Biksu hutan dari Thailand, Thanissaro, mendiskusikan 4 pelajaran dari Sutta Nipata yang baru diterjemahkannya.
Oleh Emma Varvaloucas
Biksu hutan Thanissaro adalah penerjemah produktif kitab Pali, kumpulan lengkap ajaran Buddha masa awal. Than Geoff, panggilannya di kalangan siswa dan teman, baru-baru ini mencetak terjemahannya atas Sutta Nipata (“Kumpulan Kajian”). Terdiri atas 72 sutta, Sutta Nipata berisi beberapa syair sahih paling terkenal (contohnya yang mungkin pernah Anda dengar adalah Metta Sutta) dan menyajikan pandangan Buddha tentang topik semacam rasisme dan perbedaan kelas. Terlepas dari umur naskahnya, bahasannya sungguh sesuai dengan kondisi sosial-politik saat ini.
Di bawah ini, sang biksu menjawab 4 pertanyaan singkat tentang Sutta Nipata.
Adakah sutta tertentu dalam Sutta Nipata yang tidak terkenal, namun layak diketahui?
Mungkin bagian terpenting Sutta Nipata adalah Atthaka Vagga, sebuah kompilasi 16 puisi tentang ketidakmelekatan. Namun, ada permata terpendam dalam kompilasi lainnya juga. ‘Mata Panah (3.8)’ adalah pernyataan kuat akan perlunya mengatasi duka, dan ‘Tongkat Terangkul (4.15)’ dimulai dengan visi dunia yang membawa Siddhartha muda mencari pencerahan. Seperti yang tertulis, dia melihat orang-orang menggelepar seperti ikan yang mendesak satu sama lain di kubangan kecil, dan tak ada suatu apapun di dunia yang tidak diklaim oleh manusia. Setiap kali saya membaca kalimat itu, saya memikirkan kala salmon sampai pada tempat peraduan mereka di sungai yang tak lebih dari satu inci dalamnya, bersikeras melampaui salmon lain yang sudah mati, sementara di sekeliling sekumpulan beruang bersiap menyerang. Terlepas dari segala usaha itu, pada akhirnya mereka akan mati jua.
Anda menyatakan bahwa benang merah antara sutta-sutta dalam Sutta Nipata adalah reaksi terhadap budaya India kuno, kala Brahmanisme menjadi tradisi agama yang mendominasi. Bagaimana Anda menggambarkan hubungan Buddha dengan para Brahmana dan bentuk kepercayaan mereka, dan bagaimana kompilasi ini mendukung pendapat itu?
Kita tahu dari teks lain bahwa kaum Brahmana di zaman Buddha terobsesi pada keakuan. Apakah ‘diri sejati’ lepas dari hidup-mati, dan bila iya, bagaimana memastikan ‘diri sejati’ ini tetap berlanjut? Kita juga tahu dari bagian lain teks bahwa menurut Buddha, ini adalah pertanyaan yang salah karena malah menghambat pencarian jawaban atas pertanyaan yang menurutnya lebih penting: bagaimana mengakhiri penderitaan dan memastikan bahwa kita bisa meraih pembebasan. Sutta Nipata menyentuh topik ini sedikit sekali. Di sini, para Brahmana digambarkan hanya dipersatukan oleh kepercayaan bahwa mereka lebih baik daripada orang lain, dan Buddha membahas panjang lebar bahwa seseorang tidak dapat dinilai hanya berdasarkan latar belakang keluarga dan status sosial, namun seharusnya berdasarkan tindakan mereka.
Hal ini tampaknya sesuai sekali dengan isu rasisme dan kesenjangan kelas yang masih kita hadapi saat ini. Bagaimana kita dapat menerapkan pendirian Buddha dari masa India lampau ke kondisi modern saat ini?
Dua ajaran Buddha mengenai rasisme dan kesenjangan kelas masih sangat bisa diterapkan sekarang. Pertama adalah poin yang baru saja saya sampaikan: asal usul dan status sosial tidak mempengaruhi kebaikan atau keburukan seseorang. Baik atau buruknya manusia tergantung pada apa yang mereka lakukan, dan begitulah semestinya mereka dinilai– bukan dari warna kulit mereka. Dalam kalimat indah di Vasettha Sutta (3.9), Buddha menyebutkan bahwa Anda bisa mengenali sosok hewan yang umum dari warna atau coraknya, sementara standar yang sama tidak berlaku bagi manusia. Tidak ada tanda fisik yang bisa menyatakan apakah seseorang bisa dipercaya atau tidak. Jika Anda mengukur kebaikan atau keburukan seseorang dari penampilannya, Anda merendahkan martabat manusia -diri Anda dan orang lain- seperti hewan.
Ajaran lain tak begitu mudah ditangkap tapi sama pentingnya. Ada sebuah sutta renungan tentang tubuh yang judulnya menarik, yaitu Kemenangan (1.11). Sutta itu menjabarkan daftar panjang hal yang menjijikkan dari tubuh manusia, dan diakhiri perkataan,”Siapakah yang berpikir, dengan badan semacam ini, untuk menghina atau menjauhi manusia lain; apa itu kalau bukan buta namanya?” Jika kamu merasa kulit putih sungguh istimewa, bayangkan seonggok kulit putih begitu saja. Semestinya itu cukup untuk mengurungkan pikiran tentang superioritas ras.
Dalam prakata Anda untuk kompilasi ini, Anda menekankan pentingnya mengerti konteks sejarah dalam membaca naskah kuno, terutama karena banyak sabda sang Buddha yang bisa terasa kontradiktif atau ambigu jika seseorang hanya mengandalkan makna denotatifnya. Bagaimana jika seorang awam ingin membacanya?
Dalam naskah Buddhis, makna utuh selalu berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan ini: sejauh apa ajaran ini dapat membantu mengatasi penderitaan? Ketika Anda dihadapkan pada tafsir berbeda atas sebuah naskah, pertanyaan yang sama tetap berlaku. Apakah tafsir ini membantu atau menghambat seseorang mengatasi penderitaan? Cendekiawan dapat menunjukkan kecocokan tafsir dari sebuah naskah berdasarkan posisinya dalam sejarah atau kaitannya dengan naskah lain, namun hanya karena dia lebih terpelajar bukan berarti dia lebih mampu daripada orang awam dalam menjawab kedua pertanyaan itu. Anda harus ingat bahwa naskah semacam kitab Pali tidak dimaksudkan untuk dipelajari sendiri. Idealnya, Anda mempelajarinya dengan komunitas guru, kalangan Sangha yang sudah menerapkan ajaran itu, sehingga Anda mendapat gambaran bagaimana menerapkannya dalam hidup Anda. Meski demikian, Anda belum tentu mengerti makna seutuhnya dari sebuah ajaran sampai Anda menemukan apa yang dapat mengakhiri penderitaan pribadi Anda. Hal ini membutuhkan lebih dari sekadar teknik ilmiah. Yang Anda butuhkan adalah kejujuran, ketulusan, dan standar tinggi dalam menemukan apa yang sesuai.
Sutta Nipata adalah naskah kelima dalam Khuddaka Nikaya (“Antologi Pendek”), yang merupakan antologi kelima dalam Sutta Pitaka, satu dari tiga ‘keranjang’ utama kitab Pali. Anda dapat membaca Sutta Nipata dan terjemahan lainnya dari Biksu Thanissaro secara gratis di accesstoinsight.org
(Sumber: tricycle.org | diterjemahkan oleh Lisa Santika Onggrid)