oleh Shierlen Octavia
Kata orang-orang, laki-laki adalah makhluk dari Mars dan perempuan adalah makhluk dari Venus. Masyarakat juga sering kali menganjurkan kita untuk berlaku seperti perempuan dan berpikir laiknya laki-laki (act like a lady, think like a man). Disadari atau tidak, hal-hal seperti ini membuat kita menciptakan palung untuk memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Akhirnya, kita pun memiliki banyak stereotipe yang berujung pada ekspektasi kita mengenai bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Tak jarang, keberadaan stereotipe ini membuat perempuan seakan lebih lemah atau punya lebih banyak kekurangan dibandingkan laki-laki.
Seakan tidak cukup memperburuk situasi, media—tempat kita banyak mendapatkan informasi, mulai dari televisi, koran, media sosial, radio, dan lain sebagainya banyak mendorong kita untuk membentuk persepsi tertentu mengenai perempuan. Sinetron misalnya, sering kali menggambarkan tokoh perempuan sebagai tokoh yang sangat emosional—selalu menangis saat ditindas oleh tokoh antagonis, ibu mertua yang selalu pemarah dan menaruh dendam pada sang tokoh utama perempuan yang bak malaikat berhati rapuh. Intinya selalu perempuanlah yang menggebu-gebu saat mengekspresikan emosi. Tak ayal, kaum hawa kemudian dilabeli sebagai kelompok yang lebih emosional dibandingkan kaum adam, apalagi ketika PMS mulai melanda (atau demikian menurut kebanyakan pria). Ada lagi ‘bisik-bisik tetangga’, yang digambarkan melalui berita-berita infotainment, dengan wanita yang kerap kali menjadi pembawa acara lengkap dengan sinetron yang selalu menyuguhkan para perempuan yang menggosip soal keburukan tokoh penting dalam alurnya. Makanya perempuan kedapatan lebih sering bergosip dibandingkan laki-laki.
Berlanjut kepada stereotipe umum lainnya, yakni mengenai standar kecantikan. Entah kita sadari atau tidak, kecantikan selalu mewujud sebagai seorang perempuan langsing, berkulit putih, tinggi semampai, dan berwajah tirus. Hal ini bisa kita saksikan bersama dalam berbagai tayangan iklan produk skincare yang mencari model sesuai ciri di atas yang kemudian dibesar-besarkan oleh beauty pageant yang menjadi impian para wanita. Maka tak heran ketika perempuan sangat mempermasalahkan soal perubahan angka di timbangan atau khawatir berlebih ketika harus bepergian tanpa kosmetik. Namun, bukan hanya media yang terus kita jadikan kambing hitam. Banyak pula pandangan dalam budaya setempat yang membuat wanita harus selalu menyesuaikan standar yang dipunyai masyarakatnya. Label ‘jomblo’, ‘perawan tua’, ‘gak laku-laku’, sering menjadi momok bagi perempuan kebanyakan perihal status hubungan. Perempuan yang tak berpasangan misalnya, akan selalu ditanyai oleh anggota keluarga besar dalam momen kebersamaan keluarga soal pacar. Apalagi kalau usianya sudah menyentuh kepala dua. Ketika memasuki kepala tiga namun masih berstatus lajang, wanita mulai dilihat sebagai ‘perawan tua’ dan harus segera dicarikan pasangan karena usia primanya untuk menikah akan lewat begitu saja jika tak dicarikan lelaki. Kaum selebritas akan terus dikejar wartawan ketika masih melajang di usia dewasa, atau bahkan ketika baru saja putus dengan pacarnya di usia 30-an. Akhirnya, tak sedikit perempuan yang sudah kalut ketika di usia 20-an masih sendiri tanpa ada gandengan. Hal ini membuat pemikiran bahwa perempuan sangat ‘berlebihan’ ketika berbicara soal hubungan romantis menjadi tidak aneh.
Ada lagi ide mengenai laki-laki sebagai ‘pemburu’ (hunter) dan wanita sebagai ‘pengumpul’ (gatherer) sebagai kepercayaan di waktu dulu yang kemudian bertransformasi menjadi ide bahwa ‘perempuan sangat suka berbelanja’ di masa kini (karena perempuan suka mengumpulkan barang). Hal ini tidak sepenuhnya keliru, sebab ada faktor sejarah yang bermain dalam hal ini. Pemikiran ini awalnya bermula dari timbulnya konsumerime masyarakat Amerika pada tahun 1920an (Young-Eisendrath, 2011). Toko-toko yang sebelumnya tidak didekor dengan apik, gelap, dan tidak menarik, disulap menjadi tempat glamor yang kini dinamakan toko serba ada (toserba). Di sanalah untuk pertama kalinya, wanita yang kerap kali dibungkam mulutnya untuk beropini diajak untuk tidak hanya sekadar membeli barang, tetapi juga membuat pilihan. Lebih dari itu, mereka ditanyai pendapat soal hal yang mereka inginkan! Untuk pertama kalinya dalam sejarah besar dunia, wanita diperbolehkan untuk mempraktikkan hak atas ‘kebebasan’nya di toserba dan mereka diperbolehkan untuk berbelanja apa saja. Atas dasar hal tersebut, kesenangan akan kebebasan berpendapat melalui berbelanja diteruskan ‘turun temurun’ kepada para wanita hingga di masa modern ini. Meskipun demikian, stereotipe seperti ini tidaklah mendefinisikan wanita seutuhnya.
Tidak seluruhnya dari stereotipe di atas menandakan ketidakbenaran mengenai perempuan. Dalam hal emosi sebagai contoh, adalah betul bahwa perempuan bisa jadi lebih emosional terutama ketika mengalami PMS karena adanya perubahan biologis dalam tubuhnya. Secara khusus, hal ini terjadi karena ketika periode menstruasi, kadar estrogen dan progesteron yang berubah akan mempengaruhi kadar serotonin, yakni hormon yang mengatur emosi seseorang (Watson, 2018). Rata-rata perempuan juga lebih banyak berbicara dibandingkan rata-rata pria, dengan perempuan bisa berucap hingga 20.000 kata per hari sementara lelaki 7.000 kata (Aponte, 2019) meskipun pada penelitian yang sama disebutkan bahwa perbedaan tersebut lebih berhubungan dengan status dibandingkan dengan gender.
Banyak pula penelitian yang menyebutkan bahwa perempuan memang lebih perasa dibandingkan lelaki karena secara fisiologis, wanita lebih baik dalam merespons penderitaan yang dirasakan orang lain (Christov-Moore & Iacoboni, 2019). Kecenderungan perasa ini bahkan berpotensi menjadi sebuah keunggulan karena mempermudah perempuan mengembangkan welas asih. Hal ini bahkan menjadi salah satu dasar bagi pernyataan Y.M.S. Dalai Lama XIV tentang pentingnya perempuan dalam tatanan masyarakat abad 21.
“Saya memanggil seluruh perempuan generasi masa depan untuk menjadi ibu dari revolusi welas asih yang amat sangat dibutuhkan abad ini. Kalian punya peran istimewa dalam menciptakan dunia yang lebih baik. Perempuan lebih berempati dan sensitif, lebih bisa merasakan perasaan orang lain. Pelajarilah sejarah dan kalian akan melihat bahwa laki-lakilah yang bertanggung jawab atas kekacauan dan kehancuran.”
Y.M.S. Dalai Lama XIV
Terlepas dari faktor-faktor tersebut, Buddha sebenarnya pernah menjelaskan penyebab timbulnya perilaku-perilaku tersebut, bahkan lama sebelum artikel ini maupun penelitian lainnya dituliskan di dunia. Buddha berkata, adalah pikiran kita sendirilah yang membentuk perilaku, bahkan sifat kita. Bisa saja ada teman laki-laki kita yang sangat suka berbelanja, ketika di sisi lain, ada teman perempuan yang senangnya berdiam diri di rumah mengerjakan hal lain. Di belahan dunia lain, ada pula laki-laki yang lebih empatik, dan ada pula perempuan yang teramat cuek soal perasaan. Saat ini, banyak pembawa acara infotainment laki-laki menghiasi layar kaca dan perempuan yang berkarier sebagai pilot, yang notabene dikait-kaitkan sebagai pekerjaan maskulin. Oleh karena itu, dibandingkan dengan penyebab-penyebab di atas, klesha kita—kemelekatan, kebencian, ketidaktahuan batin—yang membelenggu kitalah yang banyak berperan terhadap terjadi dan ‘dibenarkan’-nya stereotipe-stereotipe tersebut. Saat wanita dicap lebih meledak-ledak dalam hal emosi, sesungguhnya hal ini tak terlepas dari sulitnya diri kita dalam mengendalikan klesha kemarahan dan kebencian dalam diri kita. Ketika kita sulit menghentikan diri saat berbelanja ke mall, lagi-lagi kegagalan kita akan pengendalian klesha kemelekatan dan keserakahanlah yang membuat baik perempuan maupun laki-laki, terus menerus mempertahankan kebiasaan buruk tersebut. Kecemasan dan rendahnya kepercayaan diri dengan status lajang karena merasa harus mengikuti apa kata masyarakat berakar dari pandangan salah mengenai ‘mayoritas selalu benar’ misalnya, yang menuntun entah perempuan maupun laki-laki untuk buru-buru mencari pasangan atas dasar ‘asalkan ada’ belaka.
Disadari atau tidak dan suka atau tidak, kita memiliki delusi bahwa mengikuti keinginan klesha akan membawa kita pada kebahagiaan. Kita merasa memuaskan hasrat dengan mengejar sebab-sebab di luar diri kita (contoh: berbelanja banyak barang agar merasa bahagia) akan membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Akan tetapi, selalu sebab-sebab dalam dirilah—cara berpikir dan melihat berbagai hal—yang merupakan sebab kebahagiaan yang utama. Kita bisa merasa bahagia bahkan ketika lawan bicara kita begitu menyebalkan. Kita bisa tetap merasa cukup, bahkan ketika kita tidak membeli barang-barang yang kita inginkan di mall. Kita bisa merasa cantik, bahkan ketika wajah kita tidak sebening selebriti Korea Selatan.
Kendati demikian, adalah sebuah perjalanan panjang dan penuh lika-liku bagi kita untuk mengesampingkan berbagai stereotipe gender di masyarakat. PR ini memang harus dikerjakan bersama dalam masyarakat melalui usaha-usaha untuk memeperlakukan manusia sebagaimana adanya, bukan dari jenis kelamin semata. Namun, sebagai seorang individu, tetap ada hal yang bisa kita lakukan, yakni dengan berjuang mengendalikan pikiran dan klesha kita pribadi. Dagpo Rinpoche pernah berkata dalam salah satu ceramahnya bahwa melalui tubuh manusia yang berharga ini, kita memiliki potensi besar untuk mencapai apa pun yang kita tetapkan bagi diri sendiri. Namun, tak pernah ada hasil istimewa dari potensi tersebut jika kita tidak berusaha. Berjuang untuk mengurangi klesha dan mengembangkan faktor-faktor mental bajiklah yang pada akhirnya akan mampu mematahkan stereotipe-stereotipe tersebut, sebab sekali lagi—bukan karena Anda adalah laki-laki atau perempuan yang akan membenarkan pernyataan di atas, namun usaha Anda dalam menaklukkan batin Anda sendirilah yang akan membuktikan kebenarannya.
Sumber:
Pengenalan Batin & Faktor-Faktor Mental oleh Guru Dagpo Rinpoche
Aponte, C. (2019). Do women really talk more than men?: What is the evidence? Psychology Today.
Christov-Moore, L. & Iacoboni, M. (2018). Sex differences in somatomotor representations of others’ pain: A permutation-based analysis. Brain Structure and Function, 224, 937-947.
Watson, S. (2018). How to deal with premenstrual mood swings. Healthline.
Young-Eisendrath, P. (2011). Ladies, love to shop? I know why! Psychology Today.