Ternyata topik ini tidak serumit yang saya bayangkan awalnya. Terima kasih Rinpoche.
oleh: BESTRELOAD
Sesi pengajaran Guru Dagpo Rinpoche pada rangkaian acara Southeast Asia Lamrim Festival (SEALF) 2019 telah memasuki hari ketiga. Di tanggal 13 November 2019 ini, Beliau kembali memberikan pengajaran yang merujuk pada teks “Pembebasan di Tangan Kita” bagian akhir, tepatnya bagian mengembangkan Dhyana Paramita (konsentrasi) dan Prajna Paramita (kebijaksanaan). Seperti yang telah Beliau jelaskan pada hari sebelumnya, ketenangan batin shamatha laksana tangan yang kuat dan stabil sementara kebijaksanaan dari pandangan mendalam (wipashyana) ibarat kapak yang tajam, bagaikan menebang pohon. Dibutuhkan gabungan dari tangan yang kuat dan kapak yang tajam, kombinasi dari shamatha dan wipashyana, untuk benar-benar memotong akar dari samsara. Kapak yang tajam laksana kebijaksanaan yang bisa melihat suatu hal sebagaimana mestinya inilah yang dipelajari pada hari ketiga ini.
Berkaitan dengan topik pengajaran hari ini, Rinpoche memulai sesi dengan menjelaskan bahwa masa lalu sudah lewat. Sekarang, yang paling penting adalah menentukan apa yang bisa kita lakukan untuk menggunakan sisa-sisa hidup kita yang berharga sebagai manusia yang memiliki 18 permata ini. Kita bisa membuat batin kita dan makhluk lain bahagia. Bagaimana caranya? Yaitu dengan mengubah cara berpikir kita menjadi cara pandang yang benar. Mengembangkan cara pandang yang benar inilah yang secara khusus dipelajari pada saat kita mengembangkan Prajna Paramita.
“Batin tidak sadar bahwa kita melihat diri sendiri dengan cara yang salah,” ungkap Rinpoche saat menjelaskan mengapa kita masih berada di samsara atau alam kelahiran. Beliau menjelaskan bahwa kita secara otomatis memiliki pemikiran bahwa ada “aku” yang memiliki keberadaan yang inheren (hadir dengan sendirinya atau memiliki eksistensi yang berdiri sendiri/tidak bergantung dengan yang lain). Poin penting dari Rinpoche adalah pemahaman yang mengenai modus eksistensi tentang diri yang benar bukan hanya teori yang dipikirkan. Kita baru bisa mencapai pandangan mendalam ketika kita sudah memeditasikan rasa dan pengalaman dari konsep ini. Disebutkan pada teks bahwa pemahaman ini harus memiliki aspek kognitif dan perseptual, kognitif mengacu pada pengetahuan kesadaran bahwa “aku” tidak memiliki keberadaan sejati, dan perseptual mengacu pada pengalaman dari kesunyataan yang datang dari pemikiran penolakan atas objek-objek yang harus disangkal yang merupakan kebalikan dari aspek ketanpaakuan.
Beliau menjelaskan bahwa cara untuk mencapai pemahaman ketanpaakuan adalah dengan cara memeditasikan berulang-ulang negasi dari konsep “aku” yang berdiri sendiri tersebut. Maksudnya adalah memeditasikan poin-poin penyangkalan bahwa “aku” bisa berdiri dengan sendirinya. (Poin-poin penyangkalan ini bisa dibaca pada buku “Pembebasan di Tangan Kita Buku Jilid 3 halaman 409”)
Semua topik yang dibahas pada hari ketiga ini merupakan bagian pelajaran dalam rangka menyempurnakan Prajna Paramita. Topik ini cukup berat dan dalam. Walaupun begitu, saya merasa Rinpoche bisa memberikan penjelasan-penjelasan yang to the point dan tepat sehingga saya bisa mendapatkan poin-poin inti yang cukup sederhana. Ternyata topik ini tidak serumit yang saya bayangkan awalnya. Terima kasih Rinpoche.