Wabah virus Corona (COVID-19) sudah memakan puluhan ribu korban di seluruh dunia sejak Januari lalu, tapi dampaknya di Indonesia baru benar-benar terasa sekarang. Sejak kasus pertama di Indonesia diumumkan awal bulan lalu, virus terus menyebar dan jumlah pasien terus meningkat hingga mencapai 117 orang per 15 Maret 2020.
Kota Wuhan di Tiongkok tempat virus ini pertama ditemukan sudah dikarantina. Lockdown atau pembatasan aktivitas dan layanan publik dengan berbagai tingkatan juga sudah dilakukan di berbagai negara dari benua Asia hingga Eropa. Berbagai acara besar ditunda atau dibatalkan. Kebijakan ini membuat pola hidup di kota-kota yang menerapkannya berubah drastis. Sekolah-sekolah ditutup dan diganti kelas daring. Orang-orang bekerja dari rumah. Restoran, mal, dan tempat wisata sepi atau bahkan tutup. Social distancing atau mengurangi interaksi sosial digalakkan sebagai solusi untuk menghambat penyebaran virus.
Bagaimana dengan di Indonesia? Pada tanggal 15 Maret, Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan himbauan agar masyarakat bekerja dan beribadah dari rumah. Himbauan tersebut disampaikan bersamaan dengan pengumuman mengenai langkah pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan pemerintah guna menenangkan masyarakat. Pemerintah DKI Jakarta sudah menutup beberapa tempat wisata seperti Monas, Kota Tua, Ancol, dan sebagainya. Sekolah dan universitas ditutup selama 14 hari ke depan. Sebagian besar perusahaan juga mengizinkan pegawainya untuk bekerja dari rumah. Kebijakan-kebijakan penutupan fasilitas dan pembatalan kegiatan ini serupa dengan lockdown yang dilakukan di negara lain yang memiliki kasus outbreak yang cukup berat.
Respon masyarakat Indonesia terhadap himbauan dan penutupan fasilitas umum tersebut ternyata tidak sesuai dugaan. Orang-orang mulai membuat rencana kumpul-kumpul. Bahkan ada yang membuat rencana liburan ke luar negeri, memanfaatkan jatuhnya harga tiket pesawat akibat wabah Corona. Pembatasan aktivitas yang diharapkan menghambat penularan virus diterjemahkan sebagai liburan panjang yang malah dipakai untuk melakukan tindakan yang menambah risiko. Ini hanya satu dari sekian banyak perilaku ajaib warga +62 (terutama yang kelas menengah ke atas) seperti menimbun masker dan hand sanitizer untuk dijual dengan harga tinggi atau panic buying sehingga toko-toko kebutuhan pokok kehabisan stok. Selain, itu pembatasan sarana transportasi malah membuat orang-orang yang masih harus bekerja di luar berdesak-desakan di dalam bus dan kereta sehingga kemungkinan penularan virus meningkat.
Prinsip pembatasan aktivitas masyarakat di rumah masing-masing adalah membatasi interaksi langsung guna mencegah penularan virus antarmanusia. Simulasi di situs Washington Post menunjukkan bahwa pembatasan interaksi atau social distancing ini dapat memperlambat laju penularan virus. COVID-19 sendiri memiliki tingkat kesembuhan yang cukup tinggi. Ketika laju penularan diperlambat, ada cukup waktu dan sumber daya untuk merawat pasien yang terinfeksi hingga sembuh dan membangun imunitas masyarakat. Ini mungkin terbukti efektif di Wuhan dan kota-kota lain di negara maju, tapi sulit diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya terbiasa dengan gaya hidup komunal. Tanpa hari libur pun orang Indonesia memiliki hasrat yang sangat tinggi untuk berkumpul. Ibu-ibu rutin melakukan kumpul arisan, yang muda biasa mencari waktu untuk hang out bersama teman-teman baik itu di mal atau di warung tetangga. Lockdown selama 14 hari ini ibarat kesempatan rekreasi yang sudah lama ditunggu-tunggu. Banyaknya potensi penyakit yang lebih parah dari COVID-19 juga membuat kebanyakan orang Indonesian percaya diri dengan kekebalan tubuh mereka. Akibatnya, interaksi sosial bertambah alih-alih terjadi social distancing. Sebagian orang bahkan berpotensi membawa masuk virus dari negara-negara rawan. Penularan virus pun semakin cepat dan serius,
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Efektif atau tidaknya kebijakan lockdown di Indonesia sebenarnya amat bergantung pada sikap setiap individu. Secara khusus, kita sebagai umat Buddha yang smart seharusnya sudah memiliki “senjata” lengkap untuk menghadapi virus Corona secara personal.
Seorang Buddhis melatih batin agar bisa melihat fenomena sebagaimana adanya dan mengendalikan respon terhadap fenomena tersebut. Dalam konteks Corona, kita bisa mempelajari gejala dan cara penularan virus serta membaca data perkembangan kasus secara objektif. Kita juga tahu bahwa wabah yang melanda begitu banyak orang merupakan buah dari karma buruk kolektif di masa lampau. Dengan demikian, kita tahu bahwa yang perlu kita lakukan pada dasarnya adalah menjaga kesehatan dan melakukan tindakan pencegahan sesuai dengan himbauan yang diberikan.
Seorang Buddhis akan mengenali klesha yang muncul dalam batin kita saat mendengar himbauan lockdown: nafsu keinginan untuk berlibur, rasa girang karena ada kesempatan bermalas-malasan, dorongan untuk menimbun sembako karena takut terisolasi, dan sebagainya. Kita akan menerapkan penawar klesha-klesha tersebut dan dapat mengendalikan diri untuk tetap tinggal di rumah dengan persediaan secukupnya agar lockdown dapat menghambat wabah secara efektif. Waktu luang kita di rumah akan kita gunakan untuk mempurifikasi ketidakbajikan dan memperbanyak aktivitas bajik seperti membaca buku Dharma, merenung dan meditasi, melafalkan mantra, dan sebagainya. Doakan mereka yang terpaksa masih harus beraktivitas di luar agar tidak terjangkit. Terakhir, kita tentunya akan selalu mengingatkan diri untuk menjaga motivasi bajik dan mendedikasikan semua kebajikan yang terkumpul agar wabah COVID-19 di seluruh dunia segera terkendali dan semua yang sakit segera sembuh sehingga dapat kembali beraktivitas seperti sedia kala.
Bingung harus ngapain di rumah? Yuk baca artikel dan buku Dharma berikut untuk memperkaya wawasan dan membantumu mengembangkan batin!
1. Panduan Lengkap Buddhis Menghadapi Corona
2. Buku “Latihan Batin Laksana Sinar Mentari” oleh Namkha Pel
3. Buku “Inilah yang Harus Kuperbuat” oleh Y.M. Biksu Bhadra Ruci