oleh BESTRELOAD
Untuk Direnungkan:
Bayangkan kamu dikasih tugas sama dosen.
Kamu: “Deadline-nya kapan, Pak?”
Dosen: “Ya, pokoknya dikerjakan saja dulu.”
Kamu: “Siap, Pak!” (Asyik, karena gak ada deadline, kerjainnya bisa ntaran aja~)
Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berganti, setiap teringat si tugas kamu masih berpikir, “Besok aja, kan belum ada deadline.”
Eh tiba-tiba dosen kirim chat:
Dosen: “Selamat siang, tugas yang saya berikan gimana progresnya? Deadlinenya sore ini ya”
Kamu:
Sebagian orang yang agak rajin mungkin nggak relate sama cerita di atas, tapi sebagian besar dari kita pasti pernah mengalami. Tanpa sadar, seperti itulah sikap kita terhadap praktik Dharma dan kematian. Secara logika tentu semua orang akan setuju bahwa suatu saat kita pasti mati, tapi kita memilih untuk tidak memikirkannya sama sekali dengan alasan, “Saya tidak akan mati dalam waktu dekat.”
Tanpa sadar, pikiranmu teralihkan pada kegiatan sehari-hari dan rutinitas tak berujung, dengan berpikiran “selalu ada hari esok”. Kamu nggak sadar mungkin saja besok adalah waktumu untuk meninggalkan dunia ini.
Kesalahan fatal Itu adalah tidak mengingat kematian
Pada Avatamsaka Sutra bab 4, dijelaskan bahwa kita hidup di periode saat usia manusia berfluktuasi (bisa bertambah dan berkurang). Dalam periode ini, Sang Buddha hanya bisa mengajarkan Dharma ketika usia manusia terus berkurang: dari maksimal usia 80.000 tahun, berkurang terus hingga hanya 10 tahun. Dari kutipan ini saya menyimpulkan bahwa ketika usia manusia lebih dari 80.000 tahun, tidak ada rasa “urgent” untuk melakukan sesuatu yang bermakna karena merasa usia masih panjang. Usia yang terus berkurang pun bisa jadi merupakan indikasi bahwa Dharma diabaikan oleh sebagian besar orang sehingga manusia tidak memiliki cukup karma baik untuk memiliki umur yang panjang.
Artinya, tanpa menyadari ketidakekalan dalam bentuk kematian, seseorang tidak bisa memiliki cukup motivasi untuk berjuang mempraktikkan Dharma. Secara teoritis dan faktual memang seperti itu, sama seperti perumpamaan di atas. Jika kita tidak menyadari bahwa deadline kita semakin dekat, kita akan terus menunda-nunda tugas kita hingga akhirnya lupa sama sekali.
Memangnya “kematian” itu deadline buat tugas apa sih?
Pada artikel sebelumnya, kita sudah memahami bahwa tubuh manusia yang kita miliki sekarang ini sangat berharga.
Kita bisa mencapai kebahagiaan sejati dan bahkan bisa menjadi seorang Buddha dengan tubuh manusia ini. Caranya adalah melatih batin sesuai dengan Dharma hingga kita mencapai tingkatan Sang Buddha. Akan tetapi, ada “deadline” yang harus kita kejar dalam memaksimalkan manfaat dari tubuh manusia kita, yaitu kematian. Kita bisa mati kapan saja dan kehilangan tubuh manusia yang berharga ini. Padahal, proses melatih batin butuh waktu yang panjang dan sebanding dengan usaha kita. Semakin giat kita berusaha, semakin cepat kita mencapainya.
Poinnya adalah, bisa jadi kita tidak memiliki cukup waktu untuk benar-benar memanfaatkan tubuh manusia yang sangat berharga ini. Memikirkan ada deadline kematian yang bisa datang kapan saja akan mendesak kita untuk segera mengerjakan “tugas” kita yang sudah punya tubuh manusia nan berharga ini, yaitu mempraktikkan Dharma.
Nah, apa jadinya kalau kita nggak ingat deadline berupa kematian? Sangat mungkin kita jadi menyia-nyiakan tubuh manusia yang kita miliki dan nggak menggunakannya dengan baik. Dalam kitab-kitab Lamrim (Tahapan Jalan Menuju Pencerahan), kerugian tidak mengingat kematian dibahas secara khusus agar kita dapat dengan merenungkannya dengan mudah. Kerugian-kerugian itu diuraikan menjadi enam poin berikut:
- Gagal mengingat Dharma – Karena nggak ingat ada deadline, kita pun lupa sama apa yang harus kita lakukan. Kita sibuk mengejar harta, reputasi, dan hal-hal duniawi lainnya yang sebenarnya nggak bisa dibawa mati.
- Gagal mempraktikkan Dharma – Walaupun sudah mengingat Dharma, tanpa mengingat kematian, kita akan cenderung menunda-nunda praktik Dharma karena beranggapan bahwa “masih ada besok”
- Tidak mempraktikkan Dharma dengan benar – Dharma memang nggak cuma bermanfaat untuk waktu kita mati saja. Namun, kalau kita nggak mengingat kematian, maka motivasi perbuatan bajik yang dilakukan jadi hanya untuk kehidupan saat ini saja atau tercemar 8 angin duniawi (untung, rugi, kenikmatan, kesakitan, ketenaran, reputasi buruk, pujian, dan celaan).
- Tidak mempraktikkan Dharma dengan sungguh-sungguh – ketika sudah mempraktekkan Dharma dengan benar, jika tidak benar-benar mengingat kematian, setiap kali merasa lelah kita cenderung berpikir, “Lambat sedikit tidak apa-apa karena masih banyak waktu.” Hasilnya? Ya nggak pol dong praktiknya.
- Mengembangkan karakter yang buruk – tidak mengingat kematian menyebabkan kita fokus memuaskan diri di kehidupan ini saja. Kita pun cenderung mengikuti setiap keinginan duniawi dan membiarkan nafsu keinginan, kebencian, ataupun ketidaktahuan menguasai. Pembiaran ini membuat kita membentuk banyak sekali kebiasaan buruk yang berujung pada karma buruk pula.
- Mati dalam keadaan menyesal – pada saat kematian itu benar-benar hadir, kita akan akhirnya sadar bahwa selama ini fokus kita pada harta, ketenaran, kekuasaan, dan lainnya tidak ada gunanya sama sekali. Kita nggak cuma gagal memanfaatkan tubuh manusia kita untuk meraih kebahagiaan sejati dengan praktik Dharma, tapi kita juga melakukan banyak hal yang bikin kita nggak bisa lagi punya tubuh manusia di kehidupan yang akan datang. Gimana nggak menyesal?
Kamu divonis akan mati 2 hari lagi…
Coba bayangkan apa yang akan kamu lakukan ketika mengetahui hal tersebut? Yang pasti pemikiran dan perilakumu akan berubah sepenuhnya. Kamu pasti nggak mau lagi melakukan rutinitas yang diulang setiap hari. Kamu akan benar-benar memikirkan hal apa yang paling penting dan wajib kamu lakukan sebelum kamu mati.
Apalagi kalau kamu sudah tahu bahwa tubuh manusiamu berharga dan bisa mengantarkanmu ke tujuan yang mulia, lebih dari sekadar makan enak dan uang banyak. Kamu akan tetap merasakan emosi, tapi semua itu dilandasi dengan sudut pandang yang sangat berbeda. Kamu nggak akan lagi memikirkan untung-rugi materi. Kamu akan melihat segalanya dengan lebih mendalam dan esensial.
Jadi, mengingat kematian merupakan salah satu praktik Buddhis yang seharusnya kita lakukan setiap saat. Pertama karena memang sifat alami kehidupan bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal, kedua karena memang mengingat kematian memberikan manfaat bagi praktik Dharma pribadi kita.
Sumber:
What’s Makes You Not a Buddhist karya Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche
Pembebasan di Tangan Kita Jilid II karya Phabongkha Rinpoche
Avatamsaka Sutra