Zaman sekarang, banyak orang di Indonesia belajar Dharma bukan untuk memperbaiki batin atau mengembangkan kualitas tetapi hanya ingin mendengarkan ceramah yang enak di dengar. Kita memilih siapa yang berucap baik bagi telinga kita untuk dijadikan guru. Padahal, lebih dari 500 tahun lalu saat Buddhadharma hidup dan berkembang di bumi Nusantara, pembelajaran Dharma yang serius dengan tujuan mengubah batin menjadi lebih baik dan mencapai pencerahan merupakan tradisi yang mendarah daging. Tiga puluh tahun lalu, seorang guru bernama Yang Mulia Dagpo Rinpoche menempuh perjalanan jauh dari Prancis ke Indonesia untuk menghidupkan kembali tradisi belajar Dharma ini di Nusantara. Beliau tak hanya datang sekali, tapi terus-menerus setiap tahun demi mengajarkan Dharma di Indonesia. Sayangnya, tiga tahun terakhir ini Beliau berhalangan hadir karena kendala kesehatan. Yang Mulia Biksu Bhadra Ruci selaku murid langsung Dagpo Rinpoche pun mengemban tugas mulia untuk menjaga tradisi pengajaran Dharma di Indonesia melalui Indonesia Lamrim Retreat yang kali ini diselenggarakan pada tanggal 21 Desember 2018-1 Januari 2019 di Jakarta Barat.
Setelah dibuka dengan malam motivasi di tanggal 21, acara Indonesia Lamrim Retreat 2018 dilanjutkan dengan rangkaian puja di tanggal 22 Desember guna mengumpulkan kebajikan dan energi positif untuk mendukung pembelajaran selama retret. Pengajaran Dharma benar-benar dimulai pada tanggal 23 Desember. Di hari pertama ini, Y. M. Biksu Bhadra Ruci yang biasa disapa “Suhu” kembali mengambil waktu satu sesi penuh untuk mengajak seluruh peserta membangkitkan motivasi yang benar dalam belajar Dharma.
Sebelum mulai pembelajaran kita harus memiliki motivasi yang benar karena semua tindakan kita. Mengapa? Alasannya adalah karena belajar merupakan sebuah karma, dan karma dapat menjadi netral, buruk atau baik tergantung pada motivasi yang melatarbelakanginya.
“Motivasi baik hasilnya baik dan kebalikannya. Jadi setiap pelajaran harus dimulai dengan membangkitkan motivasi. Ini adalah suatu pelajaran besar,” Yang Mulia Suhu menjelaskan.
Retret ini berlangsung selama 10 hari, 2 sesi per hari, setiap sesi ada 2,5 jam. Jika dihitung-hitung, kita menghabiskan waktu 35 jam dalam retret ini. Jika motivasi kita dari awal adalah salah, maka 35 jam akan sia-sia. Membangkitkan motivasi bajik amatlah penting agar 35 jam dari kehidupan kita sebagai manusia yang bebas dan beruntung ini tidak sia-sia.
Motivasi yang benar adalah kita duduk disini untuk mendengarkan pelajaran Dharma demi kebahagiaan kita. Dharma adalah obat bagi kehidupan kita. Kita perlu obat karena kita masih di samsara dan menderita penyakit ketidakpuasan. Kita tak cukup mendapatkan satu hal dan selalu ingin lebih, tidak ada habis-habisnya. Kita dengan mudah tertipu oleh iming-iming penumpuk harta yang merayu kita untuk berfoya-foya lewat berbagai promo seperti cashback, diskon Harbolnas, dan sebagainya.
Lalu kita pelan-pelan lihat ke jasmani kita. Jasmani ini seperti seonggok daging yang hidup. Sama seperti daging babi, ayam atau sapi yang kita beli di pasar, tidak ada bedanya. Di dalam diri kita ada perasaan senang, netral, sedih, dan lain-lain, kita diombang-ambing, hidup tidak tenang. Kita seperti sesuatu kecil ditengah samudera terkadang ada ombak, terkadang tenang. Meski demikian, sebagai manusia kita dapat mengatur hidup kita ingin menjadi seperti apa, ingin terus terombang-ambing atau ingin menjadi lebih baik dengan memiliki motivasi atau sudut pandang yang benar dalam melihat dan menanggapi samsara ini.
Jadi apa yang harus kita lakukan dengan kelahiran manusia ini? Puaskah kita dengan kebahagiaan sementara dengan travelling, makan sepuasnya, atau berburu cashback? Kita bisa menggunakan tubuh kita sebagai alat untuk senang-senang. Ketika waktu habis, kita menemukan sebentar lagi kita meninggal, kita pun panik. Barulah kita baru mencari Dharma. Alat berupa tubuh ini kita pakai terus sampai kita lupa tubuh ada batas umurnya dan bisa rusak. Kita pakai terus alat ini tapi tidak kita rawat sehingga semakin mudah rusak. Kita hidup tidak pernah diajari cara menggunakan kelahiran manusia yang berharga ini dengan benar. Kita diajari sejak kecil, untuk menggunakan tubuh manusia ini untuk mencari uang, menjadi sukses, tapi ketika meninggal uang dan sukses itu tidak kita bawa. Jadi untuk apa perjuangan kita? Dengan belajar Dharma, kita akan menemukan tujuan lain yang lebih bermakna.
Membangkitkan motivasi harus benar, kemudian luas dan besar. Motivasi yang benar adalah bahagia yang tak terbatas pada kenyamanan di kehidupan sekarang. Motivasi yang luas dan besar adalah mewujudkan kebahagiaan bagi semua makhluk. Semu makhluk ingin bahagia. Nyamuk menggigit manusia pun semata-mata karena mereka ingin bahagia, mereka ingin makan. Ketika kita mencapai kebahagiaan untuk diri kita sendiri, motivasi kita tidak luas dan besar. Namun, jika kita melakukan kebaikan demi semua makhluk yang tak terhingga jumlahnya, karma akan bekerja dan membawa hasil yang proporsional, yaitu kebaikan yang juga tak terhingga jumlahnya.
Instruksi Guru yang Berharga yang akan dijelaskan dalam retret ini adalah peta yang harus kita selesaikan sepanjang hidup di semesta alam ini, sampai kehidupan mendatang. Kita bertemu ajaran ini di kehidupan ini merupakan bukti bahwa kita pernah bertemu dengan ajaran ini di kelahiran lampau dan kita harus menyelesaikannya.
Yang Mulia Suhu kemudian mulai menjelaskan Instruksi Guru yang Berharga yang tersiri atas empat empat bab. Bab pertama adalah keagungan sang pengarang untuk menunjukkan kemurnian sumber ajaran. Yang kedua adalah keagungan ajaran untuk membangkitkan rasa hormat terhadap instruksi. Bab ketiga adalah bagaimana mendengar dan menjelaskan ajaran dengan kedua keagungan. Bab keempat adalah bagaimana menuntun murid dengan ajaran sebenarnya. Setiap bab ini berhubungan satu dengan yang lain. Jika sumber ajaran diragukan, maka ajaran pun akan diragukan. Kalau ajaran itu diragukan kemudian diremehkan, maka ajaran itu tidak akan kita hargai. Kalau kita tidak menghargai ajaran, kita tidak akan menganggapnya sebagai instruksi yang perlu dijalankan sehingga tak mendapat manfaat apapun.
Dalam bab pertama dijelaskan bagaimana Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan ditulis dan dipelajari dari generasi ke generasi. Metode belajar Dharma ini berasal dari Dharma Sang Buddha sendiri, diwariskan turun-temurun hingga dirangkum oleh Guru Atisa, murid dari Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dari Sriwijaya dalam karyanya, “Bodhipatapradipa”. Teks ini kemudian dijabarkan oleh guru Je Tsongkhapa dan diajarkan kembali oleh banyak guru berkualitas dalam silsilah yang tak terputus, salah satunya oleh Phabongkha Rinpoche yang menulis teks Instruksi Guru yang Berharga, sebuah “peta” yang menunjukkan urutan praktik bagi kita yang biasa-biasa saja hingga bisa mencapai Kebuddhaan.
Salah satu cara merenungkan sumber ajaran adalah dengan mempelajari riwayat Buddha. Orang sering berkata, “Siddharta Gautama tidak baik karena mencampakkan istri dan anaknya”. Pola pikir ini kurang tepat. Sebaliknya, kita harus berpikir, sanggupkah kita meninggalkan istana, istri, anak, san harta demi semua makhluk seperti Pangeran Siddharta? Mampukah kita meninggalkan segala kesenangan duniawi kita, tidak melekat dan tidak serakah seperti Beliau? Beliau juga tidak meninggalkan keluarganya begitu saja. Beliau kembali sebagai seorang Buddha dan memberikan warisan yang tak ternilai kepada keluarganya dan banyak makhluk lain, yaitu kebahagiaan sejati Nirwana. Jadi, keagungan Buddha jelas tak perlu diragukan lagi.
Bab kedua Instruksi Guru yang Berharga menjelaskan keagungan ajaran ini, di antaranya adalah semua ajaran bebas dari pertentangan. Ada 84.000 ajaran Buddha, yang satu tampak berbeda dari yang lain bukan karena bertentangan, tapi karena Buddha mengajar sesuai dengan kapasitas dan kondisi pendengarmya. Keagungan lainnya adalah bahwa setiap kitab Dharma merupamab instruksi pribadi untuk dipraktikkan. Teks-teks Dharma lebih dari sekedar kitab suci objek persembahan yang hanya dibaca saat ritual-ritual atau perayaan-perayaan. Setiap hurufnya ada untuk kita praktikkan. Jika kita tidak menganggap Dharma sebagai instruksi pribadi, maka sehari-hari kita hanya menuruti kehendak klesha (kotoran batin) yang melekat pada hal-hal duniawi. Praktik dharma menjadi tidak serius dan hanya jadi pengisi waktu dinhari Sabtu dan Minggu. Akibatnya, belajar Dharma bertahun-tahun pun tidak membawa hasil apapun.
Praktik Dharma adalah praktik spiritual, yaitu sebuah usaha untuk membuat batin menjadi lebih baik. Praktik spiritual sendiri ada pada sikap dan cara kita bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Spiritual berbeda dengan religius. Spiritual membutuhkan dua hal, yaitu logika untuk berpikir kemudian memahami dan hati atau batin kita untuk ditaklukkan. Selama ini hati kita bebal. Dokter sudah mendiagnosis bahwa sebentar lagi kita akan meninggal. Logika kita paham tetapi hati tidak terima. Kondisi ini merupakan indikasi bahwa kita tidak menggunakan pemahaman logika kita untuk menanklukkan hati. Praktik Dharma dan hidup kita jadi seperti air dan minyak. Padahal Dharma dan kehidupan sehari-hari semestinya sejalan.
Kita juga mengatakan bahwa tidak ada waktu untuk praktik Dharma. Sebenarnya kita bukannya tidak memiliki waktu. Kita tidak punya kapasitas atau kualitas untuk praktik dharma yang benar. Kita lebih tertarik dengan kesenangan sesaat dan mengikuti cara pandang tidak baik. Kita harus tanyakan pada diri kita, apakah kita butuh praktik dharma? Jika ya, kenapa? Kita butuh praktik dharma untuk bisa bahagia, bahagia yang bukan duniawi saja.
Kembali lagi ke bahasan awal, untuk dapat berpraktik Dharma yang benar kita perlu membangkitkan motivasi yang benar, luas dan dalam. Motivasi harus dari dalam diri. Kita harus bisa mengatasi penghalang praktik Dharma, yaitu ketertarikan pada kehidupan saat ini. Kita lupa kita akan mati. Kita buta dan tidak tahu kualitas batin kita. Akhirnya, kita memandang dunia dengan bias, bukan sebagaimana adanya. Pandangan bias ini membuat kita menderita. Cara memperbaikinya adalah dengan mempelajari, merenungkan, lalu memeditasikan ajaran kebenaran, yaitu Dharma. Cerna Dharma ini dengan logika, kemudian renungkan pemahaman ini hingga kita dapat mencapai satu kesimpulan, lalu biasakan batin kita dengan kesimpulan tersebut hingga menjadi tak terpisahkan dengan diri kita. Kita pun akan berubah menjadi lebih baik, kualitas batin kita meningkat dan menjadi bekal di kehidupan mendatang hingga bisa mencapai Kebuddhaan dan menolong semua makhluk.