Suatu hari kamu sedang scroll medsos, lalu kamu melihat pos seseorang yang menceritakan pengalamannya sebagai korban kekerasan seksual. Pelakunya adalah orang terkenal, idola banyak orang. Kejadiannya pun sudah lama, lebih dari dua tahun yang lalu. Apa yang muncul di pikiranmu?
“Kayaknya nggak mungkin deh. Nggak sengaja kepegang aja kali.”
“Jangan-jangan yang bikin pos sengaja cari sensasi. Lagian kenapa baru cerita sekarang coba?”
“Salah sendiri sih suka party, pergaulan bebas. Pasti bajunya kebuka juga, makanya mengundang.”
Contoh-contoh ini menggambarkan aneka prasangka yang harus dihadapi korban kekerasan seksual. Kita dididik untuk bahwa seks adalah sesuatu yang tabu dan harus dihindari. Perempuan secara khusus diajari untuk “melindungi kesucian” tubuh mereka agar tidak mengundang perhatian yang tidak diinginkan. Akibatnya, jika ada yang mengalami pelecehan seksual (alias “perhatian yang tak diinginkan”), korban dituduh tidak cukup menjaga diri atau bahkan sengaja memancing tindak kekerasaan itu.
Pada tahun 2020, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak mencapai angka tertinggi, yaitu 7.791 kasus. Sampai pertengahan tahun 2021 lalu, kasus yang terjadi di tahun ini sudah menembus angka 3.000. Ini baru kasus yang tercatat. Kemungkinan masih sangat banyak kasus yang tidak dilaporkan atau ditindaklanjuti. Di lingkungan universitas saja, menurut survei Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, 77% dosen menyatakan ada kekerasan seksual di lingkungan kampus dan 63% di antaranya tidak melaporkan kejadian tersebut.
Selain dari data statistik, kita sendiri bisa melihat berbagai pemberitaan tentang cacatnya penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Korban perkosaan dipaksa menikahi pelaku terjadi lebih dari sekali. Ada pula kasus ayah memperkosa tiga anaknya sendiri, tapi penyelidikannya sempat dihentikan lantaran pelaku memiliki koneksi dengan penegak hukum. Bahkan baru-baru ini, seorang perempuan ditemukan meninggal di makam ayahnya setelah mendapat tekanan dari keluarga pacar yang memperkosanya. Si pelaku perkosaan adalah anggota kepolisian.
Sementara itu, berbagai usaha memperbaiki pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia menghadapi banyak hambatan. Sebut saja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang tak kunjung diproses. Bahkan Permendikbud no. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen PPKS) yang baru-baru ini diterbitkan mendapat tentangan dari berbagai pihak. Mereka gagal membedakan kekerasan seksual yang merenggut hak dasar seseorang sehingga perlu diatur hukum dengan aktivitas seksual di luar nikah secara umum yang lebih berkaitan dengan nilai budaya & norma kesopanan di masyarakat.
Miris? Tentu saja. Tapi memangnya kita bisa apa? Memang parah tinggal di Indonesia… Eits! Tunggu dulu! Sebagai umat Buddha yang belajar tentang kesalingbergantungan, kita seharusnya bisa menyadari bahwa kita bisa berperan untuk memperbaiki permasalahan kekerasaan seksual di Indonesia. Bagaimana caranya? Yuk kita simak sama-sama!
1. Tidak melakukan kekerasan seksual
Kita tentu ingat sila ke-3 dalam Pancasila Buddhis, yaitu menghindari tindakan asusila. Makna harfiah dari “tindakan asusila” adalah “bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat”. Jadi, tindakan asusila tidak melulu berhubungan dengan seks.
Namun, jika kita telusuri sumber-sumber bahasa lain, kita akan menemukan bahwa “menghindari tindakan asusila” bukan terjemahan yang tepat untuk sila ke-3 dalam Pancasila Buddhis. Sila ini secara khusus merujuk pada tindakan seksual yang tidak pantas.
Apa yang dimaksud tindakan seksual yang tidak pantas? Ini dirinci dalam penjelasan tentang dasa akusala kamma atau sepuluh karma hitam/tak bajik yang perlu kita hindari untuk memastikan kebahagiaan di kehidupan mendatang. Dalam Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan (Lamrim Chenmo), Je Tsongkhapa, merinci kriteria sebuah tindakan seksual digolongkan tidak pantas, beberapa contohnya adalah orang yang tidak pantas dan waktu yang tidak pantas.
Orang yang tidak pantas di sini merujuk pada pasangan orang lain, rohaniwan yang telah melepaskan keduniawian, mereka yang berada di bawah keluarga atau raja (hukum negara), pelacur yang sudah diambil oleh orang lain, dan orang yang masih memiliki hubungan kerabat. Waktu yang tidak pantas adalah saat pasangannya tidak berkenan, sedang menstruasi, dalam periode akhir kehamilan, menyusui, sedang menjaga sila untuk tidak melakukan hubungan seksual, atau di waktu sakit.
Kekerasan seksual merujuk pada tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan. Dari sudut pandang Buddhis, ini jelas termasuk tindakan seksual yang tidak pantas karena pasangannya tidak berkenan. Akibatnya bisa berupa kelahiran di alam rendah, pengalaman serupa (menjadi korban atau kecenderungan mengulangi), atau lahir di lingkungan yang kotor.
Sila ke-3 dalam Pancasila Buddhis adalah “pagar” yang melindungi kita dari akibat-akibat tersebut. Dengan memahami apa saja yang termasuk tindakan seksual yang tidak pantas dan secara aktif menghindarinya, kita melindungi diri kita sendiri dari akibat karma buruk sekaligus melindungi orang lain dari penderitaan yang disebabkan oleh tindak kekerasan tersebut.
Baca penjelasan cara berlatih menghindari tindakan seksual yang tidak pantas di sini!
2. Menghentikan kekerasan di depan mata
Kalau suatu hari kamu menyaksikan orang diraba di kendaraan umum yang padat, kira-kira apa yang kamu lakukan? Atau saat kamu berjalan di malam hari, kamu mendengar orang menjerit minta tolong dari gang sempit, apa yang kamu lakukan? Kalau kamu tahu ada dosen genit di kampusmu yang memaksa mahasiswa bimbingannya melakukan yang nggak-nggak, beranikah kamu melaporkan?
Secara teori, kita semua tahu bahwa tindakan yang benar adalah memberikan bantuan dan melaporkan kekerasan yang terjadi di depan mata kita. Namun, praktiknya tidak sesederhana itu. Bagi sebagian besar orang, akan ada banyak pertimbangan yang menghalangi tindakan langsung–takut repot, merasa tidak mampu membantu, atau bahkan takut balik diserang dan ikut menjadi korban.
Semua keraguan itu bisa muncul karena dua kemungkinan. Pertama, kita tidak yakin kita bisa menilai situasi dengan tepat dan menentukan tindakan yang efektif. Kedua, kita masih terlalu sayang pada diri sendiri sehingga tidak rela kehilangan kenyamanan demi menolong orang lain. Dengan kata lain, kita kurang kebijaksanaan dan welas asih.
Jika memang itu keadaan kita sekarang, bukan berarti kita boleh diam saja dan pasrah, tidak berdaya di hadapan berbagai kasus kekerasan yang semakin marak. Kita harus secara aktif berusaha meningkatkan kebijaksanaan dan melatih welas asih agar mampu mengatasi penderitaan kita sendiri dan orang lain. Bukankah itu juga tujuan dari praktik Dharma? Buddha sendiri adalah sosok yang telah sempurna kebijaksanaan dan welas asihnya. Semua yang Beliau ajarkan tujuannya adalah untuk mencapai hal tersebut. Tinggal kita mau berlatih atau tidak.
Semakin banyak kita berlatih, kepercayaan diri kita untuk menolong dan bertindak juga akan meningkat. Kalaupun ternyata gagal, hati kita lebih siap untuk menghadapi dampaknya.
Baca juga: panduan praktis melatih welas asih ala Guru Suwarnadwipa Dharmakirti.
3. Menyikapi Kejadian dengan Empati
Mengembangkan welas asih adalah praktik yang amat penting dalam Buddhisme. Welas asih sendiri merupakan rasa tidak tahan melihat penderitaan makhluk lain dan disertai keinginan mengurangi penderitaan mereka.
Berangkat dari hal tersebut, sikap menyalahkan korban ketika kita menemui kasus kekerasan seksual jelas harus kita buang jauh-jauh. Sebaliknya, kita seharusnya mencoba memahami penderitaan mereka dan sebisa mungkin berusaha meringankan penderitaan mereka. Atau, kalau kita hanya melihat dari dunia maya dan tidak bisa membantu secara langsung, setidaknya kita tidak menambah penderitaan mereka dengan mencibir, menyalahkan, menyebarkan pos yang mengumbar identitas korban, apalagi sampai merundung lewat komentar-komentar pedas.
Di sisi lain, terbawa emosi karena marah kepada pelaku juga belum tentu merupakan tindakan bijak. Sekadar menghujat tidak banyak mendatangkan manfaat, bahkan kita bisa jadi menambah karma buruk karena bertindak atas dasar kebencian. Daripada membuang waktu dengan melampiaskan kekesalan, lebih baik kita arahkan energi kita untuk mendukung proses hukum kasus tersebut atau usaha-usaha pencegahan dan penangan kekerasan seksual lainnya secara umum.
Mahasiswa bisa bergabung dengan satgas pencegahan & penanganan kekerasan seksual yang dibentuk di kampus sesuai dengan arahan Permendikbud PPKS yang baru-baru ini disahkan. Banyak juga petisi dan aksi seputar pendidikan seks, pencegahan, dan penindaklanjutan kekerasan seksual di Indonesia yang amat membutuhkan dukungan kita, entah itu lewat tanda tangan atau sekadar menekan tombol “share” di media sosial.
Semua ada hubungannya dengan kita
Maraknya kekerasan seksual dan buruknya pencegahan serta penanganannya di Indonesia bukan sekadar angka statistik, apalagi berita selingan yang tidak ada hubungannya dengan kita. Kita semua bisa menjadi korban, bisa menjadi pelaku, dan bisa menjadi bagian dari solusi untuk memperbaiki keadaan.
Kita bisa berdalih “semua orang mewarisi karmanya sendiri”, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa Buddha mengajarkan kita untuk mengenali semua makhluk sebagai ibu-ibu kita. Ini bukan tipu-tipu Buddha agar kita berperilaku baik saja, tapi memang begitu kenyataannya mengingat kita sudah mengalami kelahiran berulang kali sejak waktu yang tak bermula. Jika setiap hari ada ibu-ibu kita di luar sana yang menderita, masa kita tega diam saja, pura-pura tidak tahu, atau bahkan ikut menghakimi mereka?
Tulisan ini dibuat dalam rangka mendukung kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 25 November-10 Desember 2021.
Referensi:
- Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020
- tirto.id – “Korban Pemerkosaan akan Alami Trauma Ganda jika Dinikahi Pelaku”
- tirto.id – “Ijtima Ulama MUI Minta Nadiem Cabut/Revisi Permendikbud PPKS”
- Project Multatuli – “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”
- tempo.co – “Kasus Bunuh Diri Novia Widyasari, Polisi Sebut R Anggota Polres Pasuruan”
- Antara News – “Komnas Perempuan: Banyak kekerasan seksual di kampus tak dilaporkan”
- Je Tsongkhapa – Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan Jilid I
- Dr. Alexander Berzin – “Buddhist & Western View of Sex”