Indonesia memiliki sosok seorang biksu yang tidak kenal lelah dalam mengembalikan kejayaan Buddhadharma di Nusantara. Sosok itu adalah Biksu Bhadra Ruci atau biasa dipanggil ‘Suhu Bhadra Ruci’, seorang biksu yang terkenal akan ketegasan dan disiplin dalam mengajarkan Dharma. Beliau saat ini menjadi Kepala Pusdiklat Jina Putra Tushitavijaya sekaligus menjadi Sekretaris Jendral KASI (Konferensi Sangha Agung Indonesia).
Biksu Bhadra Ruci menghabiskan masa kecil di Tanjung Pinang. Saat akan memasuki SMP, beliau mulai mengenal Buddhadharma dan beraktivitas di kelenteng. Dari situ terlihat bahwa beliau memiliki jodoh yang kuat dengan Buddhadhadma, mulai dari kesukaan beliau membaca sutra atau liam keng, sampai iseng-iseng mengetik Sutra Prajnaparamita.
Setelah lulus SMP, Suhu memutuskan untuk melanjutkan SMA di Semarang. Memang sedari dulu Beliau memiliki kedekatan emosional dengan budaya Jawa, salah satunya adalah kesukaan beliau menonton wayang kulit. Akhirnya Beliau pun menyelesaikan studi akademis dalam ilmu kimia di Universitas Diponegoro Semarang.
Perjalanan kehidupan monastik Suhu dimulai pada tahun 1995 mengikuti pabbaja angkatan ke-9 yang diadakan Sangha Agung Indonesia. Pada saat itu sudah terpikirkan oleh beliau untuk menjadi seorang biksu. Setelah pabbaja, Beliau pertama kali bertemu dengan Dagpo Rinpoche (yang kini menjadi guru utama beliau) di Semarang pada suatu upacara inisiasi, yang kemudian berlanjut ke pertemuan kedua di Surabaya. Sekembalinya ke Semarang, beliau memutuskan untuk berguru pada Y. M. Biksu Nyana Maitri Mahasthavira (Suhu Xue Cing) dan pergi ke Wihara Ekayana Arama untuk menerima penahbisan. Setelah selama sekitar 10 bulan menjalani masa pra-samanera, akhirnya beliau ditahbis oleh Y. M. Biksu Aryamaitri Mahasthavira di Ekayana sebagai samanera.
Pada masa menjadi samanera, Beliau melanjutkan studi filsafat Buddhis di Biara Drepung Gomang, India Selatan selama 5 tahun, pada saat tersebut beliau juga menerima penahbisan tradisi Mulasrawastiwada dari Drepung Tripa Khenzur Rinpoche dengan nama tahbis ‘Lobsang Oser’. Saat belajar di India, beliau menerima begitu banyak ilmu-ilmu berharga yang menurut Beliau seharusnya juga bisa dinikmati umat Buddha Indonesia. Mengapa demikian? Itu karena di zaman Kerajaan Sriwijaya dulu, India memiliki hubungan dekat dengan Indonesia dalam hal ajaran dan penyebaran Buddhisme. Akhirnya pada 26 Juli 2002, beliau menerima penahbisan Biksu penuh dari Yang Maha Suci Dalai Lama XIV.
Bagi Seorang Suhu Bhadra Ruci, yang paling penting adalah mempraktikkan Dharma dengan tulus dan tanpa terganggu urusan ini itu. Meskipun penulis merasa bahwa beliau memiliki segudang prestasi yang bisa dibanggakan seperti ditahbiskan langsung oleh Y. M. S. Dalai Lama XIV, bisa membawa banyak anak muda belajar Buddhadharma dengan serius dan menghasilkan banyak biksu, mempelopori pembangunan biara Sutra dan Tantra pertama di Asia Tenggara, dan sebagainya, Beliau tidak pernah berpikir untuk menonjolkan hal-hal tersebut. Dalam perjalanan panjang beliau sebagai Biksu, banyak pro dan kontra yang Beliau harus hadapi, namun secara pribadi, beliau tidak memddulikan semua itu. Yang terpenting bagi Beliau adalah menghasilkan suatu karya nyata yang dapat bermanfaat bagi kepentingan orang banyak, khususnya bangsa Indonesia.
Suhu Bhadra Ruci memiliki pandangan yang cukup gamblang soal tradisi belajar, terutama soal ceramah. Beliau beranggapan bahwa ceramah Dharma tidak seharusnya hanya berlangsung dalam waktu sebentar dengan topik yang tidak terstruktur. Bagi beliau, jika waktu ceramah hanya dibatasi hanya 30 menit saja misalnya, untuk membangkitkan motivasi belajar yang benar saja tidak cukup. Bagaimana bisa menyampaikan Dharma yang mendalam? Apalagi sekarang orang-orang yang mencari ceramah menyenangkan dan memicu canda tawa sambil duduk di ruangan yang nyaman dan ber-AC.
“Kau yang ikut Buddha atau Buddha yang ikut kau?” demikian ungkapan Suhu Bhadra Ruci yang mengkritik umat Buddha yang mengabaikan tradisi-tradisi baik demi mengutamakan kenyamanan. Bagi beliau, ceramah Dharma adalah sebuah pembelajaran serius, bukan atraksi panggung dari seorang artis K-Pop. Belajar Dharma harusnya membawa perubahan batin dari yang tidak bajik menjadi bajik. Karena berurusan dengan batin, tentu proses belajar ini tidak bisa dilakukan dalam waktu yang sebentar. Hal ini berlawanan dengan pemikiran orang zaman sekarang yang maunya instan dan tidak mau susah.
Kini, Suhu Bhadra Ruci lebih sering beraktivitas sebagai Kepala Biara Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling. Biara ini nantinya akan menjadi tempat pendidikan monastik pertama dan terbesar di Asia Tenggara yang mewarisi silsilah lengkap Sutra dan Tantra yang dapat ditelusuri asal-usulnya hingga Buddha Sakyamuni sendiri. Beliau juga mendirikan organisasi Kadam Choeling Indonesia (KCI), sebuah organisasi yang didirikan Beliau yang secara harfiah memiliki arti ‘Pusat Penyebaran Ajaran Buddha Shakyamuni dari Tradisi Kadam’. Nama ini diberikan langsung oleh Yang Mulia Dagpo Rinpoche Jhampel Jampa Gyatso atau dikenal dengan sebutan Dagpo Rinpoche, sebagai guru utama beliau yang juga dikenali oleh Y. M. S. Dalai Lama XIV sebagai kelahiran kembali Guru Suwarnadwipa Dharmakirti, seorang mahaguru Buddhis dari Kerajaan Sriwijaya.
Karakteristik yang bisa kita lihat dari organisasi besutan Suhu Bhadra Ruci adalah banyaknya anak-anak muda, yang memiliki ketertarikan dan usaha serius dalam belajar dan mendalami Buddhadharma. Di mana lagi kita bisa menemukan 300-an anak muda, bisa duduk, mendengarkan ajaran Dharma, dalam jangka waktu yang cukup panjang, selama 10 hari? Ini adalah gambaran acara retret akhir tahun yang rutin dilaksanakan oleh KCI besutan Biksu Bhadra Ruci. Selain serius mendengarkan ajaran, semua anak muda ini terlihat memakai sarung sebagai atribut wajib dalam mendengarkan ajaran. Kok bisa? Itu karena selain sebagai Biksu, Suhu Bhadra Ruci juga merupakan budayawan yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Beliau menanamkan nilai-nilai tradisi Bangsa Indonesia pada anak-anak muda yang seringkali lebih terpengaruh oleh tradisi barat. Banyak kritik yang dilontarkan beliau terhadap generasi muda yang kehilangan idealisme karena terpengaruh oleh sistem kapitalis dan racun duniawi.
“Apakah kalian bisa menjalani hidup kalian secara total sesuai dengan nilai-nilai Buddhis? Jangan sampai istilah ‘Buddhis’ ini diobral layaknya barang loak,” jelas beliau agar jangan sampai Buddhisme kehilangan makna karena, karena banyak orang-orang yang menggunakan istilah ‘Buddhis’ dengan serampangan. Beliau berpendapat bahwa banyak orang di zaman sekarang tidak bisa secara total menjunjung tinggi nilai-nilai Buddhadharma karena satu hal: pemujaan terhadap materi, yang tanpa sadar telah menjadi kriteria utama ‘kesuksesan’ di masyarakat. Bagi beliau terkadang nilai dan norma yang tertanam di masyarakat tidak absolut ‘kebenarannya’ dan malah merugikan bagi orang banyak. Beliau pun senantiasa mengingatkan murid-muridnya untuk menelasani Sang Buddha sendiri yang melawan norma negatif di masyarakatnya, yaitu feodalisme dan sistem kasta’.
Begitulah sekilas mengenai karakter, nilai-nilai dan ketegasan yang selalu ditampilkan oleh Suhu Bhadra Ruci. Walaupun terkesan agak keras, toh untuk bisa stabil dan konsisten mengarungi arus dunia yang deras memang butuh seperti itu, apalagi untuk menjaga tegaknya Buddhadharma di Nusantara.
Sumber: www.kadamchoeling.or.id
Perihal Sebuah Esai Kehidupan (Stanley Khu)