Jumat (25/2), Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN) menggelar bedah buku “Menjadi Buddha di Tempat Kerja” dengan tajuk “Top Executive x Young Researcher: Reach The Real Success” via aplikasi Zoom. Acara ini diisi oleh dua orang narasumber, yaitu Rudiyanto Tan, direktur Sampoerna Kayoe dan Shierlen Octavia, peneliti utama Workplace Mental Health Study UI & Wellcome Trust Foundation (UK).
“Buku ‘Menjadi Buddha di Tempat Kerja’ ini memberikan berbagai inspirasi kita tentang pola pikir Buddhis di tempat kerja sehingga menjadikan aktivitas kerja kita menjadi satu praktik latihan batin untuk kita menjadi orang lebih baik,” ujar Rudiyanto mengawali pembahasan.
Rudiyanto mengatakan kalau buku ini memiliki tiga bagian besar, yaitu cara individu menjadi lebih baik, cara menjalin hubungan baik dengan teman kerja dan pimpinan, dan cara menciptakan tempat kerja yang nyaman. Berdasarkan buku tersebut, ia memaparkan empat hal yang perlu dilakukan sebagai seorang pekerja, yaitu motivasi dan tujuan, menerima hidup dengan legowo, orientasi bekerja untuk diri sendiri dan orang lain, serta melatih faktor mental positif untuk mengatasi klesha (kotoran batin).
Pertama, Rudiyanto mengklasifikasi orang dalam sebuah matriks berdasar motivasi dan tujuan dalam bekerja. Orang yang berada di matriks kanan adalah orang yang berpikir tentang kebajikan apa yang dapat dilakukan di tempat kerja untuk banyak orang. Sedangkan orang yang berada di matriks kiri lebih mementingkan motivasi untuk memperoleh uang, kekuasaan, dan reputasi.
Kedua, ada banyak fenomena dalam hidup yang tidak bisa dikendalikan termasuk keberhasilan dan kegagalan. Menurut Rudiyanto, kumpulan orang di matriks kiri tidak bisa menerima kegagalan secara legowo. Biasanya mereka akan menyalahkan orang lain ketika gagal, tidak mau dikritik, dan ingin dipandang apabila berhasil mengerjakan proyek. Lain halnya dengan orang yang di matriks kanan yang bisa menerima kegagalan secara legowo. Mereka akan mengakui kesalahan apabila berbuat salah, mau memperbaiki kesalahan, dan menerima kritik serta saran dari orang lain.
Ketiga, direktur Sampoerna Kayoe menuturkan agar kita bekerja tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain. Menurutnya, pemimpin yang senang melayani orang lain pasti lingkungan kerjanya juga menyenangkan. Sikap pemimpin yang senang melayani orang lain akan berpengaruh terhadap kinerja para staf. Mereka jadi bekerja lebih baik dan terinspirasi untuk mementingkan orang lain.
Keempat, ia bercerita bahwa bila satu tim berhasil mengerjakan proyek dan berhasil untuk kepentingan banyak orang, kemungkinan akan ada satu anggota yang merasa tidak dianggap karena sudah berkorban demi proyek tersebut. Perasaan tidak dianggap ini adalah klesha yang harus diatasi agar tidak menimbulkan amarah yang berujung pada hubungan tidak baik dengan sesama anggota tim.
Di akhir pemaparannya, Rudiyanto berharap agar kita menjadi seperti orang-orang di matriks sebelah kanan yang bekerja tidak hanya fokus pada diri sendiri, tapi juga orang lain. Latihan spiritual dengan membuang klesha juga diperlukan untuk mendukung datangnya kesuksesan.
Kemudian pembahasan dilanjutkan oleh sang peneliti muda, Shierlen Octavia. Ia mengawali dengan pertanyaan tentang pernahkah para Sahabat Lamrimnesia merasakan cemas, pusing, dan tidak mampu saat bekerja. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Shierlen menuturkan bahwa kita harus membayangkan diri kita sebagai Buddha.
“Buddha meski seorang pertapa, tapi Beliau punya karir. Sebenarnya kalau kita lihat, Buddha itu anak CEO kerajaan, tinggal di istana, dan melihat 4 peristiwa penting (orang sakit, meninggal, tua, pertapa), dan kita di tempat kerja sama seperti Buddha melihat berbagai peristiwa.”
Lantas apa yang bisa dipelajari dari Buddha? Lebih lanjut, Shierlen menuturkan kalau kita bisa berganti karir yang membuat tidak menderita, mencari mentor yang bisa membimbing kita ke jalan yang benar, mengenali diri sendiri, dan menjalani apa yang sudah dipilih. Menurutnya, agar bisa menjalani kehidupan kerja dengan baik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu menerapkan jalan tengah dalam pekerjaan, belajar mengolah hal buruk, dan pemaknaan kesuksesan dalam bekerja.
Pertama, menerapkan jalan tengah. Shierlen memaparkan bahwa sering kali kita tidak memahami apa yang kita inginkan dan sering ditipu klesha kita sendiri. Seringkali kita melakukan hal-hal yang keliru, maunya bekerja sendiri tanpa mengandalkan orang lain, atau malah terlampau mengandalkan orang lain. Biasanya kita juga antara terlalu rajin atau terlalu malas saat bekerja. Jadi, sebaiknya kita bekerja dengan mengambil jalan tengah, tidak malas, tapi juga jangan sampai kerja berlebih agar hasilnya maksimal.
Kedua, belajar mengolah buruk. Saat tahu ada hal yang tidak bisa dikendalikan, misalnya keamanan pekerjaan, maka kita harus bisa mengendalikan kemampuan untuk mengamankan pekerjaan dengan cara tidak bergosip dan bekerja secara maksimal, menyemangati orang lain, mengakui kesalahan, dan meningkatkan kemampuan diri. Bisa jadi ada hal buruk lain, yaitu bos yang suka marah-marah. Menurut Shierlen, untuk menghadapi bos yang suka marah, kita harus menganggapnya seperti ibu yang teguh. Seperti ibu yang bisa tegas dan galak untuk mencegah anaknya terjerumus dalam hal-hal buruk, bisa jadi atasan kita memarahi kita karena alasan yang sama.
Ketiga, pemaknaan kesuksesan saat bekerja. Shierlen mengatakan bila hidup harus selaras dengan nilai dan kehidupan. Kita juga perlu membedakan nilai dan tujuan. Nilai itu contohnya seperti bertanggung jawab, menghormati, dan melayani orang lain, sedangkan tujuan misalnya kaya, dapat promosi jabatan, dan dihormati orang lain. Menurutnya, kesuksesan saat bekerja adalah saat kita bisa bekerja sesuai nilai, berkontribusi, dan memaksimalkan potensi dalam bekerja. Dengan demikian, tujuan pun bisa didapat seiring waktu.
Di akhir pemaparannya, Shierlen berpesan agar kita tidak menyamakan uang dengan kebahagiaan.
”Penelitian ini bilang bahwa pendapatan yang tinggi bisa membeli kepuasan hidup, tapi tidak dengan kebahagiaan hidup,” pungkasnya.
Seusai pemaparan oleh kedua narasumber, ada sebuah pertanyaan salah satu peserta yang menarik dan sekaligus mewakili judul buku “Menjadi Buddha di Tempat Kerja”, yakni tentang praktik Buddhis apa yang diandalkan oleh kedua narasumber dalam bekerja.
Shierlen mengatakan bahwa tidak ada praktik Buddhis yang spesifik. Namun, saat belajar tentang bodhicita dan bertemu bos yang tidak baik, ia jadi berpikir bahwa orang itu kurang kasih sayang sehingga menjadi orang yang tidak baik. Terlebih lagi, ia juga berpikir bahwa bisa saja si bos ini adalah ibu kita di kehidupan lampau, sehingga tidak baik bila membalas perbuatan si bos dengan hal yang tidak baik juga.
Rudiyanto menyadari satu hal bahwa lingkungan kerja adalah tempat yang menantang dan bisa memancing pikiran negatif muncul. Karena itu, menurutnya tempat kerja adalah tempat untuk melatih batin agar mawas sehingga klesha tidak muncul. Harapannya, kedepannya bila ada masalah, batin positif dahulu yang muncul.
Dari pemaparan kedua narasumber, bisa disimpulkan bahwa ternyata Buddha juga berkarir sebagai Guru Besar yang menuntun kita pada bebasnya penderitaan. Sepatutnya kita juga menjalani karir yang tidak menyebabkan penderitaan untuk diri sendiri dan orang lain. Semoga apa yang kita lakukan saat bekerja dengan bertanggung jawab dan dengan batin positif dapat membuat kita dan semua orang bebas dari penderitaan.
Penulis: Junarsih