Selain mengisahkan persoalan gender, perkawinan anak, dan berbagai isu sosial serius lainnya, film Yuni menunjukkan hubungan rumit antara remaja dan tujuan hidup.
Semasa sekolah, kita terbiasa diatur, entah oleh sekolah, oleh orang tua dan kerabat, atau oleh lingkungan pertemanan kita. Tiba-tiba, ketika masa SMA hampir berakhir, kita dituntut membuat keputusan yang luar biasa besar. Mau kuliah, langsung kerja, atau menikah? Kalau kerja, mau kerja apa? Kalau kuliah, mau di mana, jurusan apa? Keputusan itu seolah-olah akan menentukan nasib kita seumur hidup.
Katanya bebas memilih, tapi…
Film “Yuni” menunjukkan dilema ini beserta segala kepelikannya dengan sangat apik. Yuni harus memilih, mau kuliah atau menikah? Orang-orang di sekitarnya menganggap menikah adalah kodrat, tidak peduli betapa banyak pernikahan usia dini dalam komunitas mereka yang kandas atau mengambang di atas kebohongan.
Orang tua Yuni mendukung Yuni untuk membuat keputusan sendiri, meraih kebahagiaannya sendiri. Namun, ketika Yuni mencari dukungan untuk melanjutkan pendidikan, mereka juga tak berani meyakinkan. Sang ibu lebih banyak mendengar kisah sarjana gagal. Ia pun balik bertanya, Yuni sendiri mau jadi apa?
Yuni pun tak bisa menjawab. Sebenarnya dia tahu dia mau jadi apa. Ia ingin bermusik. Namun, mungkin baginya kehidupan dan keyakinan orang-orang di sekitarnya lebih nyata daripada informasi di internet. Cita-citanya adalah jalan yang belum pernah ditempuh oleh siapapun yang ia kenal. Ia tidak pernah menemukan peta yang bisa mengantarkannya meraih cita-cita itu. Alhasil, alih-alih hidup dengan tujuan yang jelas dan melangkah dengan pasti, Yuni berulang kali membuat keputusan atas dasar desakan keadaan. Setiap keputusan itu pun saling menjegal sehingga ia makin jauh dari apa yang ia impikan.
Stereotipe generasi & krisis tujuan
Remaja seusia Yuni seringkali dituding labil, suram, tujuan hidup tak jelas. Label-label seperti “generasi Z”, “generasi alpha”, dan sebagainya membuat kita tanpa sadar menggeneralisasi sekelompok besar manusia yang punya beragam latar belakang, beragam sifat, dan beragam cara memaknai kehidupan. Ketika mereka bertindak impulsif dan tidak bisa menjalani hidup yang terencana (sesuai standar kita), kita menguliahi mereka dengan ucapan, “Kalian harusnya begini, kalian harusnya begitu, nanti kalau sudah kerja, kalian akan rasakan sendiri, bla… bla…, bla…” tanpa berusaha memahami apa yang sebenarnya membuat mereka tersesat dan kebingungan.
Parahnya lagi, bisa jadi kita yang sudah lebih tua–sudah kuliah, bekerja, ataupun berkeluarga–ternyata sama tersesatnya dengan mereka!
Krisis tujuan hidup tidak berakhir di penghujung bangku sekolah. Tuntutan untuk segera memutuskan membuat krisis itu tertunda. Krisis itu pun kembali menghantam di usia 20-30-an dalam bentuk quarter life crisis dengan gejala beragam: kehilangan semangat, kecemasan, keragu-raguan, kesepian, dan sebagainya. Kita kira tujuan hidup kita jelas: ada yang ingin menjalani profesi tertentu, mencapai jenjang karir tertentu, ingin berkeluarga, ingin punya properti, dan sebagainya. Namun, saat kita mulai berjuang untuk meraihnya, kita menemukan bahwa ketidakpastian dunia ternyata lebih kuat dibanding usaha kita. Atau kalaupun kita “menang” melawan keadaan, setelah berhasil mencapai tujuan-tujuan itu, kita merasa hampa.
Sama seperti Yuni yang kesulitan menjadi musisi karena tidak tahu jalannya, kita juga kesulitan bahagia karena tidak tahu jalannya.
Namun, berbeda dengan Yuni yang tidak punya teladan ataupun panduan untuk jadi musisi, kita masih punya teladan dan panduan untuk menjadi bahagia. Kita bahkan punya teman yang bisa mendampingi kita, yang berjuang bersama kita untuk meraih kebahagiaan itu.
Kita punya Triratna
Buddha dan para guru Dharma adalah teladan yang sudah berhasil meraih kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang mereka raih tidak akan berkurang ketika sudah tercapai atau dihantam badai. Kebahagiaan yang mereka raih melampaui jenjang karir apapun, melampaui harta sebanyak apapun, dan merangkul bukan hanya pasangan hidup, beberapa anak, dan kerabat, tapi semua makhluk.
Dharma adalah panduan meraih kebahagiaan yang terbukti manjur. Langkah-langkahnya jelas. Bahkan ada peta Dharma dilengkapi dengan titik-titik persinggahan yang perlu kita singgahi satu demi satu sehingga jalan panjang menuju kebahagiaan sejati tak terasa begitu panjang.
Ketika kita masih di titik awal, tujuan pertama yang harus kita jangkau adalah kebahagiaan di kehidupan mendatang. Begitu sampai di sana, kita bisa melihat titik singgah selanjutnya, yaitu berakhirnya siklus tumimbal-lahir alias samsara. Ketika sampai di sana, jalan menuju penerangan sempurna terbentang di depan kita. Bahkan ada kendaraan ekspres Vajrayana yang bisa mengantarkan lebih cepat sampai tujuan asal punya ongkos bodhicita yang kokoh.
Terakhir, Film Yuni juga menunjukkan kebersamaan dengan teman-teman yang telah berbagi suka dan duka dengannya sebagai gambaran kebahagiaan. Sama halnya dengan Sangha–komunitas spiritual yang sama-sama mempraktikkan Dharma sang Buddha–yang merupakan support system kita selama mengarungi samsara. Ketika peran Buddha dan Dharma mulai melemah, teman-teman se-Dharmalah yang bisa menjadi pegangan bagi kita. Sangha adalah ruang aman yang menerima kita apa adanya, tanpa penghakiman, sambil menjaga kita untuk tetap menapaki jalan.
Baca juga: Trisarana, Gerbang Memasuki Ajaran
Jika kamu relate dengan kegalauan Yuni, merasa tersesat, kebingungan, cemas akan masa depan, atau meragukan jalan yang sedang kamu tempuh, ingatlah bahwa ada Triratna yang bisa selalu kamu andalkan.