“Buddha itu siapa sih?”
Saat mendapat pertanyaan seperti itu, jawaban apa yang kira-kira akan kita lontarkan?
Penggalan pertanyaan di atas mungkin sering kali kita dengar di kalangan masyarakat yang tidak mengenal Buddhisme dan tentu saja hal ini sangat wajar. Ketika kita sebagai umat menjawab, mungkin jawaban kita akan berkisar pada pernyataan bahwa Buddha adalah sesosok manusia biasa yang mencapai pencerahan sempurna lalu menjadi tokoh pemujaan dalam agama Buddha. Ada pula yang menyamakan sosok Buddha dengan Tuhan pencipta karena jawaban tersebut sepertinya lebih tepat. Rasa-rasanya tidak hanya umat non-Buddhis saja yang bingung dengan ‘siapa sesungguhnya Buddha’, tetapi juga kita yang mengaku sebagai umat Buddhis.
Dalam suasana kalut karena tidak yakin dengan siapa, bahkan apa itu sosok Buddha, beberapa dari kita mungkin akan menjawab bahwa Buddha adalah sosok agung yang telah wafat. Ya, Buddha sudah mati karena selama ini kita belajar bahwa Buddha Shakyamuni telah mencapai parinirwana dan kita tidak lagi bisa melihat Beliau dengan kedua bola mata kita. Meskipun sudah tiada, Beliau terus mendapat pemujaan dari kita, umatnya. Hal ini karena umat Buddha berpegangan pada Tisarana sebagai sebuah basis dari keyakinan yang mereka anut. Seperti yang kita ketahui, Tisarana artinya kita berlindung pada tiga permata yakni Buddha, Dharma, dan Sangha. Artinya, kita yakin bahwasanya Buddha merupakan salah satu perlindungan bagi diri kita yang amat rapuh ini. Oleh karena kepercayaan itulah, kita masih melakukan sembahyang, melafal paritta, dan memberikan persembahan saat hari Uposatha di depan altar Buddha. Kalau dengan pemikiran yang demikian, maka timbul pertanyaan baru yang harus dijawab: apa bedanya almarhum Buddha dengan leluhur kita? Toh kita sama-sama melakukan sembahyang untuk mereka dan membuat persembahan saat Ceng Beng.
“Ya, Buddha memang sudah meninggal, namun kita tetap berlindung padanya karena dengan adanya Beliaulah, maka ada Dharma dan Sangha,” begitu mungkin dalih kita. Kalau begitu, mengapa kita harus tisarana, bukannya dwisarana saja? Seharusnya dengan berlindung pada Dharma dan Sangha saja sudah cukup bagi kita untuk terbebas dari lahir, tua, sakit, mati dong? Dalam hal inilah, kita sebagai umat sering kali keliru. Kita dengan yakinnya mengamini bahwa sosok Buddha sudah mati sehingga tidak sepatutnya kita marah saat ada umat lain yang mengatakan bahwa kita adalah penyembah berhala.
Akan tetapi, apakah Buddha benar sudah mati? Sebelum kita tiba pada kesimpulan pertanyaan tersebut, pertama-tama, kita perlu mengetahui terlebih dulu bahwa meskipun Kebuddhaan dicapai dengan tubuh manusia, tubuh Buddha berbeda jauh dengan tubuh kita, manusia biasa. Tubuh seorang Buddha tersusun dari dua hal: pengumpulan kebajikan dan kebijaksanaan yang luar biasa besar. Pengumpulan-pengumpulan tersebut adalah yang selanjutnya kita sebut sebagai “kaya” (tubuh atau dimensi Buddha). Secara umum, tingkat Kebuddhaan sering kali digambarkan terdiri dari dua kaya, yaitu Dharmakaya dan Rupakaya. Pada sutra-sutra Mahayana, tubuh Buddha dikatakan terdiri dari tiga tubuh yakni Dharmakaya dan Rupakaya yang dibagi menjadi dua: Sambhogakaya dan Nirmanakaya. Bahkan ada yang membaginya menjadi empat jenis, yaitu dengan tambahan Swabhawakaya yang merupakan bagian dari Dharmakaya. Secara sederhana, Dharmakaya adalah kualitas kebijaksanaan tertinggi Buddha yang telah merealisasi kesunyataan dengan sempurna dan melampaui konsep.
Rupakaya Buddha, yang secara umum terbagi menjadi Sambhogakaya dan Nirmanakaya, adalah manifestasi Dharmakaya yang mewujud menjadi tubuh fisik Buddha. Dalam berbagai Sutra, Sambhogakaya Buddha adalah tubuh fisik Buddha yang terdiri dari 32 tanda utama dan 80 tanda sekunder yang berdiam di sebuah alam (yang tidak terlalu tepat pula jika kita sebut sebagai alam sebab nirwana adalah kondisi terbebas dari alam kehidupan) bernama surga Buddha Akanistha. Oleh karena itulah, hanya mereka yang telah mencapai level kesucian tertentulah yang dapat melihat Sambhogakaya tersebut sebagaimana tampaknya. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih membumi, salah satu manifestasi Sambhogakaya adalah Buddha Amitabha. Dari satu bagian ini saja, kita bisa menyimpulkan bahwa Buddha masih hidup. Bila diibaratkan, Sambhogakaya layaknya bulan, dan kita yang belum memiliki karma kebajikan berlimpah hanya mampu melihat bayangan dari bulan—yaitu Nirmanakaya. Nirmanakaya merupakan manifestasi Buddha yang mewujud di alam kehidupan untuk menyentuh makhluk secara langsung. Nirmanakaya adalah sosok yang selalu kita sebut dalam setiap Jataka yang kita baca, setiap cerita yang mengisahkan perjalanan Pangeran Siddhartha menjadi seorang Buddha, hingga Buddha Shakyamuni yang mencapai parinirwana. Malah, kematian yang dialaminya sesungguhnya adalah sebuah pertunjukan agung untuk membuat kita memahami bahwa kematian merupakan sesuatu yang tak terelakkan.
Kedua, jika kita memahami kesalingbergantungan, maka seharusnya kita juga meyakini bahwa Buddha masih ada. Sama halnya seperti kita yang beraktivitas—bekerja, sekolah, main—Buddha juga beraktivitas. Akan tetapi, beda dengan aktivitas yang kita lakukan dengan tujuan untuk menyenangkan diri sendiri, aktivitas Buddha sepenuhnya bertujuan membebaskan semua makhluk dari samsara. Selama samsara belum kosong artinya Buddha akan selalu ada. Jikalau Buddha sudah mati, maka kalimat sebelumnya terdengar seperti janji palsu yang dikarang oleh Buddha semasa ‘hidup’. Mengapa disebut sebagai janji palsu? Sebab masih ada banyak sekali makhluk di samsara, namun Buddha sudah tak bisa menolong karena Ia sudah mati. Coba kita bayangkan, saat kita mati, maka siapakah yang beraktivitas? Adakah orang yang melakukan aktivitas tersebut? Tidak ada, bukan? Maka dengan logika yang sama, jika Buddha sudah mati, maka Beliau sudah tidak bisa lagi membebaskan kita dong?
Perihal kontroversi Buddha yang sudah mati vs Buddha masih hidup sesungguhnya tidaklah menguntungkan maupun merugikan Buddha dalam hal apapun. Hal ini karena aktivitas Beliau tidak terbatas dan spontan. Mau kita sadari atau tidak, percayai atau tidak, hingga tulisan ini dimuat pun, Buddha tidak pernah sedetik pun berhenti beraktivitas untuk kita. Aktivitas bajik Buddha sesungguhnya bukanlah sesuatu yang asing. Kita mungkin berpikir bahwa jikalau Buddha benar hidup, maka seharusnya saat ini kita pernah satu atau dua kali menyaksikan pemandangan-pemandangan menakjubkan seperti Buddha terbang atau Buddha berjalan di atas air. Akan tetapi, kita harus mengingat tujuan utama eksistensi Buddha: membawa kita keluar dari samsara. Ketika kematian tokoh dalam drama yang kita tonton mengingatkan kita pada ketidakkekalan, saat itulah Buddha hadir dan memberkahi kita. Jika kita bisa melihat musibah yang kita alami sebagai bentuk karma buruk yang telah berbuah dan memperkuat keyakinan kita akan hukum karma, maka di saat itu pulalah Buddha beraktivitas. Berkah Buddha dapat bekerja dalam diri karena keyakinan kita terhadap hidup atau tidaknya Buddha. Buddha bermanifestasi dalam banyak wujud, namun karma buruk kita begitu tebal sehingga kita hanya bisa melihat guru yang dengan sabar mengajarkan kita Dharma sebagai manusia dan seseorang yang menghibur hati kita sebagai teman belaka. Ingat bahwa Sambhogakaya yang lengkap dengan 32 tanda utama dan 80 tanda sekunder bisa dilihat dengan mata telanjang hanya oleh mereka yang memiliki karma kebajikan yang luar biasa. Kalau kita saja sudah gagal melihat kebajikan yang kita peroleh sebagai bentuk aktivitas Buddha, mustahil kita bisa melihat sosok Buddha betulan.
Pada akhirnya, walaupun tidak berpengaruh bagi Buddha, hidup atau tidaknya Buddha berpengaruh bagi batin kita. Bertisarana secara utuh—meyakini tidak hanya Dharma dan Sangha yang masih ada, tetapi juga Buddha, akan membawa manfaat besar bagi kita. Menghidupkan eksistensi Buddha dalam batin kita, merenungkan kualitas Buddha, kemudian menumbuhkan bahkan sedikit saja aspirasi untuk menjadi Buddha telah membuat kita menghimpun kebajikan yang luar biasa besar dan mempurifikasi karma-karma penghalang-yang telah kita kumpulkan di masa lalu. Jelaslah bahwa melakukan sembahyang pada Buddha berbeda dengan sembahyang pada leluhur. Meyakini bahwa Buddha masih hidup bekerja selayaknya kita percaya bahwa ada udara yang tengah berada di sekeliling kita. Udara tidak kasat mata, tapi toh kita yakin ‘kan kalau dia ada?
Saat ini, kebijaksanaan kita terbatas dan kita hanya bisa memahami sesuatu yang dapat kita persepsikan dengan indra-indra kita. Sebagai contoh, ketika mendengar kata “Buddha”, hal yang terbesit di benak kita pertama kali sering kali adalah sebuah sosok, entah manusia dalam wujud Pangeran Siddharta atau rupang Buddha yang sering kita jumpai di vihara. Di waktu lainnya, kata “Buddha” mengingatkan kita pada suatu tingkatan yang mesti kita capai. Kebijaksanaan kita sering kali hanya mau memercayai sesuatu yang bisa kita lihat, dengar, raba, dan rasa. Oleh karenanya, memahami bahkan satu kata “Buddha” menjadi rumit dan seakan berada di luar jangkauan. Meskipun demikian, hal ini juga menandakan bahwa memahami Buddha tidak sesederhana pemahaman superfisial kita yang menyatakan bahwa “Buddha sudah mati” hanya karena “tubuh”-Nya yang beremanasi sebagai Buddha Shakyamuni dikatakan sudah mengalami parinibbana. Lantas, bagaimana mungkin kita dengan berani mengatakan Buddha sudah tak ada sementara memahami kualitasnya dengan menyeluruh saja adalah hal yang sulit?
Jadi, apakah Buddha masih hidup? Jawabannya simpel saja: Buddha sebenarnya masih hidup, tapi kalau batin kita memutuskan untuk ‘membunuh’ Beliau, maka benarlah pernyataan bahwa Buddha sudah mati.
Referensi:
- “Pembebasan di Tangan Kita” Jilid II oleh Phabongkha Rinpoche
- “Kitab Komentar Buddha-Nature: Mahayana-Uttaratantra-Shastra” oleh Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche