama, ya mereka sendiri yang rugi karena sengaja melukai orang lain. Jangan sampai kita balas dengan marah dan membakar habis kebajikan kita sendiri. Kalau cuma basa-basi, tentu tidak ada alasan bagi kita untuk marah pada orang itu.
Satu hal yang pasti, apapun alasannya, pertanyaan intimidatif adalah kesempatan untuk melatih batin kita menjadi lebih sabar. Semakin sering kejadiannya, semakin banyak kesempatan berlatih, batin kita semakin kuat dan kita tak akan lagi gampang tersinggung dengan hal semacam ini!
Baca tentang latihan batin khas Nusantara di sini.
Jadi, kesimpulannya…
Kembali ke topik awal, dapat ditarik benang merahnya bahwa tahun baru Imlek bukanlah hari raya agama Buddha, melainkan adalah tradisi Tionghoa yang bisa dirayakan oleh penganut agama apapun. Meskipun demikian, ada beberapa tradisi tahun baru Imlek bisa kita jadikan kesempatan untuk praktik Dharma. Oleh sebab itu, selamat berpraktik Dharma bagi Buddhis yang merayakan tahun baru Imlek.
Selamat Tahun Baru Imlek! Gong Xi Fa Cai!
Penulis: Devi Riani Atika Sari