Guo Changcheng adalah seorang penakut, tapi dia juga lebih pemberani dibanding pahlawan mana pun. Kenapa? Karena saat dia sedang sangat ketakutan sekali pun, dia tetap berani untuk menjadi baik! Ini dia review Buddhis serial web Guardian (2018).
Magang jadi “polisi gaib”
“Guardian” adalah serial web produksi Tiongkok tahun 2018 yang mengisahkan unit investigasi khusus yang menangani tindak kriminal yang berkaitan dengan hal-hal gaib.
Selain plot seru dan pemeran utama yang ganteng maksimal, satu lagi hal menarik yang bikin saya lanjut nonton sampai habis adalah anak magang baru di unit investigasi bernama Guo Changcheng (biasa dipanggil Xiao Guo). Kemunculan pertamanya adalah saat dia datang ke kantor & berkenalan dengan anggota tim investigasi untuk pertama kali.
Dari satu adegan itu, saya dibuat penasaran tentang bagaimana dia bisa terus bekerja di situ. Kenapa penasaran? Ya jangankan ketemu kriminal ajaib, baru ketemu rekan kerja yang “tidak biasa” saja, dia sangat ketakutan sampai pingsan berkali-kali!
Meski menerima Xiao Guo karena dia keponakan wakil menteri, bos tim investigasi (bintang utama serial ini) juga tidak memanjakan pegawai barunya. Xiao Guo dipasangkan dengan mentor paling dingin dan galak serta diberi tugas yang nggak bisa dibilang mudah. Dalam situasi normal saja Xiao Guo tergolong orang penakut. Sekarang, dia harus berurusan dengan mayat dan pembunuh berkekuatan super.
Berani Berbuat Baik
Xiao Guo mungkin takut akan banyak hal, tapi dia lebih pemberani dibanding banyak orang (termasuk saya) dalam satu hal: dia berani berbuat baik!
Pemuda ini paling nggak tahan melihat orang kesusahan. Ketika dia bertemu kakek-kakek yang tersesat, dia nggak bisa nggak membantu walau terancam terlambat ke kantor. Meski gemetaran dan tergagap-gagap, dia selalu berusaha menghibur korban & orang-orang terdekat mereka dalam setiap kasus yang dia temui. Meski ketakutan setengah mati, dia tidak pernah membenci walau dikhianati. Dia bahkan bisa memahami dan ikut bersedih dengan penderitaan yang membuat si pelaku melakukan kejahatan.
Dari ringkasan saya di atas, mungkin Xiao Guo terkesan seperti tokoh utama sinetron yang superbaik dari sononya, yang tertindas tapi tetap sempurna tak bercela. Namun, kalau sahabat nonton serialnya langsung, sahabat akan melihat bahwa Xiao Guo nggak melakukan itu semua dengan gampang.
Xiao Guo punya krisis kepercayaan diri yang berat dan selalu merasa dirinya nggak berguna, nggak bisa apa-apa. Meski nggak selalu dengan maksud melukai, perlakuan orang-orang di sekitarnya pun mendukung pemikirannya itu. Bahkan di situasi yang tergolong aman pun dia masih terlihat ragu-ragu. Meski begitu, pada akhirnya dia tetap memutuskan untuk bertindak demi kebaikan orang lain semampunya.
Melihat Xiao Guo yang seperti itu, saya jadi bercermin lagi kepada diri saya sendiri. Berapa kali saya terpikir ingin menolong orang tapi nggak jadi? Ketakutan saya mungkin lebih banyak dan lebih nggak berdasar dibanding ketakutan Xiao Guo pada adu jotos dan hal-hal gaib: takut ditolak lah, takut dikira pansos lah, takut dikibulin lah. Xiao Guo juga merasakan ketakutan yang sama, tapi dia nggak batal bertindak dan dengan rela menerima setiap kerugian yang mungkin dia alami saat dia memutuskan untuk menolong orang.
Saya mungkin lebih berani kalau berhadapan dengan mayat atau makhluk gaib, tapi kalau soal berbuat baik, Xiao Guo jauh lebih pemberani dibanding saya.
Berani Peduli
Meski dibentak goblok berkali-kali, ada kalanya Xiao Guo tampak sama bijaknya dengan tokoh-tokoh lain, atau bahkan lebih. Ketika memikirkan ulang semua kasus-kasus yang telah dia lewati, termasuk kasus tragis yang menjatuhkan banyak korban jiwa sekaligus membuat dia merasakan sakitnya dibenci orang yang selama ini dekat dengannya dan sering dia tolong gara-gara satu kesalahpahaman, dia bisa menyadari kenapa semua tragedi itu bisa terjadi.
Secara sederhana, Xiao Guo menunjukkan satu hal paling mendasar dari ajaran Buddha tentang cara meraih kebahagiaan tertinggi. Untuk bisa mengatasi penderitaan, Buddha mengajarkan bahwa kita perlu mengurangi sikap mementingkan diri sendiri. Semua latihan dan penalaran dalam Dharma tujuannya ya untuk itu.
Buddha mengajak kita untuk mengikis ego kita pelan-pelan, memperbaiki pola pikir kita dari yang keliru mengira ada “aku” yang berdiri sendiri dan lebih penting dari “yang lain” menjadi sadar bahwa semua makhluk dan fenomena di dunia ini saling bergantung. Dari situ, kita akan menyadari bahwa kebahagiaan semua makhluk sama dengan kebahagiaan kita dan kita jadi mau memperjuangkannya. Buddha bisa jadi seorang Buddha karena berangkat dari situ dan sekarang Beliau sedang berusaha mengajari kita cara untuk sampai ke sana.
Dengan kemampuan kita yang terbatas seperti sekarang, hal paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah sesekali berhenti mikirin diri sendiri barang sejenak dan mengalihkan pikiran kita untuk peduli sama orang lain. Persis seperti yang dilakukan Xiao Guo.
Rasa takut ditolak, takut ditipu, dan berbagai ketakutan lain yang muncul saat kita mau peduliin orang lain ada karena kita tanpa sadar merasa kenyamanan kita lebih penting dibanding keselamatan mereka. Kalau tawaran kita untuk menolong ditolak, memang siapa yang rugi? Cuma ego kita yang terluka kan? Toh kita nggak bakal mati. Kalau kita menolong, eh ternyata yang kita tolong penipu, siapa yang rugi? Kita bahkan bisa mensyukuri kerugian itu sebagai karma buruk yang berbuah sekarang, jadi penderitaan kita di masa depan sedikit berkurang.
Baca juga: Yakuza Like A Dragon – Privilege Itu Adalah Kebaikan Hati
Mulai dari yang gampang dulu
Tentunya Buddha juga nggak akan menganjurkan kita untuk tiba-tiba menyumbangkan seluruh harta benda ke penipu modus mama minta pulsa. Kebijaksanaan kita dalam menilai situasi dan kapasitas kita untuk menampung orang lain di dalam hati harus ditingkatkan sedikit demi sedikit. Tapi, kalau kita tunggu kebijaksanaan kita sempurna baru mau peduli sama orang, kapan kita bisa maju? Welas asih kita akan sulit terasah. Hati kita bisa-bisa keburu beku. Kalau sudah begitu, buat apa banyak ilmu?
“Pada awalnya, Sang Penuntun menyarankan derma sayuran dan sebagainya. Setelah terbiasa, kelak seseorang akan mampu berderma dagingnya sendiri.”
-Arya Shantidewa (dikutip dari “Lakon Hidup Sang Penerang”)
Untuk mulai berlatih peduli itulah kita perlu keberanian berbuat baik. Berani berbuat baik versi Xiao Guo bukanlah nekad menantang penjahat berkelahi atau terjun ke teritori musuh seorang diri. Berani berbuat baik versi Xiao Guo adalah rela dibentak bos karena terlambat demi menolong kakek yang tersesat atau rela malu dan tergagap-gagap demi menghibur orang yang berduka. Dari keberanian-keberanian kecil itu, Xiao Guo dikisahkan mampu menjaga hati yang baik dan berani di hadapan kesulitan yang berkali-kali lipat lebih besar, lebih berbahaya.
Kalau kita juga mulai berani berbuat baik mulai dari hal-hal kecil seperti Xiao Guo dari sekarang, suatu saat kita juga pasti bisa berani melakukan kebaikan yang lebih besar. Mengakhiri penderitaan kita dan semua makhluk pun akan berhenti jadi sekadar wacana.
—
Serial web “Guardian” bisa ditonton di sini.
Penulis: Samantha J.