oleh Junarsih
Berpendapat di zaman modern ini makin mudah, tapi apakah berarti makin bebas? Mungkin iya, mungkin tidak. Apalagi kalau sudah bahas isu hot atau berhubungan dengan pemerintahan. Satu orang saja yang mengkritik, “kritik” terhadap kritik itu bisa langsung menyerbu. Mengutip dari cnnindonesia.com, Kwik Kian Gie menuliskan pernyataannya yang merasa sulit mengeluarkan pendapat di era saat ini, “Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil.”
Pernyataan Kwik Kian Gie di atas menjadi trending di Twitter kurang lebih pada 6 Februari 2021. Selain itu, Kwik menuliskan sebuah perbandingan yang cukup mengejutkan. Ia beranggapan bahwa mengeluarkan pendapat di era kepemimpinan Soeharto lebih mudah dan tidak akan terjadi masalah apapun. Padahal kalau digali lebih dalam, era Soeharto merupakan era yang sangat tertutup bagi masyarakat yang ingin berpendapat. Sekali ada yang berani mengkritik pemerintah, kemungkinannya ada dua: kritiknya tidak terbit atau orangnya yang hilang! Kalaupun ada kritik terhadap rezim yang lolos, pasti sudah melalui penyaringan terlebih dahulu.
Bisa saja Kwik menuliskan pernyataan tersebut karena dulu memang tidak ada media sosial sehingga informasi tidak bisa tersebar dengan cepat. Sekarang penyebaran informasi bisa dengan cepat dan masyarakat bisa bebas mengungkapkan pendapatnya untuk mendapatkan tanggapan langsung. Atau karena sekarang sudah ada UU ITE dan banyaknya buzzer, jadinya membuat Kwik menjadi takut berpendapat?
Nyatanya, hingga saat ini pun banyak masyarakat yang menyampaikan pendapat tetapi masih aman-aman saja. Tapi, kita tetap harus sadar dengan etika dan kriteria saat menyampaikan pendapat. Seperti apa etika berpendapat itu? Ternyata Sang Buddha juga mengajarkannya, lho!
Motivasi Berpendapat
Pertama-tama, ada satu pertanyaan yang harus kita jawab. Kita berpendapat itu atas dasar apa sih? Apakah kita tulus ingin memberi kritik atau saran untuk kemajuan bersama atau sekadar pingin mengungkapkan uneg-uneg kemarahan? Atau ingin menjatuhkan orang lain dengan menunjukkan kekurangannya? Coba direnung-renung dulu…
Kita harus punya motivasi bajik kita sebelum berpendapat. Usahakan kita berpendapat untuk memperbaiki keadaan, bukan sekadar melampiaskan kemarahan. Jika kita hanya ingin menyalurkan emosi, bisa-bisa kondisi semakin runyam. Usahakan juga pendapat kita baik kritik maupun saran benar-benar ditujukan untuk membela kepentingan banyak orang, bukan untuk menjatuhkan pihak tertentu.
Mengemukakan pendapat juga bisa menjadi praktik Dharma jika dilakukan dengan motivasi yang tepat. Setiap tindakan kita akan menjadi praktik Dharma jika dilakukan dengan motivasi meraih kebahagiaan di kehidupan mendatang, bebas dari samsara, atau lebih baik lagi mencapai Kebuddhaan demi menolong semua makhluk. Ketika kita secara sadar mengeluarkan ucapan dengan menghindari ucapan tidak benar, memecah-belah, ucapan kasar, atau ucapan yang tak berguna, maka tindakan kita itu menjadi salah satu dari 10 jalan karma putih (dasa kusala kamma). Karma putih yang lengkap dengan motivasi di atas dijamin bisa mendatangkan kebahagiaan!
5 Kriteria Ucapan Benar
Setelah motivasi kita sudah diatur, maka kita bisa menyelami lima kriteria ucapan benar dalam Jalan Arya Berunsur Delapan, yakni diucapkan pada waktu yang tepat, ucapan itu adalah benar, diucapkan dengan lembut, ucapan yang bermanfaat, dan diucapkan dengan pikiran cinta kasih.
Diucapkan Pada Waktu yang Tepat
Kira-kira pas nggak ya kalau aku ngomong sekarang? Takutnya ntar malah dia semakin tersinggung atau merasa bersalah!
Berbicara di waktu yang tepat masih agak susah memang, tapi harus diusahakan. Lihatlah situasi dan kondisi. Jangan sampai kita menyampaikan kritik pedas saat suasana memanas yang ada malah dunia tak bisa bernapas. Misal saja ada seorang pemimpin yang mengambil salah tindakan yang menyebabkan pembangunan jembatan layang menjadi ambles dan merugikan banyak orang. Tak lama kemudian beritanya sudah tersebar luas di media cetak maupun sosial. Apa yang akan kita lakukan? Diam sajakah? Belum tentu, sering kali kita malah ikut-ikutan memberi kritik pedas kepada pemimpin itu.
Namun, pernahkah kita berpikir tentang perasaan si pemimpin itu? Berat tanggung jawabnya untuk menjalankan sebuah proyek dan malah proyek itu gagal. Toh kita belum tentu juga bisa menjalankannya dengan baik. Saat kritik pedas kita sampai ke telinga si pemimpin, pasti ada perasaan bersalah yang luar biasa yang ia rasakan. Ada baiknya kita bisa menyampaikan kritik dengan baik kalau waktu sudah tidak memanas, dan ingat, kritiknya harus yang membangun, jangan membuat down orang lain!
Ucapan Harus Benar
Buddha mengajarkan kita untuk senantiasa menjaga ucapan. Begitu pula dalam menyampaikan pendapat. Kritik maupun saran haruslah termasuk dalam ucapan yang benar. Kalau ucapan kita tidak benar, buat apa kita berpendapat? Ucapan benar juga ada kaitannya dengan sila keempat Pancasila Buddhis, musāvāda veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi yang berarti “Saya bertekad menghindari ucapan yang tidak benar”.
Nah, kita harus berhati-hati sebelum mengkritik atau berpendapat. Jangan sampai ucapan yang kita lontarkan didasarkan pada berita yang tidak benar! Seperti sekarang saja banyak beredar kabar tidak benar alias hoaks. Cek dulu keabsahan sumber informasi yang kita pakai. Kalau kita tertipu, nggak perlu malu untuk mengakui bahwa kita salah menggunakan sumber. Itu lebih baik daripada mati-matian membela kebohongan hanya demi mendukung argumen kita!
Waspadai jalan karma ucapan tidak benar! Baca di sini.
Diucapkan dengan Lembut
Menyampaikan kritik identik dengan nada lantang dan keras yang biasanya sulit diterima orang lain, padahal tidak harus begitu, lho! Karakter setiap orang itu berbeda, ada yang biasa saja kalau diajak bicara dengan nada keras, tapi bisa juga ada mudah tersinggung. Kalau kita mau menyampaikan kritik maupun saran, sesuaikanlah dengan karakter orang tersebut. Sebisa mungkin, sampaikanlah dengan lembut supaya yang menerima nggak keburu emosi dan bisa mencerna masukan kita dengan kepala dingin. Kita pun pasti nggak mau kalau diajak bicara dengan nada lantang, apalagi ditambah bumbu kata-kata binatang kaki empat. Sebelum bicara dengan lantang dan kasar kepada orang lain, cobalah pada diri sendiri dahulu. Itu akan membuat kita terbiasa bicara dengan lembut. Cobain deh!
Baca juga: jalan karma ucapan kasar
Ucapan yang Bermanfaat
Ucapan yang bermanfaat itu seperti apa ya? Seperti olahraga yang bermanfaat untuk kesehatan tentunya. Perbandingannya terlalu jauh sih, tapi seperti itu kira-kira. Berucap itu perlu ada tujuannya, nggak asal ngomong. Ucapan yang bermanfaat bisa membuat orang berubah dari tidak baik menjadi baik atau bahkan bisa sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari kadang kalau kita berucap tidak bermanfaat bisa membuat orang lain bermusuhan. Salah satu contoh kejadiannya misal ada teman kita yang berteman sama orang yang kita tidak suka, lalu kita sengaja menghasut teman kita ini untuk putus hubungan dengan orang itu. Teman kita dan orang yang tidak kita sukai tadi pun bertengkar. Persahabatan mereka pecah. Itu contoh sederhana dalam persahabatan. Kalau mau contoh yang lebih seru, cari saja berapa banyak provokator yang memecah belah orang pakai basis suku, agama, dan ras waktu musim pemilu. Kita tentu boleh ikut berkomentar, tapi pastikan kita cek motivasi dulu! Jangan sampai kita dengan sengaja bikin orang lain pecah kubu, nanti kita yang kena batunya.
Baca juga: jalan karma ucapan memecah belah & ucapan tak berguna
Ucapan dengan Pikiran Cinta Kasih
Kalau sudah benci maka tiada cinta kasih. Kalau sudah benci apapun bisa terjadi, termasuk ucapan penuh dengki. Ucapan bisa muncul karena diproses dulu di otak, otak bisa bekerja karena ada pikiran sadar yang mengendalikan. Pikiran sadar inilah yang bisa menentukan segala hal secara baik dan buruk, termasuk juga cara kita mengkritik orang lain. Kalau sudah benci dengan si A, ya sudah pasti akan saling menjatuhkan karena ego sangat tinggi. Pikiran yang tidak diliputi dengan cinta kasih ini akan membuat kita terjerumus dalam lingkaran penderitaan untuk diri sendiri dan juga orang lain. Kalau saja cinta kasih timbul dalam pikiran, maka kita bisa mengendalikan ucapan dan menumbuhkan kebahagiaan.
Selain lima kriteria ucapan benar tersebut, saat akan menyampaikan pendapat baik kritik maupun saran kita harus tahu juga perihal UU. Ditambah lagi sekarang orang-orang bisa menyampaikan pendapat secara langsung melalui media sosial dengan kalimat seenaknya sendiri.
UU ITE
Selain kita perlu memahami berbagai kriteria dalam berucap, kita juga harus memahami undang-undang yang berlaku di negara kita. Apalagi sekarang kan kita sudah bebas melontarkan pendapat tidak hanya di muka umum secara langsung, tapi kita sudah bisa mengkritik atau memberi saran via media sosial yang bisa mendapat tanggapan langsung dari masyarakat luas. Saking mudahnya, kita kadang berpikir “ah, mau ngomong apa saja bebas, tidak masalah”. Eits, tunggu dulu, hati setiap manusia itu berbeda, bisa jadi setiap perkataan yang tertulis di media sosial bisa menyinggung perasaan bahkan menyesatkan. Karena bersifat umum dan bisa diakses orang banyak, cuitan kita pun menjadi ranah yang diperhatikan pemerintah.
Melansir dari tempo.com, juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, mengungkapkan bahwa sebelum mengkritik, kita harus membaca dan menyimak dengan baik UU No 19/2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya dalam pasal 45a ayat (1) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen serta ayat (2) tentang dengan sengaja dan tanpa hal menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Kalau dilihat dari ayatnya, seharusnya kita tidak akan melanggar undang-undang kalau sudah berucap benar sesuai dengan yang diajarkan sang Buddha. Namun, beberapa pihak menyebutkan bahwa UU ITE ini memiliki banyak pasal karet yang bisa membungkam kritik dari publik. Nah, gimana nih? Sebenarnya kebijaksanaan kita sebagai warga negaralah yang harus ditumbuhkan supaya bisa mengolah kritik dengan cantik. Pertama-tama, pilah dulu apa yang perlu dikritik dan apa yang tidak. Kemudian, kalau mengkritik itu yang sewajarnya, nggak perlu pakai kata-kata kasar. Tapi sudah kebiasaan pakai kata kasar menjadi budaya di tempatku, gimana nih? Itu urusan kita dengan budaya sendiri, bukan dengan orang lain di beda tempat. Sudah beda tempat, beda budaya pula, pasti pemahamannya akan berbeda. Kalau berbicara tidak hati-hati, ujung-ujungnya bikin kerusuhan dan permusuhan, kalau ketemu jadinya tawuran. Kalau di medsos sukanya nyinyir-nyinyir, kapan bangsa ini akan maju? Pikir sendiri ya!
Kesimpulan
Kalau sudah paham dengan lima basis ucapan benar, maka kita tentunya bisa mulai berlatih mengemukakan pendapat dengan baik. Pada dasarnya, mengemukakan pendapat baik itu kritik maupun saran adalah salah satu Hak Asasi Manusia yang harus dijunjung. Tentunya kita bisa menyampaikan kritik yang tajam jika diperlukan, tapi harus dengan bahasa yang bisa diterima masyarakat tanpa menjatuhkan orang lain serta memperhatikan undang-undang yang berlaku. Di samping itu, ada hal yang paling utama sebelum kita berbicara, yakni berpikir dahulu. Apa motivasi saya mengucapkan hal ini: untuk memperbaiki keadaan atau sekadar melampiaskan kemarahan? Untuk membela kepentingan banyak orang atau sekadar untuk menjatuhkan satu orang?
Satu hal lagi yang perlu kita ketahui, meski sudah menyampaikan kritik dan saran berbasis ucapan benar via media sosial, tidak ada jaminan kita tidak akan balik dikritik. Pak Kwik Kian Gie bisa berceloteh soal takut diburu buzzer tentu ada basisnya! Minimal, pastikan batinmu anti baper dan siap memilah mana yang bisa diabaikan dan mana yang perlu dijadikan pelajaran.
Lebih jauh lagi, kalau kita melihat sejarah, tidak sedikit tokoh-tokoh kemanusiaan di masa lampau yang kehilangan nyawa karena melontarkan kritik demi kebaikan orang banyak. Melakukan suatu hal pasti ada resikonya. Makan ikan saja ada risiko tersedak, apalagi mengomentari isu ketidakadilan sosial yang bisa berdampak besar. Kalau tidak mau terkena risiko ya tidak apa-apa. Namun, kalau kita memang sudah dengan serius mendalami persoalannya dan punya kapasitas untuk melakukan perubahan tapi memilih untuk tidak berpendapat, siapa yang bisa menolong kita?
Referensi:
“Jalan Arya Berunsur Delapan – Ariyo Aṭṭhaṅgiko Maggo” – Bhagavant.com
“Jokowi Minta Dikritik, Warga Dibayangi Buzzer dan UU ITE” – cnnindonesia.com
“JK Tanya Cara Mengkritik Tanpa Dipanggil Polisi, Jubir Jokowi: Baca UU ITE” – tempo.co
Pembebasan di Tangan Kita Jilid II oleh Phabongkha Rinpoche