oleh BESTRELOAD
Kudeta Militer yang Terjadi
Pada tanggal 1 Februari 2021, satuan militer Myanmar yang biasa disebut Tatmadaw mengumumkan bahwa Myanmar berada dalam keadaan darurat. Mereka mengambil alih pemerintahan de facto di bawah partai NLD (National League for Democracy) selama satu tahun. Kudeta militer ini disertai penangkapan state counselor Aung San Suu Kyi dan petinggi partai NLD secara paksa. Jenderal Senior Min Aung Hlaing beralasan bahwa kudeta militer dilakukan karena pemerintah gagal menanggapi keluhan soal kecurangan pemilu yang dituduhkan partai oposisi. Akhirnya setelah 10 tahun Myanmar berdemokrasi, Myanmar kembali dikuasai oleh pemerintahan berbasis militer yang sebelumnya telah berkuasa selama 50 tahun terakhir.
Mengapa kudeta militer bisa terjadi? Pada dasarnya Myanmar memiliki sejarah pemerintahan militer yang panjang sejak merdeka di tahun 1948. Kudeta militer pun telah terjadi dua kali di 1962 dan 1988 sementara penguasa de facto selama 50 tahun sejak 1962 adalah Junta Militer. Alhasil militer memiliki kedudukan politik yang kuat di pemerintahan Myanmar. Bahkan saat demokrasi telah berjalan di tahun 2011, militer tetap mendapatkan jatah 25% kursi parlemen melalui undang-undang yang telah dibuat tahun 2008. Dengan perimbangan kekuatan seperti ini, ditambah kekuatan senjata yang bisa menindas, memang cepat atau lambat perebutan kekuasaan dengan cara kudeta pasti akan terjadi.
Memang rakyat Myanmar yang telah memilih jalan demokrasi pasti akan kecewa dengan adanya kudeta ini. Namun, hal ini merupakan akibat dari lemahnya posisi pemerintah. Mengapa lemah? Penjelasannya mungkin akan panjang lebar, tapi intinya militer memegang posisi strategis di Myanmar karena sampai saat ini perang sipil masih terjadi sehingga pemerintah jadi masih bergantung pada kekuatan militer untuk menjaga keamanan negara.
Perang Sipil Terlama di Dunia, 1948-Sekarang
Bagi saya, isu perang sipil ini lebih mendasar dibandingkan kudeta yang terjadi saat ini. Apalagi kita kenal Myanmar sebagai negara yang 90% penduduknya Buddhis. Buddhis kan katanya agama damai? Kok bisa ya?
Ternyata oh ternyata, penyebab konflik sipil yang terjadi itu dasarnya adalah etnis. Jadi di Myanmar ada etnis yang jadi mayoritas yaitu “Bamar” dan ada etnis yang minoritas seperti “Chin”, “Kachin”, atau yang sering kita dengar: “Rohingya” yang Muslim. Etnis mayoritas Bamar menjadi “isi” dari pemerintahan resmi Myanmar dan mereka tidak segan-segan menindas etnis minoritas. Dari sini timbul konflik baik berupa perang, perebutan wilayah, dan tuntutan untuk otonomi daerah. Etnis minoritas sampai membentuk angkatan bersenjata untuk melawan pemerintahan Myanmar yang didukung oleh Tatmadaw. Konflik etnis ini sudah berlangsung sejak Myanmar merdeka sampai sekarang!
Catatan penting di sini adalah konflik ini berdasarkan etnis, bukan agama. Jadi kalau ada yang bilang bahwa kasus Rohingya merupakan penindasan terhadap kaum Muslim, maka yang bilang perlu melek sejarah dan baca buku lebih banyak lagi. Ternyata salah satu etnis minoritas terbesar “Kachin”–yang sebagian besar beragama Buddha–juga memberontak karena merasa tertindas oleh pemerintahan Myanmar. Bahkan kelompok ini merupakan salah satu penyumbang konflik yang paling banyak dan parah yang disebut sebagai “Konflik Karen”.
Diskriminasi dan kekerasan berdasarkan etnis jelas bertentangan dengan ajaran Buddha yang memandang semua makhluk setara dan berhak bahagia. Ini membuktikan bahwa identitas Buddhis yang dibawa seseorang sejak lahir juga tidak menjamin seseorang pasti hidup sesuai dengan nilai-nilai Buddhis.
Pada akhirnya, walau sebuah negara memiliki label “negara Buddhis”, ia juga tak lepas dari fenomena politik dan sosial di masyarakat. Dalam kasus Myanmar, bisa jadi Dharma yang mengajarkan welas asih harus beradu dengan rasa takut, cemas, dan curiga yang dipupuk dalam waktu yang lama akibat ketegangan politik dan sosial serta sejarah pendudukan militer selama puluhan tahun. Jika kita menjadi penduduk Myanmar, apa kita bisa mengalahkan rasa cemas itu?
Apa yang Akan Terjadi Kemudian?
Memang perang sipil yang terjadi di Myanmar telah berlangsung sangat lama. Namun, sebagai perbandingan, kekuasaan militer dinilai oleh dunia lebih banyak melanggar poin-poin hak asasi manusia (HAM) seperti membahayakan warga sipil, melakukan kekerasan seksual, dan perlakuan diskriminatif terhadap minoritas. Sementara itu, sistem demokrasi yang dimulai pada 2011 mengikuti anjuran Human Rights Council PBB yang memberikan pemerintah Myanmar 25 poin resolusi untuk dilakukan. Jadi, dengan kembali dikuasainya Myanmar oleh militer, usaha rakyat Myanmar dalam menegakkan kembali HAM terancam buyar dan sejarah kelam akan kembali terulang.
Kesimpulan
Jika kita lihat sepintas berita-berita yang ada sekarang, seakan-akan kelompok militer Tatmadaw adalah pihak yang bersalah karena mengambil hak demokrasi rakyat Myanmar dan menangkap paksa Aung San Suu Kyi dan petinggi NLD. Tapi jika dilihat dari data yang ada, banyak faktor yang membuat situasi ini bisa terjadi, misalnya perang sipil yang sudah dijelaskan sebelumnya. Juga termasuk di dalamnya Aung San Suu Kyi dan NLD yang dianggap membiarkan kekerasan antar etnis mayoritas-minoritas tetap terjadi. Bahkan sebagai yang paling terdampak kudeta, rakyat Myanmar sendiri juga masih memelihara diskriminasi antara etnis mayoritas dan minoritas, termasuk yang minoritas masih terus melakukan pemberontakan seakan jalan damai bukanlah suatu pilihan. Jadi, semua kekacauan yang terjadi ini diakibatkan oleh banyak faktor saling bergantung. Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja.
Berkaca dari kudeta militer di Myanmar ini membuat saya sebagai orang Indonesia, bersyukur karena: kita masih memiliki sistem demokrasi yang berjalan, memiliki pemerintah dan warga negara yang secara umum masih menghargai konstitusi. Selain itu, yang utama adalah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjaga persatuan walaupun bangsa ini terdiri atas ratusan etnis berbeda. Namun, mungkin ada satu hal yang perlu kita renungkan. Saat karma kolektif berbuah dan negeri kita yang “damai” ini dilanda konflik, bisakah kita mempertahankan semboyan luhur itu beserta nilai-nilai bajik yang kita anut agar tidak kalah dengan rasa takut dan dorongan untuk membenci demi mempertahankan keselamatan pribadi?
Referensi:
Patrick Winn (13 Mei 2012). “Myanmar: ending the world’s longest-running civil war”. Pittsburgh Post-Gazette. Archived from the original on 25 August 2013. Retrieved 27 March 2013.
Miliband, David (12 December 2016). “How to Bring Peace to the World’s Longest Civil War”. TIME. Retrieved 11 March 2019.
Slow, Oliver (26 April 2018). “Fighting in Kachin Highlights Myanmar Civil War Worries”. VOA. Retrieved 11 March 2019.
Kaicome, Jittrapon (8 February 2019). “Marking 70 Years of War in Myanmar”. The Diplomat. Retrieved 11 March 2019.
U Thant Myint (2006). The River of Lost Footsteps – Histories of Burma. Farrar, Straus and Giroux. pp. 274–289. ISBN 978-0-374-16342-6.
“Suu Kyi rejects genocide claims at top UN court”. 11 December 2019. Retrieved 12 December 2019.