Will I lose my dignity?
–”Will I” dari RENT the Musical
Will someone care?
Will I wake tomorrow
from this nightmare?
oleh Samantha J.
Entah sudah berapa ratus kali bait ini terngiang-ngiang di telinga saya sejak pertama kali saya mendengarnya sekitar tujuh tahun yang lalu. Sungguh merupakan keberuntungan luar biasa, saya bisa mendengar bait itu dinyanyikan secara langsung di Indonesia, oleh talenta-talenta Indonesia, dalam pertunjukan RENT the Musical dari Teman Musicals di Ciputra Artpreneur tanggal 25-27 November 2022 lalu.
RENT adalah drama musikal karya Jonathan Larson yang pertama kali dipentaskan dalam bentuk pembacaan lantang pada tahun 1993 hingga menjadi salah satu pertunjukan Broadway paling populer yang tayang lebih dari 5.000 kali selama 12 tahun (1996-2008). Pertunjukan ini juga telah dipentaskan di lebih dari 50 negara dan diadaptasi menjadi film layar lebar.
Kisah RENT sendiri mengisahkan kehidupan sekelompok seniman muda dari golongan marjinal yang tinggal di daerah kumuh kota New York di bawah bayang-bayang narkoba dan wabah HIV/AIDS. Kisah ini merupakan kombinasi antara adaptasi bebas dari opera legendaris “La Bohème” karya Giacomo Puccini dan pengalaman pribadi Jonathan Larson yang bergumul dalam kemiskinan selagi berjuang mengejar cita-citanya sebagai penulis dan komposer drama musikal yang “lain dari yang lain” hingga akhirnya meninggal sehari sebelum mahakaryanya dipentaskan di depan umum untuk pertama kali.
RENT merupakan salah satu drama musikal favorit saya yang sudah saya tonton berulang kali karena berbagai alasan. Dalam kesempatan ini, untuk merayakan pementasan pertama RENT di Indonesia sekaligus memperingati Hari AIDS Sedunia, saya ingin secara khusus bercerita tentang bagaimana penggambaran komunitas ODHA dalam drama musikal ini membantu saya menyadari kesalahan saya dalam belajar Dharma dan memahami makna penting komunitas–yang dalam Buddhadharma kita kenali sebagai salah satu dari tiga perlindungan (Tisarana), yaitu Sangha.
Mengakui Keraguan Terhadap Dharma
Salah satu adegan paling berkesan dalam RENT adalah ketika para tokoh utama menghadiri pertemuan Life Support, semacam perkumpulan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam kisah ini. Adegan dibuka dengan para peserta pertemuan menyanyikan kalimat afirmasi yang dipotong dengan kehadiran Mark Cohen, salah satu tokoh utama yang bukan ODHA. Mark sendiri datang karena diundang Angel, gebetan baru teman sekamarnya yang sama-sama terjangkit HIV.
Mark disambut dengan hangat dan diajak ikut menyanyikan bait afirmasi tadi sebelum akhirnya dipotong oleh salah satu anggota pertemuan yang merasa ragu dengan afirmasi tersebut.
Afirmasi: “Lupakan sesal atau kau akan melewatkan kehidupan.”
Peserta pertemuan: “T-Cell-ku rendah, aku menyesali hal itu, oke?”
Pemimpin pertemuan kemudian menuntun orang tersebut untuk berfokus pada apa yang dia rasakan saat ini dan membantunya menggali alasan di balik rasa takut yang menghantuinya meskipun ia sedang “baik-baik saja” secara fisik. Peserta pertemuan itu kemudian mengakui keraguannya dan menyatakan bahwa terlepas dari itu, ia ingin mencoba untuk membuka diri dan memahami apa yang ia tidak ketahui:
“Aku merasa yang kau ajarkan ini mencurigakan
karena aku terbiasa mengandalkan logika,
tapi aku mencoba membuka diri pada apa yang tak kuketahui
karena logikanya seharusnya aku sudah mati 3 tahun lalu.”
Apa kaitannya adegan ini dengan Dharma?
Saya teringat dengan diri saya waktu awal-awal mengenal beragam tradisi Buddhadharma. Hal-hal yang saya rasa “masuk akal” seperti teori-teori tentang dukkha, hukum karma, atau meditasi membuat saya terkagum-kagum dan bangga menjadi Buddhis. Apalagi kalau ketemu berita bertajuk “Sains membuktikan manfaat praktik Buddhis ini!” Wuih… Bangganya bukan main. Tapi lain ceritanya saat bertemu dengan praktik yang “tidak bisa dibuktikan secara ilmiah”. Ketika ditanya orang, saya dengan cepat menjelaskan bahwa itu sekadar “produk budaya” dan bukan praktik Buddhis yang esensial. Apalagi kalau praktik itu berasal dari tradisi lain yang tidak terlalu saya kenal, hanya karena pernah mendengar desas-desus tanpa pernah mencoba mencari tahu lebih lanjut, saya pernah dengan percaya diri bilang bahwa itu bukan praktik Buddhis, melainkan karangan umat yang salah kaprah!
Kalau direnungkan lebih lanjut, sikap saya itu merupakan tanda bahwa saya memiliki keraguan terhadap berbagai praktik Buddhis yang sesungguhnya sudah ada dan dipraktikkan untuk waktu yang sangat lama. Namun, alih-alih ber-ehipassiko dengan mencari tahu tentang asal-usul dan makna praktik tersebut dan mencobanya secara langsung, saya memilih untuk menyangkal kesahihannya. Gara-gara saya tidak mau mengakui dan menghadapi keraguan saya terhadap ajaran Buddha yang “paling logis, paling ilmiah, paling luar biasa”, saya asal menuduh praktik yang tidak cocok dengan saya sebagai bukan Buddhis.
Tindakan saya waktu itu tentunya berbeda sama sekali dengan adegan dalam RENT yang saya ceritakan tadi. Di situ, si peserta pertemuan yang ragu mengakui keraguan dan ketidaktahuannya. Ia juga dengan berani berusaha untuk menantang “logika” otaknya dengan mencoba mengikuti pertemuan tersebut setelah menyadari sendiri bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai logika itu.
Saya sendiri termasuk orang yang masih sering merasa bahwa “nyata” menurut logika berarti sesuatu yang tampak dan punya wujud. Ini merupakan logika positivisme versi Barat yang tanpa sadar tertanam dalam pikiran banyak orang, apalagi di negara-negara jajahan Eropa yang dibuat merasa inferior secara intelektual. Padahal, kalau kita benar-benar aware dengan apa yang terjadi pada diri kita dan dunia di sekitar kita, ada banyak sekali kejadian yang tidak sesuai dengan apa yang kita anggap logis.
Sikap keukeuh memegang “logika” pribadi secara khusus sangat berbahaya saat diterapkan pada Dharma Sang Buddha yang kualitas dan cakupannya jauh melampaui jangkauan nalar kita yang masih tertutup kotoran batin yang sudah menumpuk sejak waktu tak bermula. Saat kita membiarkan sikap ini mengarahkan jari telunjuk kita untuk menentukan mana ajaran Buddha dan mana yang bukan, kita bukan hanya akan gagal memahami Dharma secara keseluruhan dan semakin jauh dari pencerahan. Kita juga menciptakan sebab untuk tidak mengenal Dharma di masa mendatang.
“Jauh lebih berat adalah kejahatan dari seseorang yang menyangkal Sutra-Sutra dibanding seseorang yang akan menghancurkan semua stupa di Jambudwipa ini.
-Samadhiraja Sutra
Jauh lebih berat adalah kejahatan dari seseorang yang menyangkal Sutra-Sutra dibanding seseorang yang akan membunuh Arahat sebanyak butiran pasir di Gangga.”
Jadi, banyak baca buku Dharma, rajin ke wihara, ikut banyak ceramah Dharma, atau bersikap alim tidak menjamin kita benar-benar menjadi seorang Buddhis atau praktisi Dharma. Itu semua percuma kalau kita masih “pilih-pilih” ajaran seperti yang saya lakukan dulu (sekarang juga kadang masih suka salah sih). Sebaliknya, kita perlu bersikap seperti peserta pertemuan ODHA dalam RENT tadi yang berani mengakui keraguannya sambil tetap mencoba membuka diri terlepas dari segala ketakutan dan kesulitan yang ia alami. Seorang Buddhis bisa jadi pecandu narkoba, suka mabuk-mabukan, dan ragu dengan ajaran Buddha, tapi yang penting adalah ia menyadari dan mengakui ketidaktahuannya serta mau mencoba membuka diri terhadap Dharma yang baru ia kenal. Jika tidak, Dharma tak akan bermanfaat bagi batinnya.
Pentingnya Komunitas, Pentingnya Sangha
Mengakui keraguan dan membuka hati tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap orang pasti menemui hambatan yang beragam jenis dan beratnya tergantung dengan karma dan pengalaman hidup masing-masing. Tokoh dalam RENT tadi mengalami hambatan untuk memulihkan diri lewat pertemuan Life Support berupa ancaman penyakit mematikan dan ketakutan yang konon umum bagi warga New York dalam kisah itu. Saya sendiri menemukan hambatan berupa kesombongan, kurangnya pengetahuan, dan konsep bawaan dalam upaya memulihkan diri dengan Dharma.
Meski amat beragam, saya rasa hambatan itu bisa diperas sampai sisa intisarinya menjadi bait yang saya kutip di awal tulisan ini:
“Akankah aku kehilangan harga diri?
Akankah ada yang peduli?
Akankah kubangun esok hari
dari mimpi buruk ini?”
Ini adalah lagu paling sederhana dalam seluruh drama musikal RENT. Isinya hanya satu bait diulang-ulang, dinyanyikan awalnya oleh salah satu peserta pertemuan Life Support dan diikuti oleh seluruh tokoh. Ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang sakit, ada yang sehat, ada yang beruntung, ada yang malang, semua berada di tempat dan adegan yang berbeda tapi menyanyikan bait yang sama dengan nada yang sama. Di momen ini, saya bisa merasakan salah satu poin penting yang diajarkan Buddha bahwa semua makhluk pada dasarnya sama, sama-sama menderita dan ingin bebas dari penderitaan itu.
Isi baitnya sendiri seolah mengungkapkan apa yang sesungguhnya dikatakan hati kecil kita saat kita menutup pintu hati, menolak mengakui kekurangan diri dan memilih untuk “kuat” sendiri. Kita takut kehilangan harga diri karena mengandalkan pertolongan orang lain, takut direndahkan karena memiliki kekurangan, merasa tak ada yang peduli sekeras apa pun kita berupaya, juga takut menambah luka akibat penolakan dan kegagalan di atas segala “mimpi buruk” yang kita bawa.
Lebih lanjut, kesamaan itu bisa menjadi dasar untuk berempati dan bersatu menjadi satu komunitas yang saling mendukung, misalnya 6 sahabat yang menjadi tokoh utama maupun orang-orang ODHA yang menghadiri pertemuan Life Support. Dalam komunitas seperti ini, kita tak perlu takut kehilangan harga diri atau karena semua sama-sama mengakui dan memaklumi kekurangan yang dimiliki. Kita juga bisa yakin bahwa ada orang-orang yang peduli dengan keadaan dan kebahagiaan kita, bahwa usaha kita tak akan sia-sia. Kalaupun kita gagal, kita tidak sendirian dan bisa saling menyemangati untuk terus maju selangkah demi selangkah.
Bukan hanya ODHA yang membutuhkan komunitas. Seorang praktisi Dharma juga! Pada dasarnya, yang membedakan komunitas ODHA dengan komunitas Buddhis hanyalah jenis penyakitnya–yang satu fisik, yang satu mental. Bukankah kita semua sama-sama menderita penyakit keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan yang membuat kita menderita sejak waktu yang tak bermula? “Sangha” yang secara harfiah berarti “komunitas” seringkali dianalogikan sebagai perawat bagi kita yang sakit ini. Sama seperti komunitas Life Support adalah ruang aman bagi mereka yang bergumul dengan HIV untuk merawat satu sama lain, Sangha juga merupakan “ruang aman” bagi kita yang bergumul dengan virus klesha untuk saling merawat.
Dari sini, saya jadi semakin menyadari bahwa “berlindung kepada Sangha” lebih dari sekadar menghormati para biksu/biksuni, berdana makanan dan jubah pada mereka, atau “curhat” memohon petunjuk saat ada masalah. Buddha membentuk Sangha secara khusus agar murid-murid-Nya punya komunitas yang saling menerima dan saling mendukung selagi jatuh bangun berjuang memperbaiki batin. Kita pun perlu lebih mengandalkan teman-teman kita sesama Buddhis, hidup dengan mereka dan saling menyemangati alih-alih menghakimi. Kita juga tak perlu gengsi dan menjaga jarak karena merasa kurang mampu berdana, jarang meditasi, atau tidak yakin 100% dengan praktik-praktik Buddhis tertentu. Justru kita perlu mengakuinya agar bisa berkembang menjadi lebih baik. Percaya deh, kalau kita cuma sendiri, pasti perkembangan itu tidak akan pernah terjadi!
Kemudian, sama seperti pemimpin pertemuan Life Support yang menuntun anggotanya untuk menggali akar masalah dan yakin untuk bertahan, kita butuh sosok yang sudah merasakan sendiri manfaat Dharma dan mampu menuntun kita untuk menggali akar penderitaan kita dan menguatkan tekad kita untuk terus mempelajari dan mempraktikkan Dharma sampai benar-benar bebas dari penderitaan itu.
Kalau kita sendiri, pembebasan dan pencerahan ibarat garis finish dalam rute maraton–tidak kelihatan dari titik start tempat kita berdiri. Kita butuh seseorang yang sudah pernah mencapai finish untuk meyakinkan bahwa titik itu benar-benar ada agar kita tak berhenti berlari serta memandu langkah kita agar tak tersesat di perjalanan.
Nilai yang Sama
Tentunya agar dapat benar-benar saling menerima dan saling mendukung seperti ini, sebuah komunitas juga harus setidaknya menjunjung nilai yang sama. Dalam RENT, nilai ini saya temukan dalam bait berikut:
“Bagaimana caranya menilai hidup seseorang?
Bagaimana dengan cinta?
Nilailah hidupmu dengan cinta!”
Lagu ini merupakan cuplikan dari lagu paling populer dari drama musikal RENT. Lagu ini jugalah yang membuat saya merasa komunitas yang digambarkan dalam kisah ini begitu dekat dengan komunitas Buddhis.
Sekarang ini, masyarakat terbiasa mengukur “nilai” hidup berdasarkan materi–baik itu harta, profesi, reputasi, pasangan, ataupun penampilan fisik. Masyarakat “sepakat” bahwa orang yang tidak cukup kaya, tidak cukup tenar, atau jomlo dianggap “kurang” dibanding orang yang lebih kaya, lebih tenar, atau punya pasangan. Akibatnya, antara orang yang “berpunya” memandang rendah yang lain atau orang yang “kurang” minder dan takut dihakimi. Orang-orang pun terpisahkan oleh jurang yang dibuat oleh hal-hal yang sebenarnya tidak berarti dan tidak bisa dibawa mati. Parahnya lagi, dari jurang itu akan bermunculan segala bentuk racun batin yang membuat kita makin jauh dari Dharma. Kita jadi gampang iri, tak kunjung puas, dan rela merugikan orang lain demi meredam dahaga samsara. Akibatnya, bukannya lega, kita malah menumpuk sebab penderitaan.
Lain halnya kalau kita mengukur “nilai” hidup berdasarkan cinta kasih. Metta atau cinta kasih universal itu gratis dan tidak akan habis dibagi. Jika kita merasa kurang, Buddha sudah mengajarkan cara mengembangkannya. Jika kita melihat orang lain kurang memiliki cinta kasih, kita bisa langsung mengulurkan cinta kepada mereka. Namun, pandangan bahwa “cinta kasih adalah yang terpenting dalam hidup” akan tenggelam oleh tuntutan-tuntutan duniawi yang mengepung kita dalam bentuk iklan, nyinyiran media sosial, atau bahkan keluarga dan teman-teman kita sendiri yang lebih percaya pada materi. Sekali lagi, komunitaslah yang bisa melindungi kita dari semua itu!
Kalau semua orang di sekitar kita sepakat bahwa cinta kasih dan hati yang baik lebih penting daripada harta yang banyak, kita juga bisa fokus melatih cinta kasih sesuai dengan Dharma. Kita juga tak akan terjebak dalam pandangan bahwa ada orang yang lebih “unggul” atau lebih “inferior” sehingga bisa saling menerima, saling menghargai, dan saling mendukung dengan tulus.
Penutup
Ini semua hanyalah secuil racauan saya yang begitu terinspirasi oleh komunitas ODHA yang digambarkan dalam sebuah drama musikal. Sebagai penutup, saya ingin mengajak pembaca yang budiman untuk membayangkan: betapa banyak hal yang bisa kita pelajari dengan mengenal dan berinteraksi langsung dengan komunitas ODHA di dunia nyata? Atau komunitas-komunitas lain yang hidupnya berbeda dengan kita, yang belum pernah kita kenal sebelumnya? Atau jangan-jangan kita pun masih banyak belajar dari orang-orang yang kita temui setiap hari!
Satu hal yang pasti, agar bisa belajar dan berkembang, kita butuh kejujuran, kerendahan hati, dan kemauan untuk melepaskan segala bentuk prasangka yang kita yakini. Jika pembaca sama seperti saya yang telah melewatkan bertahun-tahun kesempatan untuk belajar karena kesombongan dan ketidaktahuan, jangan larut dalam sesal dan yakinlah bahwa kita belum terlambat. Selama kita masih hidup dan masih berkesempatan bertemu dengan Buddhadharma, mari mulai untuk berubah dan menapaki jalan menuju pencerahan yang sesungguhnya.
“There’s only us, there’s only this.
-”Life Support” dari RENT the Musical
Forget regret, or life is yours to miss.
No other road, no other way, no day but today.”
—
RENT the Musical versi Broadway bisa disaksikan di sini. Mohon doanya agar pertunjukan di Indonesia juga bisa hadir dalam bentuk video maupun audio 😉