Jumat (18/2) Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN) mengadakan Lamrim Talk via aplikasi Zoom dengan tajuk “Apakah Persembahan Sama dengan Sesajen?” bersama Sramanera Guna Sagara sebagai narasumber dan Stiven Piu sebagai moderator.
Sebelum acara dimulai, moderator mengungkapkan terlebih dahulu alasan diselenggarakan acara ini. Stiven menuturkan bahwa pertengahan Januari lalu, kita sempat dihebohkan dengan video viral seorang pria yang menendang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru. Pria tersebut juga mengatakan kalau sesajen dapat membuat Tuhan murka dan menjadi pemicu erupsi gunung tersebut. Hal ini menyebabkan pria tersebut ditangkap oleh polisi. Banyak pihak yang mengatakan pria ini dianggap tidak menghargai tradisi Indonesia berhubung sesajen sudah menjadi bagian dari budaya Nusantara sejak lama.
Menanggapi peristiwa tersebut, Sramanera Guna Sagara berkata, “Ada sekelompok orang yang protes, nggak terima kejadian ini terjadi. Sebenarnya praktik sesajen ini tidak sesuai dengan apa yang dikatakan pemuda itu.”
Menurut Sramanera, kasus ini menyinggung banyak pihak yang masih peduli dengan budaya, identitas kebangsaan, dan kebhinekaan. Bahkan Beliau juga menambahkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pria tersebut bisa menyinggung leluhur bangsa Indonesia. Apalagi praktik sesajen yang berlangsung tidaklah seperti yang diungkapkan pria itu.
Terkait dengan ungkapan Sramanera tentang “menyinggung leluhur bangsa Indonesia”, Beliau kemudian menjelaskan bahwa bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari praktik persembahan. Sebelum pasar berkembang seperti saat ini, para leluhur mengandalkan alam untuk memperoleh makanan demi menunjang kehidupan. Mereka juga memiliki keyakinan besar terhadap kekuatan alam dan dewa yang telah membantu kehidupan manusia. Karena itu, para leluhur memberikan sesajen sebagai berkomunikasi dengan alam, khususnya untuk mengungkapkan rasa syukur tersebut.
Bagi Sramanera, praktik sesajen untuk mengungkapkan rasa syukur ini adalah bukti bahwa bangsa Indonesia memiliki hati yang baik. Tidak hanya berlaku di masa lampau, praktik seperti ini pun masih bisa kita temui di banyak kebudayaan di Nusantara masa kini, misalnya di Pulau Bali.
Penulis: Junarsih
Persamaan Persembahan dan Sesajen
“Kata sesajen berasal dari bahasa Jawa Kuno. Kata dasarnya adalah saji, yang berarti sesuatu yang dipersiapkan, dipersembahkan dalam bentuk makanan, buah, dan sebagainya. Persembahan sendiri adalah sesuatu yang dihaturkan pada makhluk yang statusnya lebih tinggi,” ujar Sramanera.
Persembahan dan sesajen sama-sama disiapkan terlebih dahulu sebelum dihaturkan pada objek penerimanya. Akan tetapi dalam teks Jawa Kuno, “sesajen” lebih umum digunakan dibanding “persembahan” karena tidak ada pembagian untuk leluhur yang posisinya lebih tinggi atau tidak. Lebih lanjut, Sramanera merujuk dua teks Jawa Kuno, Adi Parwa dan Ramayanam, yang membahas sesajen dan persembahan.
Dalam teks Adi Parwa dikatakan: dupadipa suganda vastralangkala sasajening abhiseka yang artinya bahwa dupa, wewangian, pakaian, perhiasan adalah sesajian dalam abhiseka. Sedangkan dalam teks Ramayanam dikatakan: sajining yatna tarumadang sriweksa samidapuspa gandapala berarti kayu sriweksa, kayu bakar, bunga, wewangian, dan buah-buahan adalah sesajian.
Negeri Tibet Berutang pada Indonesia Perihal Praktik Persembahan
Ternyata, budaya persembahan di Nusantara juga menyebar sampai ke negeri Tibet. Sramanera menceritakan pada abad ke-11, seorang guru Dharma termasyhur bernama Guru Atisha berangkat dari India menuju Serling (Sumatera saat ini). Di sana, Beliau bertemu dengan Guru Besar Serlingpa Dharmakirti. Selama belajar di Serling, Guru Atisha memperoleh banyak hal, salah satunya adalah pengetahuan tentang praktik persembahan.
Praktik persembahan yang diajarkan Guru Dharmakirti kini dikenal dengan sebutan Jorchoy atau Praktik Pendahuluan, yaitu serangkaian praktik pemurnian dan pengumpulan kebajikan untuk mengawali hari. Guru Atisha belakangan kembali ke India, lalu pergi ke Tibet dengan membawa ajaran praktik persembahan ini dan dipraktikkan hingga sekarang serta menyebar ke seluruh dunia bersamaan dengan menyebarnya Buddhisme Tibet.
Cari tahu lebih lanjut tentang praktik persembahan warisan Guru Dharmakirti di sini!
Persembahan yang Dilakukan Seorang Buddhis
Ajaran praktik persembahan telah ada sejak masa Guru Besar Serlingpa Dharmakirti, sehingga bisa dikatakan bahwa praktik ini juga merupakan bagian dari tradisi Buddhis. Sramanera berpendapat kalau persembahan dalam Buddhis itu sangat luas maknanya dan mudah dilakukan. Misalnya seseorang bisa mempersembahkan waktu dan tenaga untuk beraktivitas demi kepentingan semua makhluk. Bisa juga melalui persembahan makan dan minum.
Sramanera menambahkan bila seorang Buddhis hendak melakukan persembahan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membangkitkan motivasi bajik. Dengan motivasi tersebut, praktisi membersihkan ruangan dan tempat untuk melakukan persembahan. Setelah bersih barulah persembahan untuk Guru dan Buddha sebagai ladang kebajikan diletakkan. Selanjutnya, praktisi bisa mulai melantunkan doa-doa seperti Doa Tujuh Bagian serta memanjatkan permohonan.
Permohonan terhadap Guru dan Buddha bertujuan agar kita mencapai kondisi matang untuk praktik Dharma. Saat melantunkan permohonan ini, kita harus memiliki keyakinan bahwa ladang kebajikan benar-benar hadir di hadapan kita. Dengan berkeyakinan penuh saat membuat permohonan, maka praktik persembahan yang kita lakukan akan membuahkan hasil.
Di akhir acara, Beliau menjawab sebuah pertanyaan yang menarik, yaitu berapa lama sebaiknya persembahan dihaturkan di altar. Beliau kemudian berkata, “Kalau bisa ganti dalam tiap berapa menit sekali itu malah sangat bagus. Nggak ada aturan berapa lama persembahan ada di altar. Minimal kita ganti sehari sekali.”
Meski tidak ada aturan baku perihal berapa lama persembahan harus diletakkan di altar, lebih baik bila kita sering menggantinya agar persembahan itu tidak kotor terkena debu. Bagaimanapun juga, hal yang terpenting dari praktik persembahan persembahan untuk Guru dan Buddha adalah keyakinan dan kemurnian objek persembahannya.
Kesimpulan
Jadi, praktik sesajen adalah tradisi menyuguhkan aneka benda untuk berkomunikasi dengan alam dan mengungkapkan rasa syukur yang diwariskan oleh leluhur bangsa kita. Sementara itu, persembahan sifatnya lebih khusus karena dihaturkan kepada makhluk yang lebih tinggi statusnya. Dalam Buddhisme, kita bisa mengumpulkan kebajikan dengan menghaturkan persembahan kepada Triratna.
Hal terpenting saat memberi persembahan adalah keyakinan dan motivasi kita untuk bisa praktik Dharma demi mencapai Kebuddhaan sehingga bisa menolong semua makhluk dari penderitaan.
Penulis: Junarsih