Samsara adalah penderitaan. Hal tersebut adalah tema besar dari sesi retret yang diberikan oleh Biksu Bhadra Ruci pada tanggal 30 Desember 2017. Entah terlahir di alam rendah maupun alam tinggi, kelahiran merupakan sebuah penderitaan. Parahnya, kita selalu berpikiran bahwa kita tidak mungkin terjatuh ke alam rendah. Salah satu bukti bahwa kita hampir pasti terlahir di alam rendah adalah dengan melihat batin. Lihatlah sifat klesha apa yang paling dominan dan dekat dengan kehidupan keseharian kita. Salah satu cara pertama untuk menghindari kelahiran di alam rendah adalah dengan mengembangkan rasa takut terhadap hal tersebut. Sangat penting untuk kita sadari bahwa ketika pertama kali dilahirkan, jam menuju kematian kita sudah ditekan dan kita hanya menunggu jam itu berbunyi. Setelah itu, kita perlu paham betul dan yakin bahwa kelahiran sebagai manusia merupakan kelahiran yang paling berharga. Oleh sebab itu tidak tepat jika dikatakan bahwa agama Buddha adalah agama yang pesimis. Topik mengenai kematian harus dijadikan motivasi bagi kita untuk mempertahankan kelahiran tersebut. Kematian bukanlah topik yang harus dihindari karena dengan merealisasi hal tersebut, kita bisa menghargai kelahiran kita. Hal ini karena jika kita tidak bisa melihat kelahiran dan kematian sebagai penderitaan, maka akan sulit untuk membangkitkan rasa menolak samsara. Samsara pada dasarnya amat sulit untuk kita tolak sebab batin kita selalu pergi dan melekat pada suatu obyek dan fenomena yang bersifat netral, misalnya uang.
Ketika tiba waktunya ajal menjelang, cobalah bayangkan hal apa yang sebenarnya kita takutkan? Kita acap kali takut akan meninggalkan hal-hal yang saat ini berada bersama dan menjadi milik kita. Kita memikirkan harta, sahabat, sanak keluarga, dan segudang hal lainnya yang berharga bagi kita. Padahal saat mati, hal apa yang bermanfaat bagi kita? Seperti biasanya, Biksu Bhadra Ruci memberikan sebuah perumpamaan untuk menjawab hal tersebut. Manusia ibarat memiliki empat orang istri. Ketika mengantar kepergian kita, istri pertama hanya mengantar peti mati kita hingga ke depan pintu. Sementara istri kedua kita mengantar hingga perempatan jalan menuju kuburan. Untunglah istri ketiga mengantar hingga kita tiba di kuburan. Namun, hanya istri keempatlah yang benar-benar mengikuti hingga kita masuk ke dalam kuburan. Melalui kisah di atas, istri pertama adalah harta dan materi yang selama ini kita kejar. Istri kedua adalah teman-teman yang kita tinggalkan. Istri ketiga merupakan perlambang dari keluarga kita, entah itu ayah, ibu, istri atau suami, anak, dan sanak saudara yang dekat dengan kita. Tak ada satupun dari mereka yang mampu membagi dan menanggung beban kematian kita. Hanyalah istri keempat, yaitu karma dan kebajikan kitalah yang akan menemani kita bahkan hingga kehidupan-kehidupan berikut.
Dalam kaitannya dengan samsara, Biksu Bhadra Ruci mengajak kita untuk merefleksikan hal apa yang sebenarnya membuat kita tidak sadar akan kepastian kematian dan masih terlena dalam samsara. Selama ini, kita selalu berpikir bahwa kita takut akan kondisi yang tidak aman. Kita khawatir kita tidak punya cukup uang untuk menghidupi kita dalam beberapa hari atau beberapa tahun ke depan. Apakah benar demikian? Sebab jikalau kita memang takut akan kondisi yang tidak aman, kita seharusnya lebih takut mati dan jatuh ke neraka dibandingkan memikirkan kondisi keuangan kita saat ini. Kita takut tidak bisa hidup dengan nyaman dibandingkan dengan kehilangan rasa aman. Kita takut kita tidak bisa mendapatkan makanan enak, tempat tinggal nyaman ber-AC. Kita takut tidak bisa memenuhi tuntutan jasmani yaitu tuntutan dari “aku”. Kita sangat takut tidak bisa melayani ego kita. Dengan kata lain, kita tidak memiliki keyakinan yang teguh terhadap hukum karma, Triratna, dan bahkan pada segala hal yang kita praktikkan. Selama ini kita terbelenggu oleh karma dan klesha yang merantai skandha. Jika tanaman bisa tumbuh dengan bantuan pot, maka tempat tumbuh karma kita terletak pada perasaan. Kita butuh pembebasan, yaitu kondisi di mana kita telah terlepas dari belenggu tersebut. Perasaan pembebasan tersebut diibaratkan Biksu Bhadra Ruci seperti saat Indonesia merdeka dari imperialisme penjajah.
Untuk bisa mengembangkan rasa muak terhadap samsara, kita perlu memahami kerugian samsara. Secara umum, samsara memiliki arti mengembara. Samsara bukanlah kondisi yang akan membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Bahkan dalam bahasa Indonesia, kata sengsara diserap dari kata samsara. Agar bisa memperoleh kebebasan dari penjara, narapidana harus terlebih dahulu berkeinginan untuk bebas. Hal ini karena ketika rasa tersebut timbul, maka narapidana akan mencari segala macam cara untuk bisa segera terbebas dari hal tersebut. Begitu pula halnya dalam memperjuangkan kebebasan dari samsara. Kita harus pertama kali mengembangkan rasa muak terhadap samsara. Seperti kata Je Tsongkhapa, kita tidak dapat mencapai aspirasi terbebas dari samsara tanpa merenungkan dukkha.
aspirasi untuk bebas dari samsara datang dari mengetahui kerugian samsara. Untuk mengetahui kerugian samsara, kita perlu menelusuri sebab dukkha dan menapaki jalan untuk menghentikan hal tersebut. Hal ini mirip dengan kondisi kita ketika kita sakit. Saat sakit, kita perlu memahami dan mempelajari sebab-sebab penyakit tersebut dan mencari obat yang tepat untuk menyembuhkan penyakit. Ironisnya, tidak mudah memahami penderitaan samsara oleh karena rasanya yang nikmat.
Seringkah kita berpikir bahwa terlahir di alam surga lebih menyenangkan dibandingkan terlahir sebagai manusia? Padahal ketika tiba waktunya karma kebajikan telah kita habiskan di alam surga, kita akan dengan segera terjatuh ke alam rendah. Jika kita bisa naik, maka akan sangat mudah untuk terjun bebas ke bawah. Hal ini merupakan sebuah contoh untuk menjelaskan cacat samsara karena harus jatuh dari status tinggi ke status rendah. Banyak sekali kita menemukan orang-orang yang mula-mula kaya kemudian jatuh miskin kemudian merasa menderita dan tidak dapat menerima kenyataan. Contoh seperti ini menunjukkan bahwa keadaan kita saat ini bisa dengan mudah berubah pada tiap momen yang berlalu. Kondisi ini terus berulang kali terjadi dan jika yang kita rasakan hanya perasaan lelah tanpa rasa kapok, tidak akan ada perubahan yang bisa terjadi dalam diri.
Cacat lainnya dalam samsara adalah karena sifatnya yang penuh ketidakpastian. Dalam satu waktu, kita mungkin terlahir bahagia namun di kali lain hidup bisa berubah menjadi sangat menyengsarakan. Sebagai contoh, hubungan kita dengan orang tua, teman, musuh, dan lainnya bisa saling berkebalikan dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya. Pada suatu masa, istri yang sangat kita sayangi bisa terlahir sebagai ikan yang kita makan dan musuh yang sangat kita benci bisa terlahir sebagai putra yang kita timang-timang sepanjang hari. Samsara juga cacat karena tidak memberikan kepuasan. Ketika kita mendapatkan 1 Rupiah, kita menginginkan 10 Rupiah. Namun saat kita mendapatkan 10 Rupiah, kita tetap tak bisa merasa puas. Kita terus menerus menginginkan hal yang lebih setiap kali mendapatkan sesuatu.
Kita juga tidak memiliki teman sejati selama di samsara. Tepat ketika kita bangun hingga tertidur, lahir dan mati, manusia selalu menjalani semuanya sendirian. Pada akhirnya, dikatakan dalam teks Lakon Hidup Sang Penerang (Bodhisatwa-caryawattara) apalah guna orang-orang tercinta yang hanya bisa merintangi?
Di samping itu, kita juga harus meninggalkan tubuh kita berulang kali. Tak peduli telah berapa kali terlahir sebagai dewa di surga, kita harus mengalami kelahiran lagi di tempat-tempat seperti neraka. Kita telah terlahir selama tak terhingga jumlahnya di setiap alam kehidupan, namun tak ada satupun yang mampu membawa kita kepada sesuatu yang berkelanjutan. Tak ada satupun obyek yang tidak pernah kita miliki sebelumnya dalam samsara. Namun lagi-lagi, tak ada satupun dari hal tersebut yang mampu kita andalkan.
Saking banyaknya kelahiran telah kita lalui, bahkan samudra-samudra di dunia tak mampu menampung air mata yang tumpah karena patah hati. Masih maukah kita jatuh cinta dan patah hati berulang kali dan terjebak dalam samsara tiada akhir?
Hal penting yang tak boleh luput untuk direnungkan adalah fenomena lahir, tua, sakit, dan mati. Kita sering kali tidak merasa bahwa hal-hal tersebut merupakan penderitaan sebab kita buta. Kita tidak sadar bahwa hal tersebut adalah masalah bagi diri kita. Kita sering mengejar sesuatu yang semu tanpa memahami betul konsep dan karakter hal-hal yang kita kejar. Persepsi dan realita yang kita alami kerap kali memiliki jarak yang jauh sehingga kita selalu menderita dan dikecewakan. Akan tetapi, kita tidak sadar bahwa kita terus dikecewakan sehingga kita terus mengejar hal tersebut bagaikan kuda yang mengenakan kacamata kuda dengan batang yang digantung sayuran di depan matanya. Ia akan terus mengejar sayuran yang ada di depannya tanpa mengetahui bahwa harapan untuk mendapatkannya tak akan pernah tercapai. Lebih dari itu, perasaan senang yang selama ini kita anggap merupakan kebahagiaan pada akhirnya bukanlah kebahagiaan. Hal ini dikarenakan kondisi yang bisa membuat kita merasakan perasaan senang tersebut tidak ajeg. Saat kita duduk terlalu lama di atas bantal duduk, kita merasa pegal kemudian pindah ke sofa. Namun ketika kita beranggapan bahwa kita merasa nyaman duduk di sofa, mulai timbullah masalah lainnya seperti merasa panas dan lain sebagainya. Ketika timbul rasa senang, maka sudah dapat dipastikan ketidaksenangan akan mengikuti. Lantas di mana lagi rasa senang yang tadinya kita rasakan berada?
Berjuanglah dengan sungguh-sungguh dalam mencapai kebebasan samsara di tengah kehidupan yang mengelabui kita dalam segala kenikmatannya. Biksu Bhadra Ruci mengingatkan kita mengenai bagaimana samsara dengan mudahnya menjebak kita bagaikan kukusan bertingkat enam. Kita hanya bisa terus naik, turun, naik, turun, berputar, tanpa pernah bisa benar-benar keluar dari kukusan tersebut. Lihat dan pahamilah esensi samsara dan kehidupan. Ketika tiba saatnya kita bisa merasakan muak terhadap kekayaan dan segala jenis tipu muslihat kebahagiaan samsara, saat itulah kita bisa yakin bahwa kita telah menolak samsara dan meniti jalan menuju kebahagiaan sejati.
Sesi pengajaran dharma Indonesia Lamrim Retreat 2017 dapat diikuti melalui livestreaming.
Untuk mendapatkan akses livestreaming, hubungi: Merry (082163276188)