Sebagai umat Buddha, dulu saya suka bertanya dalam hati. “Kalau makan kepiting fresh itu termasuk membunuh, nggak, ya? Boleh nggak, ya? Apalagi kepiting kan enak itu…”
Pada akhirnya pertanyaan itu tidak keluar dari mulut saya. Pertama karena saya takut jawabannya ‘tidak boleh’, jadi lebih baik saya nyaman saja dengan status quo, akhirnya malas mencari tahu. Kedua karena saya takut mengundang kontroversi di kalangan umat Buddha. Saya juga sering berdalih bahwa praktik Dharma seperti melatih sila (tidak membunuh) ini harus bijaksana juga, harus fleksibel, harus menyesuaikan dengan kondisi, dsb., tapi setelah saya belajar lebih jauh, sepertinya pandangan seperti ini hanya bentuk mekanisme pertahanan pemikiran saya saja. Sebenarnya Dharma sudah banyak memberikan jawaban jika kita ingin menggalinya lebih jauh. Jadi, pada kesempatan ini saya akan membahas pertanyaan di atas dengan gamblang.
Definisi membunuh sendiri adalah mengambil nyawa makhluk lain. Membunuh adalah satu dari sepuluh karma hitam yang bisa menyebabkan akibat buruk. Suatu aksi membunuh menjadi karma yang lengkap ketika memenuhi kriteria tertentu. Apa saja hal-hal yang menjadi unsur yang membuat suatu jalan karma membunuh menjadi lengkap? Dikatakan dalam ulasan-ulasan Lamrim bahwa jalan karma hitam membunuh yang lengkap haruslah mengandung keempat unsur di bawah ini. Jika salah satu unsurnya tidak lengkap, maka itu bukan jalan karma membunuh yang lengkap, tapi masih akan mendatangkan akibat dari karma yang tak lengkap.
- Basis: semua makhluk hidup. selain diri sendiri. Dikatakan pada Yoga-carya-bhumi karya Arya Asanga bahwa bunuh diri tidak termasuk jalan karma membunuh yang lengkap.
- Dasar pemikiran, terbagi 3:
- Identifikasi: objek yang dibunuh sudah tepat, tidak salah target. Dijelaskan bahwa persepsinya harus tepat, jadi misalnya kita ingin membunuh kucing hitam, tapi ternyata yang terbunuh adalah kucing putih, maka jalan karmanya tidak lengkap.
- Motivasi: motivasinya adalah niat untuk membunuh atau menghabisi nyawa objek yang dituju oleh pikiran kita.
- Klesha: didasari 3 kekotoran batin yaitu kemelekatan, kebencian, atau kegelapan batin. Satu kasus membunuh bisa melibatkan satu, dua, atau bahkan sekaligus tiga klesha.
- Tindakan: tindakan membunuh itu sendiri, bisa dilakukan dengan tangan sendiri atau melalui orang lain. Di dalam kitab dicontohkan bila seorang jendral perang memerintahkan pasukan untuk membunuh pasukan musuh, maka jendral tersebut melakukan pembunuhan sebanyak musuh yang dibunuh oleh prajurit-prajurit bawahannya.
Ada penjelasan bahwa jika seseorang melakukan pembunuhan karena terpaksa, maka jalan karma membunuhnya tidak lengkap. Contohnya adalah membasmi rayap karena akan membahayakan penghuni rumah, atau misalnya seorang prajurit yang diperintahkan membunuh musuh meski dia tidak benar-benar ingin membunuh. Dalam kasus-kasus tersebut, jalan karma membunuhnya tidak lengkap karena tidak ada motivasi dan klesha yang mendasari.
Bagian ini bisa menjawab pertanyaan kita tentang memesan seafood segar di restoran yang baru membunuh hewan yang akan dimasak ketika kita pesan. Ketika kita memesan menu di restoran tersebut, kita menjadi penentu nasib si ikan/udang/kepiting. Pesanan kita adalah ‘perintah’ bagi pihak restoran untuk membunuh. Jadi, meski kita tidak melakukannya secara langsung, kita telah melakukan tindakan membunuh.
- Penyelesaian: makhluk hidup tersebut mati sebagai hasil dari tindakankita. Dalam penjelasan dari Abhidhamma-kosa karangan Vasubandhu, ditambahkan pula bahwa makhluk objek pembunuhan harus mati dulu sebelum subjek yang membunuh agar jalan karmanya lengkap. Jika si pelaku mati duluan, maka jalan karmanya tidak lengkap.
Jadi kalau suka makan kepiting segar itu membunuh bukan? Berdasarkan pengalaman saya, kecuali kepiting kemasan atau impor yang sudah dibekukan, biasanya kepiting biasanya akan disajikan fresh dan baru dibunuh pada saat dipesan. Kalau coba diceklis dari 4 unsur di atas, apa memenuhi? Berikut penjabarannya:
- Basis: kepiting hidup V
- Pemikiran: V
- Identifikasi: kita memilih kepiting yang mau dimakan V
- Motivasi: kita mau makan kepiting itu, berarti kita mau kepiting itu mati agar bisa dimakan. V
- Klesha: keinginan untuk makan yang enak termasuk kemelekatan. V
- Tindakan: pesanan kita adalah ‘perintah’ bagi koki untuk membunuh kepiting. V
- Penyelesaian: kepiting mati dan kita menyantapnya, nyam-nyam enak… V
Jadi jawabannya: iya, pesan kepiting segar di restoran adalah jalan karma membunuh lengkap.
Akibat dari jalan karma yang lengkap adalah kita mendapatkan 3 akibat sekaligus dari perbuatan karma ini yaitu: karma yang matang sepenuhnya, serupa dengan penyebabnya, dan karma yang menentukan lingkungan, seperti pembahasan sebelumnya di sini.
Jadi gimana dong kalo masih suka kepiting? Masalahnya bukan di kepitingnya, bro, tapi di perbuatan membunuhnya. Sang Buddha menaruh pembunuhan sebagai sila pertama karena akibat karmanya yang paling berat dibandingkan karma-karma yang lain. Lebih baik menahan nafsu sedikit sekarang dibandingkan harus menerima akibatnya kemudian kan?
Kembali lagi, Buddha mengajarkan praktik sila sebagai sebuah latihan yang dilakukan setahap demi setahap. Hal ini mungkin memang rawan menjadi ‘alasan’ untuk menuruti klesha seperti dilema yang sudah disebutkan di awal. Namun, kita baru saja maju selangkah dalam latihan kita. Dari yang awalnya tidak mau mencari tahu tentang karma makan kepiting agar bisa terus makan tanpa rasa bersalah, sekarang kita sudah membedah tindakan ‘makan kepiting segar’ sesuai dengan konsep karma lengkap sehingga kita tahu bahwa tindakan tersebut tidak hanya menyakiti kepiting, tapi juga akan mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan bagi kita yang melakukannya. Kita sudah maju satu langkah. Semoga dari sini kita dapat terus mengambil langkah-langkah berikutnya hingga bisa menyempurnakan praktik kita!