Kita sudah membahas tentang asal-usul Lamrim yang bermula dari ajaran Buddha Shakyamuni dan berkembang dari masa ke masa menjadi sebuah peta yang bisa memandu banyak orang di seluruh dunia untuk mencapai pencerahan. Nah, berikutnya kita akan menjawab pertanyaan ini: “Kenapa sih orang-orang mau belajar Lamrim?”. Jawaban dalam artikel ini mungkin bukan jawaban universal yang disepakati oleh semua orang yang belajar Lamrim di seluruh dunia, tapi ini yang penulis dapatkan dari pengalaman pribadi mempelajari dan merenungkan teks-teks Lamrim, mengamati teman-teman praktisi, dan membaca beberapa buku dan karya tulis seputar sejarah dan perkembangan Buddhadharma.
‘Titik temu’ berbagai pandangan dalam Buddhadharma.
Karena terdiri atas poin inti dari berbagai kitab Buddhis, Lamrim bisa menjadi sebuah titik temu dari berbagai pandangan dalam Buddhadharma. Ketika menyusun “Bodhipathapradipa” (Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan) yang merupakan teks akar Lamrim, Yang Mulia Atisha menyatukan penjelasan dari dua perintis agung, Nagarjuna dan Asanga, yang merupakan filsuf Buddhis agung yang luar biasa. Guru agung Je Tsongkhapa yang merintis tradisi dan sistem pembelajaran Lamrim merupakan cendekiawan besar yang mewarisi ajaran Dharma dari berbagai aliran dan tradisi.
Melalui karya-karya Beliau, Je Tsongkhapa menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan dalam ajaran Buddha. Semua ajaran tanpa terkecuali merupakan cara-cara utama bagi seseorang mencapai Kebuddhaan ataupun unsur tambahan dalam upaya tersebut.
Pintu pencerahan ‘kelihatan’.
Di keluarga saya, praktik ‘Buddhis’ itu berarti ke wihara sebulan dua kali, pasang lilin, lalu membakar dan mempersembahkan dupa di altar Buddha dan dewa-dewa. Ketika mulai mendapat pelajaran agama Buddha di SMA, saya berkenalan dengan beragam konsep-konsep dan istilah dalam Buddhadharma–karma berarti kita akan menerima akibat yang setimpal dengan perbuatan kita, setelah mati kita akan lahir kembali di salah satu dari enam alam kehidupan, Buddha mengajarkan tentang Empat Kebenaran Mulia, dan sebagainya. Saat itu saya pikir kalau orang agama Samawi hidup dengan baik agar bisa masuk surga, berarti sebagai Buddhis adalah hidup sebaik mungkin agar bisa menikmati kebahagiaan di alam dewa.
Secara teori saya tahu bahwa ada tujuan lebih tinggi seperti mencapai tingkat kesucian, memutus nafsu keinginan, hingga akhirnya menjadi Buddha yang lengkap dan sempurna. Namun, pencapaian seperti seolah merupakan hal luar biasa yang hanya bisa diraih oleh mereka yang punya cukup karma baik untuk bertemu Buddha secara langsung. Dengan pemikiran demikian, Dharma yang saya pelajari di sekolah tidak terlalu berpengaruh dalam hidup saya.
Saya baru berkenalan dengan Lamrim di bangku kuliah. Dalam Lamrim, dijelaskan bahwa ada 3 tujuan praktik Dharma bagi seorang Buddhis: kehidupan yang akan datang lebih baik, membebaskan diri dari samsara, serta membebaskan diri sendiri dan semua makhluk dari samsara dengan meraih Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna. Setiap konsep dalam Buddhadharma, atau dengan kata lain, setiap hal yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah sebuah instruksi yang jika dipraktikkan akan mengantarkan kita kepada tujuan tersebut. Jadi, mencapai Kebuddhaan atau tingkat-tingkat kesucian lainnya bukanlah privilese bagi mereka yang lahir di zaman Buddha saja.
Sejak berkenalan dengan Lamrim, saya jadi menyadari bahwa setiap kitab merupakan instruksi pribadi untuk dipraktikkan, bukan teori-teori sulit yang disusun hanya untuk dipahami oleh orang-orang istimewa.
Buddha mengajarkan Dharma dan ajarannya masih ada hingga sekarang agar kita di masa ini dan orang-orang di masa mendatang bisa mempelajari dan mempraktikkannya dan meraih kebahagiaan sejati seperti yang telah diraih oleh Sang Buddha. Pintu “pencerahan” ini mungkin masih sangat jauh di ujung jalan, tapi pintu itu terlihat dan jalan ke sana sudah di depan mata!
Mencakup keseluruhan ajaran Buddha, one step at a time.
“Kalau mau belajar agama Buddha, mulainya dari mana, ya?”
Saya kadang mendengar pertanyaan ini dari teman-teman yang tertarik dengan Buddhadharma. Tripitaka saja ada satu lemari, bacanya harus dari mana? Kapan bisa selesai? Menjawab pertanyaan seperti itu jadi lebih mudah setelah saya tahu tentang Lamrim. Dalam Lamrim, keseluruhan ajaran Buddha dikelompokkan dalam topik-topik yang kemudian disusun dalam suatu urutan. Setiap topik mencakup poin-poin kuci dari semua kitab. Jika kita mengikuti urutan ini, topik-topik di dalamnya membentuk urutan berpikir logis yang mengantarkan orang biasa seperti kita hingga bisa menjadi sosok agung seperti Sang Buddha selangkah demi selangkah. Mulai dari mengenali Sang Buddha dan guru-guru yang menjadi sumber Dharma, mengenali keunggulan Dharma, cara belajar, berguru, hinggak ke tahapan praktik yang sesungguhnya. Merenungkan kebebasan dan keberuntungan yang kita miliki sebagai manusia adalah instruksi pertama yang juga menjadi penyemangat bagi kita untuk menapaki jalan Dharma demi meraih kebahagiaan sejati. Jadi, tidak ada lagi kebingungan harus mulai belajar dari mana. Kita dituntun langsung dari langkah pertama, lalu kita ‘diangkat’ setahap demi setahap. Jika terus belajar dan praktik dengan tekun, kita bisa memahami keseluruhan ajaran.
Ketika melihat urutan topik dalam Lamrim ini beserta penjelasan di dalamnya, pemikiran mendasar Sang Penakluk bisa dipahami dengan mudah; Dengan mengikuti topik-topik dalam Lamrim setahap demi setahap, saya diajak untuk sedikit demi sediki mengubah pola pikir kita hingga sejalan dengan Sang Buddha yang bijaksana dan penuh welas asih.
Nggak lagi membeda-bedakan Dharma.
Struktur Lamrim membuat saya bisa melihat bahwa adanya beragam ajaran dan tradisi Buddhis merupakan keunggulan Dharma itu sendiri, yaitu bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, kondisi sosial, dan kapasitas masyarakat. Selama ajaran tersebut berlandaskan pada keyakinan pada Triratna, hukum karma, dan tujuan bajik yang melampaui kepentingan diri sendiri di kehidupan saat ini, maka itu adalah ajaran Buddha.
Pemahaman akan hal ini berdampak pada sikap terhadap ajaran. Kita akan menghormati setiap ajaran Buddha dan terhindar dari kesalahan menolak Dharma.
Kita pun akan terhindar dari akibat menolak Dharma yang membuat kita jauh dari ajaran dan melakukan berbagai perbuatan buruk.
Adanya pengelompokan dan urutan berbagai ajaran dalam Lamrim juga membantu saya menempatkan nilai-nilai dalam ajaran yang saya dapat di berbagai tempat dan kesempatan. Ajaran tersebut bisa saya tempatkan dalam struktur Lamrim yang menjadi panduan saya untuk menyusuri jalan nan panjang untuk bisa meraih kebijaksanaan sejati dan menolong banyak makhluk seperti Sang Buddha.
Kaitan dengan Nusantara.
Seperti yang telah dibahas dalam artikel sebelumnya, Lamrim memiliki keterkaitan erat dengan Nusantara. Dalam “Bodhipathapradipa”, Guru Atisha mewariskan nilai-nilai Dharma Nusantara yang Beliau terima langsung di kaki Guru Suwarnadwipa Dharmakirti di Sriwijaya. Di Indonesia saat ini, ada banyak sekali tradisi Buddhis yang masuk. Ibarat berada di supermarket, kita bisa dengan mudah memilih ingin belajar Dharma dengan ‘merk’ apa–ada yang menggunakan Bahasa Pali dan secara langsung membedah Tripitaka, ada yang praktiknya menggunakan Bahasa Mandarin, ada yang dari Jepang, Tibet, Sri Lanka, sampai ke yang bergaya new age. Di antara itu semua, saya rasa amat baik jika kita setidaknya berkenalan dengan Lamrim agar kita bisa membayangkan seperti apa ‘wajah’ Buddhadharma di negeri kita pada masa keemasannya.
Untuk penjelasan tentang Lamrim yang lebih komplit dan tuntas, silakan kunjungi tulisan-tulisan berikut:
- Serba-Serbi Lamrim: Bagaimana dan Mengapa Mengikuti Jalan Buddhis Bertahap oleh Dr. Alexander Berzin
- Buku “Lamrim Intisari Tripitaka” oleh Guru Dagpo Rinpoche
- Buku “Lamrim Buddhisme Lengkap dan Sistematis” oleh Guru Dagpo Rinpoche
- Penjelasan ringkas topik-topik dalam Lamrim
- Peta Lamrim
Sumber:
- “Pembebasan di Tangan Kita” Jilid I oleh Phabongkha Rinpoche
- “Sekar Widyaiswara” oleh Je Gendun Jamyang & Ngawang Drakpa
- “Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan” (Lamrim Chenmo) Jilid I oleh Je Tsongkhapa
- “Tibet: Sebuah Hikayat” oleh Bhadra Ruci