Apa rasanya mati? Dialog ini saya rasa cukup sering ditanyakan kepada Mickey, tokoh utama dalam film Mickey 17. Hal ini menarik bagi saya; menarik karena tanpa kita sadari sepenuhnya, kita sendiri sering mati dan lupa bagaimana rasanya mati. Bisa jadi bagi yang tidak percaya reinkarnasi, hal ini tentu tidak menjadi permasalahan utama. Namun, bagaimana rasanya terus berputar dalam lingkaran hidup dan mati? Itu adalah pertanyaan utama bila film ini kita hubungkan dengan spiritualitas Buddhis.
“Mickey 17” adalah film karya sutradara Bong Joon Ho yang terkenal sebagai sineas yang kerap menyoroti isu kesenjangan kelas dan lingkungan dalam kemasan dark comedy dan percampuran berbagai genre. Film ini mengikuti perjalan tokoh bernama Mickey Barnes yang mendaftar menjadi seorang “expendable“ dalam upaya menemukan planet baru untuk dihuni manusia. Sebagai seorang “expendable“, Mickey melakukan berbagai tugas berbahaya yang mengancam nyawa. Ingatan Mickey secara rutin diunggah ke dalam semacam mesin penyimpanan dan setiap kali ia mati, Mickey yang baru akan dicetak ulang dan diisi dengan ingatan terakhir yang disimpan di mesin tersebut. Teknologi cetak ulang manusia ini tentunya sempat memicu pro dan kontra. Pemerintah pun memutuskan bahwa cetak ulang manusia diperbolehkan dengan batasan tertentu: terbatas 1 orang “expendable” demi menyukseskan misi mencari planet baru dan hanya boleh dilakukan ketika orang tersebut dipastikan sudah meninggal. Jika sampai ada kejadian ada 2 orang yang sama di satu waktu, salah satunya harus dieksekusi.
Dalam Mickey 17, menariknya, “kelahiran” digambarkan sebagai mesin print 3D manusia berbentuk lingkaran putih dengan aksen warna biru yang mencetak manusia dalam posisi mendatar. Sedangkan, kematian dalam film ini ditunjukkan dengan lingkaran lubang menuju bawah tempat aliran lava panas menanti untuk membakar habis apapun yang dijatuhkan dari atas. Bagi saya, ini adalah penggambaran yang sangat menarik dari pembuat film. Kelahiran digambarkan prosesnya mendatar, seolah menandakan kehidupan kita bisa jatuh ke bawah, naik ke atas, atau netral-netral aja dan mendatar, tidak ada yang tahu. Sebaliknya, bila kita mati, hampir bisa dipastikan kita akan jatuh ke alam rendah, diwakilkan oleh alam neraka panas. Mickey sudah sering kali digambarkan dalam film sudah sering melewati kedua lingkaran ini hidup-mati terus menerus bagaikan dua lingkaran dalam simbol tanpa batas (infinity).

Kejadian tak diinginkan akhirnya terjadi ketika Mickey ke-18 tanpa sengaja sudah dicetak ulang sementara Mickey ke-17 belum dipastikan kematiannya. Di sini kita dapat melihat dengan jelas, walaupun wajah, bentuk badan, golongan darah, dan bahkan ingatan bisa diduplikasi, namun kesadaran tiap individu akan berbeda. Pada akhirnya Mickey ke-17 juga meminta maaf secara batin kepada Mickey-Mickey lain yang telah meninggal; meminta maaf karena selama ini dia menyangka bahwa mereka semua memiliki satu kesadaran, satu jiwa/roh yang sama, padahal tidak demikian.
Kejadian tak terduga yang menghadirkan Mickey 18 ini membuatnya sadar bahwa walau mereka semua sama namun tidak serupa, dan setiap kesadaran itu unik. Ini tentu menarik untuk kita renungkan bahwa tiap kehidupan walau nampaknya sama, tapi tiap kesadaran itu unik adanya. Bahkan dalam pandangan ajaran Buddha kesadaran kita berubah tiap momennya, tidak harus menunggu kematian tiba!

Satu lagi yang menarik adalah adanya kehidupan di luar angkasa. Hampir sebagian besar film baik dari Asia maupun Hollywood selalu menggambarkan bahwa kehidupan di luar angkasa (alien) itu pasti jahat dan berusaha memusnahkan manusia. Namun, tidak begitu jadinya dalam film ini, alien dalam film ini memang digambarkan sebagai makhluk dengan wujud mengerikan, jalannya merayap, dan bisa berkomunikasi satu sama lain dengan bunyi-bunyi aneh. Akan tetapi, alien ini tampak sangat menghargai kehidupan. Bahkan ketika Mickey membutuhkan pertolongan, mereka begitu saja menolongnya dan tidak mengharapkan imbalan apapun. Alien ini memegang prinsip hukum karma versi mereka dengan sangat ketat. Ketika salah satu dari mereka dibunuh oleh manusia, maka mereka juga meminta hal serupa juga dilakukan terhadap manusia. Setelah “karma” itu terbayar, tidak ada rasa dendam atau niat jahat lagi kepada manusia dan bahkan mereka bisa hidup berdampingan.

Pada akhirnya film ini penuh dengan gaya sutradara Bong Joon Ho yg selalu menekankan isu lingkungan hidup ditambah bumbu perbedaan status sosial dan budaya. Namun, kali ini dia juga menyertakan permasalahan etika dan moral dengan aturan yang memang tertulis namun penerapannya dalam keseharian seringkali abu-abu tergantung seberapa besar keuntungan yang didapat oleh penegak aturannya. Film ini jadi semakin menarik bila dikombinasikan dengan pemahaman spiritual, terutama pemahaman Buddhadharma, dan direnungkan oleh tiap individu. Hasilnya tentu beragam, tapi akan menarik bila didiskusikan bersama untuk pemahaman Buddhadharma yang lebih lengkap lagi.
Penulis: Chatresa7