oleh: Dr. Alexander Berzin
Apa itu Lamrim dan Bagaimana Ia Bersumber dari Ajaran Buddha?
Jalan bertahap, Lamrim, adalah cara untuk mengakses dan menerapkan dasar ajaran Buddha dalam kehidupan kita. Buddha hidup 2500 tahun yang lalu bersama dengan komunitas biksu, dan kelak, dengan komunitas biksuni. Beliau tak hanya mengajari komunitas biksu/i, tapi juga sering diundang ke kediaman umat awam untuk dipersembahkan makanan, dan setelahnya, memberikan ceramah.
Buddha selalu mengajar dengan apa yang kita sebut ‘cara terampil’, yang mengacu ke metode pengajaran beliau yang sedemikian rupa sehingga tiap orang bisa meraih pemahaman. Hal ini penting karena pada waktu itu, dan tentu sampai saat ini, terdapat beragam tingkatan kecerdasan dan perkembangan spiritual. Hal ini menyebabkan ajaran Buddha mencakup berbagai topik pada berbagai tingkatan.
Banyak pengikut Buddha dengan ingatan yang luar biasa. Saat itu, tak ada yang tertulis, dan seluruh ajaran diingat oleh para biksu untuk kelak diturunkan secara lisan pada generasi selanjutnya. Pada akhirnya, ajaran dituliskan dan dikenal sebagai sutra. Berabad-abad setelahnya, banyak Guru besar India yang mencoba mengorganisasikan semua bahan ajaran ini dan menulis komentar atasnya. Atisha, salah satu Guru India yang pergi ke Tibet, menciptakan model awal bagi penyajian ajaran yang demikian, Lamrim, pada abad ke-11.
Model awal Atisha menyajikan sebuah metode yang memungkinkan tiap orang mengembangkan diri mereka menjadi Buddha. Membaca sutra secara acak takkan memberikan kita jalan spiritual yang jelas terkait dari mana harus memulai, atau bagaimana mencapai pencerahan. Semua bahan ajaran memang sudah tersedia, namun tak mudah untuk menempatkan mereka dalam susunan yang teratur. Inilah yang persisnya dilakukan Lamrim, dengan menyajikan bahan ajaran secara bertahap. Setelah Atisha, terdapat beragam versi ajaran yang lebih rinci yang ditulis di Tibet. Kita akan mengkaji versi yang ditulis pada abad ke-15 oleh Tsongkhapa, yang mungkin merupakan rincian terbesar dari keseluruhan bahan ajaran. Keistimewaan karya Tsongkhapa adalah bahwa ia mencuplik kutipan dari sutra dan komentar India, sehingga kita dapat memastikan bahwa apa yang beliau tulis bukanlah hasil karangan belaka.
Keistimewaan lainnya adalah karya Tsongkhapa menyajikan tampilan yang amat detail dan logis terkait aneka ragam poin, sehingga kita bisa semakin meyakini kesahihan ajaran berdasarkan logika dan nalar. Ciri khas Tsongkhapa adalah, tak seperti para pengarang sebelumnya yang cenderung melewatkan poin-poin paling sukar, beliau justru mendalaminya. Dari 4 tradisi Buddhisme-Tibet, tradisi yang bersumber dari Tsongkhapa disebut ‘Gelugpa’.
Apa Makna Jalan Spiritual, dan Bagaimana Merancangnya?
Pertanyaan yang sesungguhnya adalah: bagaimana merancang jalan spiritual? Banyak metode berbeda yang diajarkan secara umum di India. Metode pengembangan konsentrasi, misalnya, terdapat dalam semua tradisi India pada masa Buddha. Metode ini bukanlah sesuatu yang beliau temukan atau buat-buat. Menyangkut tata cara mengembangkan diri, semua orang sepakat bahwa kita harus mencari cara memasukkan konsentrasi dan aneka aspek lainnya ke dalam jalan spiritual kita.
Tentu saja, Buddha punya beragam penjelasan untuk memahami aneka poin terkait cara mengembangkan diri kita, namun apa yang benar-benar spesifik adalah pemahaman Beliau terkait tujuan-tujuan spiritual. Prinsip utama tujuan-tujuan spiritual ini, yang ditempatkan menurut tingkatan yang berbeda-beda, adalah motivasi kita.
Istilah yang dipakai di sini adalah ‘Lamrim’; ‘lam’ bermakna ‘jalan’ dan ‘rim’ merujuk ke tingkatan yang bertahap dari jalan ini. Jalan ini adalah berbagai kondisi batin yang perlu kita kembangkan secara bertahap untuk mencapai tujuan kita. Ini ibarat melakukan sebuah perjalanan; bila kita ingin pergi dari Rumania ke India, maka India adalah tujuan utama kita. Tapi pertama-tama, untuk mencapai India, kita mungkin harus menyusuri Turki, Iran dan seterusnya, sebelum kita sampai di India.
Motivasi Spiritual: Memberi Makna pada Hidup Kita
Yang bertahap dalam Lamrim biasanya adalah motivasi kita, yang menurut Buddhisme terdiri dari 2 bagian. Motivasi terhubung dengan tujuan tertentu yang kita miliki, ditambah emosi yang mendorong kita untuk mencapai tujuan tersebut. Lebih tepatnya, kita punya alasan kenapa kita ingin mencapai sebuah tujuan, sekaligus emosi yang mendorong kita ke tujuan tersebut.
Hal ini menjadi masuk akal bila kita menengok kehidupan sehari-hari; kita juga punya berbagai tujuan pada berbagai tingkatan dalam hidup kita. Misalnya, kita ingin bersekolah, lalu mendapatkan pasangan hidup, lalu mendapatkan pekerjaan yang baik, dan seterusnya. Emosi positif maupun negatif bisa terlibat dalam semua aktivitas ini, dan kasusnya berbeda dari orang ke orang. Apapun itu, motivasi yang bertahap adalah sesuatu yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari kita.
Demikian pula halnya menyangkut motivasi-motivasi spiritual kita. Ini adalah kondisi-kondisi batin yang sepenuhnya relevan dengan kehidupan sehari-hari kita. Apa yang kita lakukan dengan hidup kita? Memang terdapat ‘level duniawi’, yang di dalamnya mencakup keluarga kita, pekerjaan kita, dan lain-lain. Namun apa yang kita lakukan di level spiritual? Ini juga mempengaruhi bagaimana kita hidup. Penting sekali untuk menjaga agar kedua aspek kehidupan kita ini tak berlawanan atau terpisah satu sama lain, melainkan menyatu dengan harmonis.
Kedua aspek kehidupan ini tak hanya harus harmonis, namun juga mendukung satu sama lain. Kehidupan spiritual kita harus memberi kita kekuatan untuk menuntun kehidupan duniawi kita, selagi kehidupan duniawi kita juga harus menyediakan sumber daya yang memungkinkan kita mempraktikkan kehidupan spiritual kita. Apapun yang kita pelajari melalui Lamrim harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menjadi Orang yang Lebih Baik
Lantas apa yang kita lakukan dengan praktik Buddhis yang disajikan di sini? Praktik Buddhis secara umum dapat dirangkum dalam beberapa kata. Dalam bahasa yang sederhana, kita sedang berupaya menjadi orang yang lebih baik. Istilah ‘orang yang lebih baik’ dapat terdengar menghakimi, namun sesungguhnya tak ada penghakiman yang disiratkan di sini. Intinya bukan ini. Kita hanya mencoba mengatasi perilaku merusak dan emosi negatif yang kadangkala kita miliki, seperti amarah, keserakahan, sikap egois, dan sebagainya.
Buddhisme bukanlah satu-satunya agama atau filsafat atau praktik yang menyasar tujuan ini. Kristen, Islam, Judaisme, Hinduisme, serta humanitarianisme juga menyasar tujuan yang sama. Kita bisa menemukannya di mana-mana. Metode Buddhis, seperti yang juga bisa kita temukan dalam metode yang lain, dapat membantu kita mencapai tujuan ini dengan menawarkan pendekatan untuk menjadi orang yang lebih baik secara bertahap.
Untuk menjadi ‘orang yang lebih baik’, pertama-tama kita pasti ingin menghentikan perilaku merusak yang bakal mencelakai orang lain. Untuk melakukannya, kita harus melatih kontrol-diri. Pada level yang lebih dalam, begitu kontrol-diri tercapai, kita kemudian berfokus mengatasi sebab-sebab dari sikap merusak kita: amarah, keserakahan, kemelekatan, kecemburuan, kebencian, dan sebagainya. Untuk melakukannya, kita harus paham bagaimana emosi-emosi negatif ini muncul dan bekerja. Dengan cara ini, kita mengembangkan pemahaman tertentu yang dapat mengurangi atau menghilangkan emosi- emosi pengganggu ini.
Lalu, kita bahkan bisa masuk lebih dalam untuk berupaya memahami apa yang sebenarnya melandasi emosi-emosi pengganggu ini dengan mengenali sikap egois dan pemikiran yang hanya memikirkan diri sendiri. Kita biasanya berpikir, “Segalanya mesti sesuai kehendakku.” Bila nantinya yang terjadi tak sesuai kehendak, kita seringkali marah. Meski kita selalu ingin agar segalanya sesuai kehendak kita, tapi kenapa mesti demikian adanya? Sama sekali tak ada jawaban yang masuk akal untuk pertanyaan ini, kecuali fakta bahwa kita memang menginginkannya demikian. Semua orang berpikir dengan pola pikir macam ini, dan sayangnya, semua orang mustahil benar pada saat yang bersamaan.
Secara bertahap seiring waktu, kita akan terus berupaya sampai kita bisa mengatasi sumber masalah paling mendasar ini. Bila dianalisa, sikap egois kita bergantung pada konsep ‘aku’ dan ‘milikku’. Dengan kata lain, konsep ihwal bagaimana kita ada di dunia ini didasarkan pada ide bahwa ‘aku adalah seorang yang istimewa’, seolah-olah kita adalah pusat alam semesta, manusia paling penting yang tak bergantung pada manusia lainnya. Kita harus menyelidiki persepsi ini karena jelas sekali terdapat sesuatu yang amat keliru dan menyimpang tentangnya. Inilah yang persisnya disasar oleh jalan bertahap.
Tingkatan Motivasi yang Progresif: Dharma-Ringan
Metode yang diajarkan oleh Buddha amat berfaedah bagi tujuan-tujuan ini. Pada dasarnya, kita punya alasan untuk menghindari perilaku merusak dan emosi negatif seperti amarah dan sikap egois. Mungkin alasannya adalah karena kita paham bahwa ketika kita bertindak di bawah pengaruh amarah atau sikap egois, hal ini sama sekali tak menyenangkan dan menimbulkan masalah bagi diri kita dan orang lain. Kita tak menginginkan masalah-masalah ini!
Kita juga bisa mendekati isu ini secara bertahap. Jika aku bertindak dengan cara tertentu, ia menimbulkan masalah dan kesukaran saat itu juga. Misalnya, jika kita bertengkar dengan orang lain dan melukai mereka, kita juga bisa terluka atau masuk penjara. Pada level yang lebih dalam, kita juga bisa melihat dampak jangka panjang dari perilaku merusak kita, karena kita juga ingin menghindari masalah di masa depan, bukan hanya saat ini. Lebih jauh, kita juga ingin menghindarkan keluarga kita, orang tercinta, sahabat, dan masyarakat dari masalah dan kesusahan. Semua ini tercakup dalam batasan jangka kehidupan saat ini. Bahkan, kita bisa berpikir lebih jauh lagi, seperti ingin menghindarkan generasi mendatang dari masalah semisal pemanasan global.
Seluruh motivasi ini tak berarti bahwa kita mengorbankan motivasi lama ketika mengembangkan motivasi baru; alih-alih, mereka terus berhimpun, dan yang lama ditambahkan ke yang baru. Inilah prinsip umum jalan bertahap. Semua yang dijelaskan di atas diberi nama ‘Dharma–Ringan’, yang menyajikan ajaran Buddha – ‘Dharma’ – terkait kehidupan saat ini saja, tanpa sangkut-paut ke kelahiran kembali. Istilah ‘Dharma-Ringan’ dan ‘Dharma-Sejati’ dibuat untuk dianalogikan dengan perbedaan antara ‘Coca-Cola Lite’ dan ‘Coca-Cola dengan gula asli’.
Sangsikanlah Kelahiran Kembali demi Fokus untuk Meningkatkan Diri di Kehidupan Saat Ini
‘Dharma’ adalah kata Sanskerta yang merujuk ke ajaran Buddha. ‘Ringan’ tak berarti bahwa ada yang salah dengan Dharma, melainkan bahwa Dharma versi ini tak sesejati dan sekuat makna aslinya. Hakikat sejati terdapat dalam Lamrim menurut tradisi Tibet, namun mungkin hal ini terlalu sulit untuk kita cerna pada awalnya. Alasannya, Lamrim berasumsi bahwa kita telah meyakini kelahiran kembali, dan semua topik yang disajikan didasarkan pada premis bahwa kelahiran kembali itu ada. Dari sudut pandang ini, kita mulai berupaya menghindari masalah di dan memperbaiki kehidupan kita yang akan datang.
Jika kita tak meyakini kehidupan mendatang, lantas bagaimana mungkin kita bisa tulus mengembangkan motivasi untuk memperbaikinya? Hal ini mustahil adanya. Jika kita punya pertanyaan terkait kehidupan masa lampau dan masa depan, dan pada akhirnya tak meyakini atau bahkan tak memahaminya, maka kita harus mulai dengan ‘Dharma-Ringan’. Kita harus jujur pada diri sendiri menyangkut apa sebenarnya tujuan kita dalam praktik spiritual.
Kebanyakan dari kita ingin membuat hidup ini menjadi sedikit lebih baik. Dan tujuan ini sepenuhnya sahih. Ini adalah permulaan dan langkah yang sangat penting. Meski begitu, ketika kita berada di level ‘Dharma-Ringan’, penting untuk mengakui bahwa ini adalah ‘Dharma-Ringan’ dan bukan hal yang sejati. Dengan menyamakan keduanya, kita akan merendahkan Buddhisme menjadi sekadar bentuk terapi atau teknik pertolongan-diri. Pandangan ini sangat sempit dan tak adil terhadap Buddhisme.
Bahkan sebelum meyakini kebenarannya, kita juga harus mengakui jika kita tak paham apa itu ‘Dharma-Sejati’. Kita harus berpikiran terbuka dan berpikir, “Aku tak yakin bila apa yang mereka katakan tentang kehidupan mendatang dan pembebasan adalah kebenaran, namun saat ini aku akan berupaya pada level ‘Dharma-Ringan’. Seiring aku berkembang dan belajar dan bermeditasi lebih jauh, mungkin aku akan lebih bisa memahami ‘Dharma Sejati’.” Ini adalah pendekatan yang sangat sahih dan tepat, yang didasarkan pada rasa hormat pada Buddha dan keyakinan bahwa beliau tak sekadar bicara ngawur saat mengajarkan hal tersebut.
Kita juga bisa mengakui bahwa beberapa definisi dan penjelasan kita ihwal kehidupan mendatang dan pembebasan amat mungkin salah, dan bahwa Buddhisme juga takkan menerima definisi atau penjelasan tersebut. Jadi, sesuatu yang kita anggap konyol mungkin juga akan tampak konyol bagi Buddha karena sesuatu ini adalah pemahaman yang keliru. Misalnya, keyakinan bahwa kita adalah roh bersayap yang terbang keluar dari satu tubuh untuk memasuki tubuh lain adalah pandangan yang juga takkan diterima oleh Buddha. Buddha juga menolak ide bahwa kita bisa menjadi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Manfaat Memikirkan Kelahiran Kembali Sejak Waktu Tak Bermula
Sebagian besar metode yang disajikan dalam jalan bertahap ini dapat diterapkan dalam ‘Dharma-Ringan’ atau ‘Dharma-Sejati’. Tapi, terdapat beberapa metode yang benar-benar bergantung pada pemahaman kita akan kehidupan mendatang. Misalnya, agar mampu mengembangkan cinta kasih yang setara pada semua makhluk, salah satu metodenya adalah mengakui bahwa tiap makhluk telah terlahir kembali sejak waktu tak bermula, dan bahwa jumlah makhluk itu bukannya tak terhingga. Dari sudut pandang ini, sangat logis bahwa pada satu titik tertentu, semua makhluk pastilah pernah menjadi ibu dari kita dan semua makhluk lainnya. Kita juga telah menjadi ibu dari semua makhluk lainnya. Seseorang dapat membuktikan logika ini – waktu tak bermula dengan jumlah makhluk yang terhingga – secara matematis. Jika waktu dan jumlah makhluk sama-sama tak terhingga, kita tak dapat membuktikan argumen kita.
Jelas bahwa ini adalah topik yang amat sulit dipahami, apalagi jika kita tak pernah berpikir tentang kelahiran kembali yang tak terhingga. Berdasarkan kelahiran kembali yang tak terhingga, kita bisa memikirkan betapa semua makhluk telah menunjukkan cinta kasih seorang ibu pada kita, lalu menghargai cinta kasih ini, lalu bertekad untuk menjadi orang yang lebih baik dan penuh cinta kasih untuk membalas kebaikan mereka. Terdapat keseluruhan perkembangan yang didasarkan pada hal ini. Sebagian proses ini adalah melihat bahwa benar tidaknya seseorang pernah menjadi ibu kita hanya terkait masalah waktu. Entah apakah kita belum melihat ibu kita selama 10 menit, 10 hari, atau 10 tahun, beliau tetaplah ibu kita. Sama halnya, jika kita belum melihat beliau selama 10 masa kehidupan, beliau tetaplah ibu kita. Ini adalah pemikiran yang sangat bermanfaat jika kita meyakini kelahiran kembali. Tanpa keyakinan ini, semuanya menjadi omong-kosong.
Hal ini berlaku terutama jika kita berpikir tentang nyamuk yang kita lihat, dan bukan melulu manusia. Nyamuk ini adalah ibu kita di kehidupan lampau, berhubung kelahiran kembali bisa mengambil bentuk apapun yang punya aktivitas mental. Kasus ini juga punya versi ‘Dharma-Ringan’-nya, di mana kita melihat bagaimana orang-orang bisa mengantar kita pulang, merawat, dan memberi kita makan. Semua orang dapat melakukan hal tersebut; saat kita bepergian, kita sering menjumpai orang asing yang bersikap sangat manis dan menawarkan keramahannya pada kita. Tak masalah apakah orang tersebut adalah laki-laki atau perempuan; siapapun dapat bersikap bak ibu terhadap kita. Anak kecil pun, jika beranjak dewasa, dapat merawat kita. Versi ‘Dharma-Ringan’ ini sangat bermanfaat (meski sedikit sempit), berhubung sangat sulit untuk berpikir bahwa nyamuk yang kita lihat dapat mengantar kita pulang dan merawat kita layaknya seorang ibu.
Gambaran ini sedikit menunjukkan ihwal bagaimana metode bisa diterapkan pada level ‘Dharma-Ringan’ dan ‘Dharma Sejati’. Keduanya sangat bermanfaat menurut versi mereka masing-masing, namun versi ‘Dharma-Ringan’ sangat terbatas. ‘Dharma Sejati’ membuka semesta kemungkinan yang lebih luas. Terlepas dari level manapun yang kita terapkan, poin utamanya adalah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika sedang terjebak kemacetan, atau menunggu antrian panjang, atau ketika sedang marah atau tak sabaran pada orang lain, kita bisa melihat semua makhluk sebagai ibu kita, baik di kehidupan lampau maupun saat ini; hal ini akan membantu meredakan amarah, membantu kita mengembangkan kesabaran. Jika ibu kita mendahului kita dalam antrian, pastinya kita takkan keberatan bila beliau dilayani duluan. Faktanya, kita mungkin sangat senang karena beliau dilayani terlebih dulu. Dengan cara ini, kita bisa mencoba menerapkan pemahaman ini. Kita tak boleh hanya mengembangkan pola pikir ini ketika duduk di atas bantalan meditasi, melainkan mesti menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Meditasi sebagai Metode untuk Melatih Diri Sendiri
Ketika proses Dharma digambarkan sebagai upaya melatih diri sendiri, inilah maknanya. Ketika kita bermeditasi di kamar kita sendiri yang tenang dengan suasana yang terkontrol, kita sedang berupaya membangkitkan jenis-jenis pemahaman ini dan kondisi-kondisi batin yang lebih positif. Kita menggunakan imajinasi kita untuk memikirkan orang lain dan mengembangkan sikap yang membangun terhadap mereka. Meski bukan metode tradisional, amat disarankan untuk melihat foto orang lain dalam meditasi kita. Memang tak ada teknologi foto 2500 tahun yang lalu, tapi sepertinya tak ada masalah bila kita menerapkan teknologi modern dalam proses meditasi.
Begitu kita cukup terbiasa dengan emosi positif tertentu, kita mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Inilah tujuannya. Memikirkan cinta kasih saat duduk di atas bantalan meditasi tapi setelahnya marah-marah pada keluarga dan kolega bukanlah hasil yang diharapkan. Jadi, kita tak boleh menganggap praktik meditasi kita sebagai pelarian dari kehidupan, di mana kita hanya ingin duduk menenangkan diri sendiri. Pergi ke dunia fantasi dan memikirkan segala hal yang menakjubkan juga adalah pelarian. Praktik meditasi harus berbeda; kita berlatih agar mampu mengatasi masalah-masalah dalam kehidupan.
Latihan adalah kerja keras, dan kita tak boleh membodohi diri sendiri, atau membiarkan diri kita dibodohi oleh iklan yang berkata bahwa latihan itu cepat dan mudah. Mengatasi sikap egois dan emosi merusak lainnya bukan hal yang mudah, karena mereka berasal dari kebiasaan yang tertanam amat dalam. Satu-satunya jalan untuk mengatasi mereka adalah mengubah sikap kita terhadap hal-ihwal dan membebaskan diri kita dari kebingungan yang melandasi emosi-emosi merusak ini.
Kesimpulan
Praktik Buddhisme bisa dibagi menjadi ‘Dharma-Ringan’ dan ‘Dharma Sejati’. Dengan ‘Dharma-Ringan’, kita ingin meningkatkan kualitas kehidupan kita saat ini dengan melengkapi diri dengan perkakas-perkakas mental untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan dengan lebih baik. ‘Dharma-Ringan’ tak keliru, namun seperti Coca-Cola Lite, ‘Dharma-Ringan’ tak senikmat ‘Dharma-Sejati’.
Secara tradisional, ajaran Lamrim tak merujuk ke ide-ide seputar ‘Dharma-Ringan’ yang didiskusikan di atas, karena Lamrim mengasumsikan bahwa kehidupan masa lampau dan masa depan itu ada. Meski begitu, keinginan untuk meningkatkan hidup kita dan menjadi orang yang lebih baik adalah langkah pertama yang penting dalam mempraktikkan ‘Dharma-Sejati’.
Sumber: studybuddhism.org | diterjemahkan oleh: Andri Kurnia | disunting oleh: Stanley Khu
3 Comments
Pingback: Serba-Serbi Lamrim 2: Motivasi Tingkat Awal • Lamrimnesia
Pingback: Serba-Serbi Lamrim bagian 3: Motivasi Tingkat Menengah dan Agung • Lamrimnesia
Pingback: ILR 2017: Jangan Sampai Obat Dharma Menjadi Racun • Lamrimnesia