Memasuki hari terakhir sesi pengajaran Indonesian Lamrim Retreat 2018, Y. M. Biksu Bhadra Ruci kembali mengawali sesi dengan mengajak peserta membangkitkan motivasi dengan mengingat kelahiran tubuh manusia yang berharga ini. Kita seringkali menganggap bahwa konsep aku, diri, batin ini kekal, padahal tidak ada jaminan bahwa kita akan hidup di esok hari. Kita harus menghadapi ketidakkekalan dan kematian. Kondisi ini juga diperparah dengan cara pandang kita yang sudah dicemari oleh karma dan klesha kita. Jadi kita harus segera mencari cara untuk melatih batin kita, paling tidak agar kehidupan masa yang akan datang lebih baik, sampai pada mencapai pencerahan sempurna.
Penderitaan yang diterima seseorang bergantung pada sensitif atau tidaknya batin orang tersebut. Jika batin itu sensitif maka penderitaan yang diterima semakin besar. Banyak orang yang tidak menyadari hal ini karena batin sudah menjadi fosil yang lebih purba dari dinosaurus. Ego kita sudah sangat keras karena telah dipupuk sejak waktu yang tak bermula. Semua ini penyebabnya cuma satu, yaitu sikap mementingkan diri sendiri.
Ini berlawanan dengan apa yang harus kita kembangkan, yaitu Bodhicita. Jika belum bisa mengembangkan Bodhicita, setidaknya kita harus mengikis ego. Ego atau sikap mementingkan diri sendiri itu adalah penyebab semua masalah yang terjadi di dunia. Karena masing-masing orang mementingkan diri sendiri, maka terjadilah friksi, konflik, dan perang. Maka dari itu, semua ritual dan praktik-praktik yang dilakukan di Buddhis semua bertujuan untuk mengikis ego. Suhu Bhadra Ruci memberikan contoh praktik Choe Tag yang dilakukan di Nepal, yaitu praktik memberikan kebahagiaan pada makhluk-makhluk di kuburan seperti setan, gandarva, dsb. Praktik seperti itu memang terlihat keren dan eksotis dari luar, akan tetapi tidak semudah itu dalam melakukannya. Kita seharusnya jangan naif dan sok mempraktikkan ritual-ritual karena kebanyakan dari kita sebenarnya belum siap berhadapan dengan ego kita.
Belajar Buddhadharma dengan serius itu butuh keberanian: berani mengambil keputusan yang berat (misalnya menjadi biksu) dan berani hidup sengsara. Guru-guru Kadampa menyatakan bahwa hidup yang nyaman justru tidak mendukung praktik Dharma. Ajaran Buddha justru bisa mengubah kondisi tragis/buruk untuk meningkatkan kondisi batin. Contohnya adalah biksu-biksu Tibet yang dipenjara oleh pemerintah Cina. Mereka mampu menjadikan siksaan dan penderitaan mereka di penjara menjadi latihan transformasi batin. Bagaimana itu bisa terjadi? Itu karena penderitaan merupakan latihan yang bisa mengikis ego kita. Caranya adalah dengan menerapkan metode “tonglen” atau “terima kasih”, sebuah ajaran Buddhis asli dari Indonesia yang membuat guru-guru besar Buddhis di masa lampau datang ke Nusantara di masa lampau untuk mempelajarinya.
Suhy Bhadra Ruci menjelaskan secara singkat cara visualisasi metode “terima kasih” ini. Saat kita merasa sakit, pikirkan bahwa banyak makhluk yang seperti kita juga menderita sakit yang sama seperti kita sekarang ini (bahkan bisa lebih berat). Kita harus merasa sakit karena jika tidak, kita tidak bisa berempati, tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh makhluk lain tersebut. Setelah membayangkan seluruh penderitaan yang sama dari makhluk-makhluk, kita bayangkan bahwa penderitaan itu berkumpul menjadi satu awan hitam. Bayangkan kita menerima awan hitam ini masuk ke dalam jantung hati kita, berkumpul menjadi satu titik hitam yang terkonsentrasi, kemudian kita berpikir bahwa titik hitam ini disambar petir dan hilang. Praktik ini harus disertai dengan perasaan yang kuat. Jika tidak,praktik ini hanya menjadi sebuah ilusi. Hasilnya tentu tidak mungkin didapat secara instan. Ego kita baru akan terasa berkurang jika kita sudah sering mempraktikkan hal ini.
Sesi kedua yang merupakan sesi terakhir dari Indonesian Lamrim Retreat dilanjutkan dengan pembahasan tentang enam paramita yang harus dipraktikkan ketika kita sudah membangkitkan Bodhicita. Beliau mengemukakan bahwa orang Indonesia seharusnya menjadikan enam paramita sebagai praktik harian. Konsep enam paramita mudah dibahas, apalagi diungkapkan dengan sajak-sajak yang indah seperti yang dijelaskan pada Bodhicaryawatara (Lakon Hidup Bodhisatwa) karya Shantidewa. Meski demikian, praktik ini sulit dilakukan karena dasarnya ini adalah motivasi agung (membebaskan semua makhluk dari samsara). Seseorang haruslah memiliki rasa penolakan samsara dari motivasi menengah untuk bisa mempelajari motivasi agung. Masalahnya banyak dari kita yang masih menyukai dunia dan tidak menganggap bahwa hidup itu penderitaan. Suhu Bhadra Ruci juga memberikan uraian bahwa praktik Bodhisatwa bukan mengendalikan hal-hal eksternal, tetapi mengendalikan batin. Seperti yang diungkapkan pada kata-kata: “Kulit yang bisa menutupi seluruh bumi adalah kulit yang berada di kakiku”, dengan mengendalikan batin sendiri kita bisa mengatasi masalah yang ada di luar diri kita.
Di penghujung sesi, dijelaskan dengan singkat tentang jalan Vajrayana/Tantrayana. Lamrim atau “Tahapan Jalan Menuju Pencerahan” disebut ‘jalan umum’ untuk mencapai Kebuddhaan, sedangkan Vajrayana disebut ‘jalan khusus’. Untuk mempraktikkan Vajrayana, dibutuhkan dasar berupa realisasi akan ke-14 topik Lamrim. Tanpa realisasi penolakan samsara dan Bodhicita, praktik Vajrayana hanya akan menjatuhkan kita ke neraka. Suhu Bhadra Ruci juga memberikan analogi berikut: Vajrayana hanyalah teknik memasak, bahan!6@ masakan adalah 14 topik Lamrim, apinya adalah energi tubuh kita, dan kokinya adalah batin kita. Jadi semua ajaran memiliki peranan pada hasil masakan yang nanti kita akan makan, apakah jadi enak, belum matang, atau gosong.
Di sesi terakhir ini Suhu Bhadra Ruci memberikan sedikit kata penutup. Beliau sangat senang bisa menyelesaikan sesi pengajaran ini karena energi positif yang bisa dihasilkan dari tradisi pengajaran Dharma bisa membawa perubahan positif bagi bangsa Indonesia. Jiwa orang yang tadinya kasar dan penuh ego dapat berubah menjadi penuh welas kasih setelah sekumpulan orang bersama-sama belajar Dharma dengan penuh keseriusan. Beliau pun mengajak seluruh peserta untuk mendedikasikan sesi ini untuk umur panjang Guru-guru, penyebaran Buddhadharma, dan perdamaian dunia.