Ada yang baru di Kabinet Merah Putih!
Setelah sekian lama disatukan dalam Kemendikbudristek, akhiran Indonesia punya kementerian khusus untuk urusan kebudayaan. Pemekaran kementerian ini tentu menuai pro dan kontra yang perlu dinilai dengan kritis, tapi berhubung Indonesia sangat kaya akan warisan budaya yang sangat beragam, kita tentu berharap setiap aspek kebudayaan Nusantara bisa mendapatkan perhatian lebih dengan adanya kementerian khusus.
Apa urusannya dengan umat Buddha?
Peradaban Buddhis Nusantara meninggalkan banyak sekali warisan budaya
Ada banyak sekali situs percandian Buddhis yang menyimpan banyak cerita. Museum di berbagai kota pun menyimpan banyak sekali prasasti dan arca. Itu pun baru sebagian, belum termasuk lebih banyak warisan yang tersebar di mancanegara. Namun, pemahaman maupun manfaat yang bisa didapatkan bangsa ini dari peninggalan tersebut hanyalah seujung jari dibanding potensi yang ada!
Penulis bukan ahli sejarah atau arkeologi, tapi penulis yakin ada langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menarik potensi penuh dari warisan budaya Buddhis sebagaimana yang diharapkan leluhur kita!
Ini beberapa usulan yang bisa dilakukan:
Update Pengetahuan
Salah satu koleksi populer Museum Nasional Indonesia ini hingga kini dilabeli sebagai “Bhairava Buddha” dan dikaitkan dengan praktik ritualistik yang mengerikan. Namun, sesungguhnya sudah ada penelitian yang lebih baru dengan rujukan yang lebih luas.
Andrea Acri dan Aleksandra Wenta dalam “A Buddhist Bhairava? Krtanagara’s Tantric Buddhism in Transregional Perspective” (2022) menunjukkan bahwa arca yang didirikan atas perintah Raja Kertanegara dari Singosari ini sebenarnya menggambarkan sosok Mahakala dalam panteon Buddhis. Sang Raja juga tercatat merupakan sosok yang “tidak lalai, jauh dari mabuk-mabukan, bersemangat menjalankan kebijakan, dan mempraktikkan ajaran Buddha demi kesejahteraan negara”.
Kasus Bhairava Buddha ini hanya satu contoh kecil dari sekian banyak kasus-kasus serupa. Contoh lainnya adalah konsep Tridhatu Candi Borobudur yang masih terpampang di situs pengelola, Kemendikbud, dan tampak di rancangan Museum Nasional yang sedang dikerjakan meski telah ramai disangkal oleh tokoh Buddhis maupun peneliti umum.
Ilmu pengetahuan selalu berkembang, begitu juga temuan mengenai warisan Buddhis di Nusantara. Alangkah baiknya jika ada dukungan untuk mempelajari kembali warisan-warisan ini dan memperbarui informasi yang disampaikan ke masyarakat. Kan malu ya kalau kita ketinggalan info soal warisan bangsa sendiri?
Upgrade Perawatan dan Penataan
Sedih sekali melihat arca-arca warisan leluhur digeletakkan begitu saja di sembarang pojokan museum. Arca para Buddha dan Bodhisatwa dibuat oleh leluhur kita, diukir dengan keterampilan, keyakinan, rasa bakti, dan harapan agar anak-cucunya terinspirasi untuk mengembangkan welas asih dan kebijaksanaan ketika melihatnya. Bayangkan betapa sedihnya mereka jika tahu bahwa warisan yang mereka tinggalkan disia-siakan begitu saja?
Selain perawatan, penataan arca-arca ini juga seharusnya bisa dikelompokkan dan disusun berdasarkan konteks asal-usulnya sehingga memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai makna yang terkandung di dalamnya. Kita akan bisa belajar lebih banyak tentang betapa hebatnya leluhur kita dan pesan apa yang mereka titipkan lewat warisan ini.
Merawat warisan budaya fisik, baik arca, candi, ataupun kitab-kitab kuno, merupakan bentuk praktik Dharma bagi umat Buddha sekaligus upaya melindungi dan menghormati sejarah bangsa bagi masyarakat yang lebih luas. Alangkah baiknya jika warisan-warisan ini diperlakukan sebagaimana mestinya: candi sebagai tempat ibadah, arca dirawat dan ditempatkan dengan layak. Jangan pakai indikator pariwisata saja!
Upgrade Pendekatan
Semua bisa merasakan bahwa penelitian maupun publikasi arus utama seputar peninggalan peradaban Buddhis cenderung berfokus pada barang fisik. Kita bisa dengan mudah menemukan informasi tentang umur, bahan, dan gaya seni atau arsitektur suatu candi atau arca Buddhis, tapi hampir tidak ada penjelasan mengenai nilai yang dilambangkan olehnya.
Padahal, barang atau bangunan fisik dibuat semata-mata untuk menyampaikan sebuah pesan. Di balik setiap benda, terdapat warisan budaya tak benda berupa cara leluhur kita memandang kehidupan dan nilai-nilai apa yang mereka junjung. Di situlah pelajaran sesungguhnya terkandung!
Khususnya dalam hal warisan Buddhis, suatu candi atau arca umumnya berkaitan dengan sosok Buddha atau Bodhisatwa yang setiap ornamennya melambangkan kualitas tertentu. Sebagai Buddhis, kita tahu bahwa “pemujaan” bukan sekadar meminta-minta, tapi juga pernyataan tekad untuk mencapai kualitas yang digambarkan dengan medium arca, relief, atau bangunan candi.
Pendiri Candi Sewu ingin rakyat meraih kebijaksanaan sempurna seperti Manjusri. Borobudur adalah buku cetak 3D yang mengajarkan cara hidup harmonis dengan keberagaman agama, gender, dan status sosial. Kompleks Muara Jambi adalah sekolah yang mewariskan ilmu “Terima Kasih”, sebuah metode healing yang menundukkan ego dan menumbuhkan welas asih tertinggi. Semua pengetahuan ini tidak akan bisa digali jika penelitiannya tidak melibatkan umat Buddha atau referensi kitab Buddhis yang lebih kaya.
Alih-alih menggunakan pendekatan kultural-historis atau arkeologi prosesual yang terbatas oleh ciri fisik dan bukti empirik, penelitian bisa dilakukan dengan pendekatan arkeologi post-prosesual yang memungkinkan multi-interpretasi dari kelompok marjinal (dalam hal ini, umat Buddha) & merangkul kajian yang lebih bersifat filosofis. Pendekatan ini bisa diterapkan untuk memperbarui pengetahuan lama maupun melakukan penelitian baru terhadap begitu banyak warisan budaya yang masih terkubur. Tentunya ini hanya bisa dilakukan dengan partisipasi dari banyak pihak & pemangku kepentingan.
Kalau Menteri Budaya yang baru bisa jadi pelopor, fix bakal jadi salah satu menteri paling rizz, +3.000.000 aura!
Referensi:
- Andrea Acri, Aleksandra Wenta – “A Buddhist Bhairava? Krtanagara’s Tantric Buddhism in Transregional Perspective” (2022)
- Johnson – “Terima Kasih: Warisan Budaya Tak Benda yang Masih Terkubur” (2024) – lamrimnesia.org
- Stanley Khu – “Memasuki Rel yang Sama, atau: Upaya Seorang Outsider untuk Memahami Pendirian Arkeologi tentang Pemasangan Chatra di Borobudur Berdasarkan Disiplin Ilmu Arkeologi” (2024) – borobudurwriters.id