oleh Samantha J.
Sebagai umat Buddha atau kelompok minoritas lainnya di Indonesia, jargon-jargon tentang nasionalisme dan kontribusi kepada negara juga kadang terdengar seperti formalitas tanpa makna yang nyata. Respon pertama kita mungkin adalah mempertanyakan apa yang sudah negara lakukan untuk kita.
Jawabannya sebenarnya gampang saja. Nggak peduli seberapa banyak polemik seputar SARA dan kebijakan yang mempersulit hidup kita, nggak bisa dipungkiri juga bahwa kita lahir dan tinggal di tanah Indonesia, makan makanan yang ditanam di Indonesia (atau minimal diimpor oleh sesama orang Indonesia). Hidup kita masih tergolong “nyaman” jika dibandingkan dengan banyak negara lain yang sifat monokulturalnya jauh lebih kuat dengan bumbu-bumbu xenofobia seperti Jepang atau Korea Selatan.
Respon selanjutnya mungkin lebih sulit dijawab: “Memangnya apa yang bisa kita lakukan untuk Indonesia?”
Sebagai “double minority” (Tionghoa dan beragama Buddha), keluarga saya tidak pernah mendidik saya untuk “berkontribusi bagi bangsa dan negara”. Sama halnya dengan saudara dan teman-teman saya dari golongan yang sama. Kami lebih banyak diajari untuk fokus sekolah, lalu cari kerja di perusahaan internasional bergaji tinggi atau melanjutkan usaha keluarga. Mungkin sahabat juga mengalami hal yang sama?
Sampai sekitar sepuluh tahun yang lalu, kami masih kesulitan masuk perguruan tinggi negeri. Boro-boro memajukan bangsa sebagai presiden atau anggota DPR, mengabdi sebagai aparatur sipil negara pun serasa mustahil. Ini bukan masalah didikan orang tua dan pengalaman hidup saja. Kurikulum sekolah dan pemberitaan media arus utama pun membuat umat Buddha seolah tidak pernah menyumbang apa-apa bagi Indonesia selain Candi Borobudur yang kini nyaris kehilangan makna karena terlalu lama dijadikan ladang devisa.
Padahal, pengaruh Buddhisme di Nusantara nggak berhenti sampai peradaban Hindu-Buddha berabad-abad lalu saja. Peninggalannya juga lebih dari Candi Borobudur, candi-candi lain, dan arca-arca yang lebih sering jadi objek penelitian dan pajangan di museum. Nilai-nilai Buddhis senantiasa hadir di dalam hati bangsa Indonesia dan berjasa besar dalam pembentukan Indonesia modern yang bersatu. Bahkan, keberadaan Buddhadharma dan kita yang menganutnya juga berperan penting untuk keutuhan Indonesia di masa kini dan masa depan!
Nggak percaya? Yuk kita ulik sama-sama!
1. Nilai Buddhis sebagai dasar terbentuknya Indonesia
Sebelum dinamai “Indonesia”, negeri kita tercinta ini terdiri atas suku-suku yang dipisahkan oleh banyak hal, mulai dari jarak sampai gaya hidup. Nggak usah jauh-jauh ke masa lalu atau ke suku-suku terpencil, sekarang pun kita masih bisa lihat sendiri sehari-hari. Teman-teman kita yang dari Sumatra beda kan sama teman-teman dari Jawa? Padahal tinggalnya di kota yang sama.
Nah, kita yang sekarang udah gampang pindah-pindah daerah aja beragam banget, apalagi kakek-nenek kita dulu yang ke mana-mana masih susah? Orang Jawa yang makanan pokoknya nasi mungkin nggak tahu ada orang di Maluku yang sehari-hari makan sagu. Mereka juga nggak tahu kalau di Sumatra Barat ada masyarakat yang garis keturunannya ditentukan dari pihak ibu.
Lah, terus gimana orang-orang ini bisa sepakat jadi satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa?
Jawabannya adalah hari yang kita peringati belum lama ini, yaitu hari Sumpah Pemuda. Pada 28 Oktober 1928, pemuda dari berbagai daerah yang selama ini berjuang sendiri-sendiri demi hak menentukan nasib sendiri melawan tekanan pemerintah Hindia Belanda berkumpul di satu tempat. Mereka pun menyadari bahwa meski mereka semua begitu berbeda dalam banyak hal, mereka ternyata punya satu kesamaan, yaitu sama-sama menderita karena penjajahan.
Para pemuda ini menyadari bahwa usaha mereka untuk bebas tak pernah berhasil, bahkan sia-sia, karena mereka berjuang sendiri-sendiri. Satu-satunya cara untuk meraih apa yang mereka cita-citakan adalah dengan bersatu. Di pertemuan itu, mereka pun bersumpah untuk mengesampingkan kepentingan pribadi mereka untuk bersatu demi meraih tujuan bersama. Dari sanalah konsep “Indonesia” yang mencakup Sabang sampai Merauke tercipta.
Kalau Sahabat sudah baca artikel tentang bodhicita dan Bhinneka Tunggal Ika, cerita di atas pasti terdengar familiar. Meraih kebahagiaan untuk semua dengan mementingkan banyak orang dibanding kepentingan pribadi sejalan dengan pemikiran di balik pencapaian Kebuddhaan. Sang Buddha menemukan bahwa sikap mementingkan diri sendiri adalah akar dari segala bentuk penderitaan. Sebaliknya, kunci untuk meraih kebahagiaan sejati adalah dengan memandang semua makhluk setara, sama-sama tidak ingin menderita dan ingin bahagia. Itulah dasar untuk membangkitkan bodhicita, tekad untuk berjuang meraih Kebuddhaan, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk semua.
Mengingat bodhicita adalah ajaran khas pada masa emas peradaban Buddhis Nusantara dulu, mungkin banget kalau nilai-nilainya masih hidup dan diwariskan turun-temurun dari leluhur kita sampai ke para pemuda di tahun 1928 dan melatarbelakangi terbentuknya Indonesia yang kita kenal sekarang.
2. Pahlawan bangsa yang terlupakan
Dalam pelajaran sejarah di sekolah, kita mengenal banyak mengenal pahlawan yang berjasa dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa. Namun, masih banyak tokoh-tokoh lain yang tak kalah berjasa, hanya saja tidak diperkenalkan secara luas, bahkan bisa dibilang “disembunyikan” sampai terlupakan. Kebanyakan tokoh ini berasal dari golongan minoritas, salah satunya etnis Tionghoa.
Kelompok pemuda Tionghoa merupakan satu dari sekian banyak kelompok pemuda kedaerahan yang hadir dan menyatukan asa dalam Sumpah Pemuda. Kalau ditelusuri lebih jauh, tak sedikit pula orang Tionghoa berjasa besar bagi terbentuknya kesadaran nasional sebagai satu Indonesia.
Salah satu peran masyarakat Tionghoa yang paling signifikan adalah Koran Sin Po. Koran pertama di Hindia Belanda pada masa itu mempopulerkan sebutan “Indonesia” dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ketika pemerintah kolonial begitu ketat mengawasi setiap gerak-gerik masyarakat dan siap membredel potensi pemberontakan sekecil apa pun, ditambah maraknya usaha adu domba antara komunitas Tionghoa dan pribumi, redaksi Koran Sin Po tetap berani mewartakan semangat kebangsaan ke seluruh negeri.
Tentunya pendiri dan redaksi Koran Sin Po bukan satu-satunya tokoh penting dalam sejarah bangsa yang terlupakan dan belum terekspos. Masih banyak pahlawan nasional etnis Tionghoa dan kelompok minoritas lain yang “disembunyikan” dari sejarah umum atau terlupakan karena berbagai alasan, termasuk umat Buddha!
Jika kita tarik mundur lebih jauh lagi, masih banyak lagi tokoh-tokoh Buddhis yang berjasa besar bagi eksistensi Indonesia, termasuk guru Dharma yang mengajarkan dan mempraktikkan bodhicita pada masa peradaban Hindu-Buddha di Nusantara dulu.
Sebut saja Mpu Tantular yang menyumbangkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” lewat karyanya, adaptasi Jataka Mala berjudul Kakawin Sutasoma. Jauh sebelum itu, ada pula Guru Suwarnadwipa Dharmakirti, satu-satunya ahli waris ajaran tentang bodhicita yang lengkap di seluruh dunia pada abad X. Meski terlupakan di negeri ini, riwayat hidup dan karya Beliau ternyata masih bisa ditemukan di India dan Tibet. Berkat Beliau, guru-guru Beliau, dan murid-murid Beliau yang mendalami dan melatih bodhicita, semangat untuk berjuang demi kepentingan banyak orang masih ada sampai pada para pemuda Indonesia di tahun 1928 dan pahlawan bangsa lainnya yang telah berkorban nyawa dan tenaga demi berakhirnya penderitaan rakyat Indonesia.
3. Buddhisme untuk memelihara masa depan
Setelah menelusuri peran Buddhisme bagi Indonesia di masa lalu, kita seharusnya bisa lebih memahami peran Buddhisme bagi Indonesia di masa kini dan masa depan.
Salah satu contoh umat Buddha yang paling berjasa untuk Indonesia sekarang mungkin adalah Y.M. Biksu Ashin Jinarakkhita. Selain merupakan biksu pertama di Indonesia sejak runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit, Beliau jugalah yang memperjuangkan status Buddhisme sebagai agama resmi di Indonesia. Hasilnya, Buddhisme bisa dipelajari dan dipraktikkan secara luas di Indonesia. Kita pun jadi bisa menyelami makna sejati di balik nilai yang mendasari terbentuknya negara ini!
Dulu, kakek-nenek kita nggak kesulitan melampaui perbedaan antar suku, ras, dan agama karena mereka punya tujuan yang sama dan kentara, yaitu bebas dari pemerintah kolonial Belanda. Namun, di zaman sekarang, udah nggak ada satu macam penderitaan yang terlihat jelas dan dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
Kalau fisiknya beda, gaya hidupnya beda, tantangan terberat yang dihadapi juga beda, gimana kita bisa ingat kalau kita sebenarnya adalah satu bangsa? Makanya konflik antar golongan, ketidakadilan pada minoritas, dan prasangka buruk pada mayoritas tumbuh subur di zaman sekarang. Kesamaan yang bisa bikin kita merasa “satu bangsa” udah nggak kentara.
Namun, kita yang umat Buddha tentu tahu bahwa kesamaan itu sebenarnya masih ada. Sang Buddha telah menemukan bahwa semua manusia, bahkan semua makhluk, pada dasarnya adalah sama: sama-sama ingin bahagia dan nggak mau menderita. Beliau juga menyadari bahwa walau setiap orang menghadapi masalah yang beragam, kita sebenarnya sama-sama menderita dalam samsara alias siklus keberadaan berulang yang sarat ketidakpuasan. Penderitaan yang amat mendasar ini datangnya dari sikap mementingkan sendiri. Jadi, satu-satunya cara agar semua bisa berbahagia ya tentu dengan memandang semua makhluk setara, sama pentingnya, dan lantas mengutamakan kepentingan mereka semua alih-alih menyenangkan diri sendiri saja.
Baca tentang sumber penderitaan kita semua di sini.
Kalau kita semua menyadari hal itu, kita tentunya bisa seperti kakek-nenek kita yang menyusun Sumpah Pemuda. Kalau dulu mereka bersumpah mengesampingkan kepentingan golongan demi kemerdekaan Indonesia dari penjajah, kita bisa bersumpah mengesampingkan kepentingan pribadi demi Indonesia bisa meraih kebahagiaan sejati. Nggak cuma Indonesia deh, semua makhluk juga!
Masalahnya, tahu teori bahwa “semua pada dasarnya sama” juga nggak cukup untuk bikin rasa persatuan benar-benar tumbuh di hati kita. Sama aja kayak pemerintah berkoar-koar soal “kepak sayap kebhinnekaan” tapi masih mempersulit tempat ibadah.
Butuh metode agar teori tentang persatuan dan kesetaraan bisa menjadi rasa yang nyata. Lagi-lagi, metode itu ada di ajaran Buddha. Kitab Buddhis “Sang Hyang Kamahayanikan”, Candi Borobudur, dan Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan menjelaskan proses yang harus dilalui seorang manusia biasa yang egois seperti kita sampai bisa mengalahkan ego dan mempersembahkan kebahagiaan sejati bagi semua makhluk seperti Sang Buddha sendiri. Dengan mengikuti tahapan ini, rasa persatuan yang tulus pastinya akan tumbuh dengan kokoh di hati kita semua.
Dengan kata lain, solusi bagi rapuhnya persatuan Indonesia di masa kini ada dalam ajaran Buddha. Jadi, dengan menjadi seorang Buddhis yang serius mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan Dharma sampai benar-benar menyatu dengan batin kita, lalu membagikan nilai-nilai luhur ini dengan keluarga, teman-teman, dan semua orang di sekitar kita, kita setidaknya udah berkontribusi untuk keutuhan Indonesia.
Berangkat dari situ, kita juga pastinya nggak akan lagi ragu atau takut untuk menggunakan segenap keahlian atau minat kita untuk memajukan bangsa. Meski ketidakadilan dan diskriminasi belum hilang sepenuhnya, keadaan sekarang sudah lebih baik dibanding dulu. Sudah lebih banyak etnis Tionghoa dan umat Buddha yang hidupnya nggak sebatas memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ada yang jadi jurnalis, ada yang jadi aktivis lingkungan, ada yang memperjuangkan keadilan sosial, ada yang jadi anggota KPK, dan masih banyak lagi.
Status “minoritas” seharusnya bukan alasan buat sembunyi. Bayangin aja, gimana kalau pendiri dan redaksi Koran Sin Po memilih diam dan manut pada tekanan pemerintah kolonial karena status “minoritas”? Siapa yang bakal mewartakan semangat kebangsaan ke seluruh negeri? Jangan-jangan kita masih belum bisa hidup sebagai bangsa yang merdeka hari ini.
Status “minoritas” nggak bikin Y.M. Biksu Ashin Jinarakkhita berhenti memperjuangkan eksistensi agama Buddha di Indonesia. Status “minoritas” juga nggak menghentikan banyak orang di zaman sekarang untuk berkarya demi kepentingan orang banyak di negeri ini. Masa sih kita mau jadiin status “minoritas” alasan buat cuma mikirin perut sendiri?
Jadi, umat Buddha bisa apa untuk Indonesia?
Sebagai umat beragama, terutama kita yang beragama Buddha, nggak cukup kita jalanin ritual aja. Baik banget kalau kita dedikasiin kebajikan untuk Indonesia saat baca Paritta Etavatta waktu kebaktian wihara setiap Minggu, tapi masih banyak lho hal lain yang bisa kita lakukan.
Salah satu ciri khas Buddhisme adalah pendayagunaan nalar dan kecerdasan manusia untuk memahami apa yang baik dan apa yang buruk, kemudian berjuang demi kebahagiaan untuk semua atas dasar pemahaman itu. Jadi, kita bisa mulai mengembangkan kebijaksanaan itu dengan mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan Dharma serta memperkaya pengetahuan kita terhadap realita di sekitar kita.
Dengan modal itu, kita seharusnya keluar dari rumah ibadah dan menghadirkan diri dalam setiap lapisan dan aspek kehidupan bermasyarakat. Sebagai apa? Ya tergantung minat dan kemampuan kita, entah itu sebagai penulis seperti saya, seniman, aktivis lingkungan, atau sekadar berpartisipasi dalam kegiatan di kelurahan tempat tinggal kita. Satu hal yang pasti, kita juga hadir untuk memperkenalkan kebaikan universal dari Buddhadharma yang mendasari keberadaan kita sebagai satu Indonesia.
Referensi:
Tirto.id – “Sejarah Sin Po, Koran Tionghoa yang Menyuarakan Indonesia Merdeka”
Lamrimnesia.org – “Bhinneka Tunggal Ika Warisan Buddhis Indonesia”
Lamrimnesia.org – “Mengenal Sosok Ashin Jinarakkhita – Perintis Buddha Dharma Indonesia Modern”
Lamrimnesia.org – “Borobudur Candi Buddha, tapi Buddha untuk Semua”