oleh Samantha J.
“Bhinneka Tunggal Ika”, “Kebhinnekaan”, dan “Toleransi” adalah jargon yang banyak muncul ketika kita membahas negara kita tercinta, Republik Indonesia. Apalagi kita baru-baru merayakan Hari Kemerdekaan. Jargon ini semakin sering diulang-ulang. Namun, apakah kita benar-benar tahu maknanya dan menerapkannya dalam keseharian kita?
Jargon “Kepak Sayap Kebhinnekaan” dari salah satu politisi Nusantara berujung jadi guyonan netizen
Agar bisa benar-benar memahami esensi dari “Bhinneka Tunggal Ika”, saya rasa kita tidak seharusnya berhenti pada definisi harfiah “berbeda-beda tapi satu jua”. Toh meski kita sudah dicekoki dengan definisi itu sejak SD sampai sekarang, kenyataannya masih ada yang demo melarang pendirian gereja atau malu-malu beribadah karena “takut menyinggung mayoritas”. Kita perlu mengupas lebih dalam sejarah istilah “Bhinneka Tunggal Ika” itu sendiri dan konsep luar biasa yang melatarbelakanginya; sebuah konsep penting dalam Buddhisme yang dulu merupakan inti praktik penghuni Nusantara zaman dahulu kala, yaitu bodhicita.
Kakawin Sutasoma & Jataka Mala
Kita semua tahu bahwa ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” berasal dari kitab atau Kakawin Sutasoma. Kitab ini ditulis oleh Mpu Tantular, seorang praktisi Buddhis dari Kerajaan Majapahit yang kala itu utamanya bercorak Hindu. Beliau mengadaptasi kisah-kisah dalam Jataka, salah satu literatur klasik Buddhis yang mengisahkan berbagai kehidupan lampau Sang Buddha saat masih berlatih mengumpulkan paramita sebagai Bodhisatwa.
Kisah jataka bisa ditemukan di berbagai kitab suci Buddhis. Di Kanon Pali atau Tipitaka dari tradisi Theravada, Jataka merupakan bagian dari Khuddaka Nikaya dalam Sutta Pitaka. Secara khusus, kitab Jataka yang dikenal di Nusantara dan dirujuk Mpu Tantular adalah Jataka Mala (Untaian Kisah Kelahiran) karya Aryashura seorang cendekiawan & penyair Buddhis dari Biara Universitas Nalanda. Awalnya Aryashura bukan seorang Buddhis, namun Beliau menjadi yakin dengan validitas Buddhadharma saat bertemu dengan Aryadewa, murid dari filsuf besar dari abad ke-2 M, Arya Nagarjuna, di Nalanda. Aryashura pun mencurahkan seluruh realisasi Dharma sekaligus kepiawaiannya menggunakan kata-kata untuk menyusun Jataka Mala di akhir hidupnya.
Dalam kitab ini, terdapat 34 kisah Bodhisatwa, masing-masing kisah mencakup satu kehidupan Beliau sebagai manusia, hewan, atau makhluk-makhluk lainnya. Di kehidupan tersebut, Sang Bodhisatwa melakukan aktivitas mengagumkan yang melambangkan praktik kemurahan hati (dana), disiplin moral (sila), kesabaran (ksanti), upaya bersemangat (viriya), ketenangan batin (dhyana), dan kebijaksanaan (prajna) demi menolong makhluk lain.
Jataka Mala yang sarat nilai bajik ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya Nusantara berabad-abad sebelum Mpu Tantular menjadikannya inspirasi untuk menyusun Kakawin Sutasoma. Buktinya adalah ukiran Jataka Mala di Candi Borobudur yang didirikan sekitar abad ke-9 M dan masih bisa kita lihat hingga hari ini.
Relief Sutasoma di Candi Borobudur
Sutasoma Jataka
Mpu Tantular memilih Pangeran Sutasoma dari Sutasoma Jataka sebagai “tokoh utama” dalam kitab yang Beliau susun. Sutasoma Jataka mengisahkan kelahiran Bodhisatwa sebagai Pangeran Sutasoma yang merelakan dirinya ditumbalkan kepada raksasa oleh pemakan manusia bernama Kalmashapada demi menyelamatkan negerinya.
Ketika Pangeran Sutasoma ditangkap oleh Kalmashapada, Sang Pangeran tengah menerima pengajaran Dharma dari seorang Brahmana. Sebelum mempersilahkan Kalmashapada memakan dirinya, Pangeran memohon agar diberi waktu untuk membalas jasa Sang Brahmana yang telah memberinya bait Dharma nan berharga. Kalmashapada yang ingin menguji kejujuran Pangeran Sutasoma pun mengizinkannya pergi. Dia tahu bahwa Pangeran Sutasoma bisa jadi menggunakan kesempatan itu untuk kabur dan sudah siap menyergap, tapi ternyata Pangeran Sutasoma benar-benar kembali menyerahkan diri setelah selesai memberikan persembahan kepada gurunya.
Kejujuran dan keberanian Pangeran Sutasoma begitu menyentuh Kalmashapada sehingga ia tidak langsung memakan Sang Pangeran. Ia malah penasaran dengan ajaran macam apa yang diterima Sang Pangeran dari Brahmana hingga Beliau berani memohon pada raksasa yang terkenal bengis dan mampu menepati janjinya untuk kembali dan menjadi tumbal untuk raksasa.
Ilustrasi Wayang Sutasoma
Dari titik itu, setelah memastikan ketulusan Kalmashapada yang ingin mendengarkan Dharma darinya, Pangeran Sutasoma pun memberikan bait Dharma yang mengubah hidup Kalmashapada. Ia menerima Pangeran Sutasoma sebagai gurunya, menghormatinya, berhenti memakan manusia dan melakukan kejahatan, serta mulai hidup sesuai dengan Dharma.
Adaptasi Mpu Tantular
Kisah dalam Kakawin Sutasoma tidak sama persis dengan isi Sutasoma Jataka. Mpu Tantular menggabungkan kisah Pangeran Sutasoma dengan beberapa kisah Jataka lain, misalnya Pangeran Maitribala yang mengorbankan diri menggantikan anak harimau yang hampir dimakan ibunya sendiri. Dalam Kakawin Sutasoma, kejadian ini menjadi bagian dari perjalanan Pangeran Sutasoma. Jadi, Pangeran Sutasomalah yang bertemu harimau betina kelaparan yang hendak memakan anaknya, lalu karena tergerak rasa welas asih yang tak tertahankan, mempersembahkan dirinya untuk dimakan agar anak harimau selamat.
Kisah Pangeran Sutasoma menaklukkan Kalmshapada si Pemakan Manusia dalam Sutasoma Jataka disampaikan kembali dengan sedikit berbeda oleh Mpu Tantular. Beliau mampu menyesuaikan penuturan Beliau agar bisa diterima oleh seluruh masyarakat Majapahit yang waktu itu kebanyakan terdiri atas penganut Buddhisme dan Siwaisme. Pangeran Sutasoma yang mewakili aspek Buddhis dikisahkan berinteraksi langsung dengan raksasa yang memerintahkan Purusada (nama Kalmashapada dalam Kakawin Sutasoma) mengumpulkan pangeran untuk ditumbalkan. Raksasa ini dikisahkan oleh Mpu Tantular sebagai Bhatara Kala dan mewakili aspek Siwaisme.
Kehadiran elemen Buddhisme & Siwaisme dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular inilah yang menyertai kemunculan ungkapan yang belakangan menjadi semboyan negara kita, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”.
Kitab Lontar Sutasoma abad XIV karya Mpu Tantular
Ungkapan ini bisa ditemukan dalam Kakawin Sutasoma pada pupuh 139 bait 5:
Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Bodhicita, Esensi “Bhinneka Tunggal Ika”
Jika kita benar-benar memahami Jataka Mala dan Kakawin Sutasoma, kita pasti bisa melihat bahwa ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam bait tentang kaitan Buddha dan Siwa ini membawa pesan yang sama dengan keseluruhan Kakawin Sutasoma maupun Jataka Mala.
Kita tahu Jataka berisi kisah perjuangan Bodhisatwa yang lahir dan mati berulang kali, menjalani ribuan kehidupan demi menyempurnakan diri agar bisa menjadi seorang Buddha demi mengakhiri penderitaan semua makhluk. Nah, apa yang menjadi “bahan bakar” utama yang mendorong Bodhisatwa untuk berjuang sedemikian kerasnya? Bahan bakar itu tak lain tak bukan adalah bodhicita, dan bodhicita inilah yang tergambar dari ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Y.M.S. Dalai Lama XIV dalam salah satu pengajaran Dharmanya pada pelajar Indonesia mendefinisikan bodhicita sebagai “sikap altruistik yang mementingkan makhluk lain”. Bodhicita juga dapat dipahami sebagai sebuah tekad luar biasa untuk secara aktif menolong semua makhluk agar bebas dari penderitaan.
Berkat adanya bodhicita, seorang makhluk yang biasa-biasa saja, penuh dengan sikap egois, tamak, dengki, dan berbagai kekurangan lainnya mampu menanggalkan sikap mementingkan diri sendiri dan berjuang menyempurnakan welas asih dan kebijaksanaan hingga menjadi Buddha–yang tersadarkan–agar bisa mempersembahkan kebahagiaan tertinggi pada semua makhluk tanpa terkecuali. Ketika telah merealisasikan bodhicita, makhluk itu pun menjadi seorang Bodhisatwa, tokoh utama dalam kisah-kisah Jataka. Dengan bodhicita, mereka sanggup melakukan tindakan dan pengorbanan luar biasa demi kepentingan makhluk lain yang digambarkan dalam Jataka.
Bodhicita ini adalah pintu memasuki Buddhisme Mahayana yang menjadi corak utama peradaban Buddhis Nusantara pada masa kejayaannya. Guru Atisha Dipamkara Srijnana, pandit besar dari India, berlayar selama belasan bulan ke Nusantara demi menerima ajaran tentang bodhicita yang pada masa itu hanya dimiliki oleh Guru Dharmakirti, seorang mahaguru yang berdiam di Suwarnadwipa. Selain Kakawin Sutasoma, banyak peninggalan sejarah lain seperti Prasasti Talang Tuo, Candi Borobudur, dan Kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang mengandung konsep bodhicita. Jadi, dapat dikatakan bahwa bodhicita adalah ajaran khas Nusantara yang dipraktikkan oleh leluhur kita pada masa itu.
Kaitan langsung antara bodhicita dan ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” ada pada tahapan pertama cara membangkitkan bodhicita, yaitu melatih keseimbangan batin. “Keseimbangan” di sini artinya adalah memandang semua makhluk setara–sama-sama tidak mau menderita, sama-sama ingin bahagia, dan sama pentingnya. Mengembangkan bodhicita berarti secara aktif melatih diri untuk memandang semua makhluk, apapun sukunya, agamanya, warna kulitnya, bahkan spesiesnya, sebagai satu dan setara–sama-sama tidak mau menderita dan ingin bahagia. Bukankah ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” alias “Berbeda-beda tapi Satu Jua” sangat menggambarkan cara pandang tersebut?
Nilai luhur ini tentunya tidak hanya bermanfaat untuk Indonesia yang menjadikan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan. Bagi kita sebagai individu, bodhicita mengikis sikap mementingkan diri sendiri yang merupakan akar penderitaan kita. Dengan kata lain, dengan mengembangkan bodhicita, kita akan semakin bahagia. Bagi dunia, ketika semua orang bisa melihat satu sama lain setara dan saling tolong-menolong, perdamaian dunia tentu akan tercipta.
Praktik Bodhicita, Praktik Bhinneka Tunggal Ika
Berangkat dari kaitan “Bhinneka Tunggal Ika” dan bodhicita yang baru saja dijabarkan, kita bisa menjawab pertanyaan tentang bagaimana “Bhinneka Tunggal Ika” seharusnya dipraktikkan. Jawabannya bisa kembali kita temukan di Kakawin Sutasoma dan Jataka Mala, yaitu dengan berperilaku seperti Bodhisatwa Sutasoma yang setiap tindakannya berlandaskan pada bodhicita.
Menilik dari sejarahnya, Kakawin Sutasoma adalah kitab pemersatu Nusantara di bawah bendera Majapahit pada masa itu. Kitab ini juga disusun sebagai harapan agar raja pada saat itu dapat memberikan manfaat lahir-batin bagi seluruh rakyatnya, tidak peduli apa agama yang mereka anut. Tidak mengherankan jika sosok Pangeran Sutasoma yang juga merupakan seorang penguasa dipilih secara khusus untuk menjadi teladan bagi para raja.
Selain mementingkan semua makhluk tanpa membeda-bedakan, Pangeran Sutasoma juga dikatakan memiliki 16 kebajikan yang menyerupai 16 fase rembulan, diantaranya berperilaku baik, terpelajar, murah hati, belas kasihan, kesabaran, kesederhanaan, dan sebagainya. Jika raja memiliki semua kualitas ini, tentu kerajaan yang ia pimpin akan sejahtera.
Meski kita bukan seorang raja atau presiden, kita juga merupakan “pemimpin”, setidaknya bagi diri kita sendiri. Lebih jauh lagi, karena Indonesia kini adalah negara demokrasi berkedaulatan rakyat, dapat dikatakan bahwa setiap warga negara punya peran dalam “memimpin” bangsa. Persatuan bangsa kita yang beraneka ragam ini juga tentunya ada di tangan kita sendiri. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak meneladani Pangeran Sutasoma dan menerapkan “Bhinneka Tunggal Ika” sebaik-baiknya.
Jika kita benar-benar ingin mengamalkan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam hidup kita, kita harus bisa memandang semua orang yang berbeda-beda sebagai makhluk yang setara, sama-sama tidak mau menderita dan ingin bahagia. Dari situ, kita membangkitkan welas asih dan berempati pada mereka dan tidak melihat mereka sebagai “yang lain”, bahkan pada orang-orang yang tampaknya memusuhi atau mengancam kita.
Tidak berhenti di situ, kita juga harus menggunakan kebijaksanaan kita untuk memahami orang lain, sama seperti Pangeran Sutasoma yang senantiasa memimpin dan menolong orang lain dengan bijak. Ketika berhadapan dengan orang yang tidak kita kenal atau berbeda dengan kita, kita perlu membuka mata. Adakah kesamaan antara mereka dengan kita? Adakah perbedaannya? Bagaimana cara terbaik untuk berkomunikasi dengan mereka?
Itulah yang dilakukan Pangeran Sutasoma saat berhadapan dengan berbagai situasi sulit–entah itu berhadapan dengan rakyatnya sendiri, harimau, atau bahkan dengan raksasa yang hendak memakannya. Beliau tidak gentar di hadapan orang yang terang-terangan mengancam dirinya seperti Kalmashapada. Beliau tetap teguh memegang prinsipnya, yaitu menghormati guru yang telah memberikannya Dharma serta menjunjung kepentingan makhluk lain di atas keselamatan dan kenyamanan pribadinya. Beliau juga tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut ataupun benci. Dari situ, Beliau bisa membuat Kalmashapada menghormati dan bahkan belajar darinya.
Kita memang belum menjadi makhluk agung sekelas Pangeran Sutasoma. Namun, dengan welas asih yang tulus, kebijaksanaan memahami perbedaan, dan keteguhan memegang prinsip, kita seharusnya bisa tetap saling belajar dengan orang-orang yang berbeda dengan kita dan menjalin hubungan kokoh yang diwarnai sikap saling menghormati dan menghargai antara satu sama lain. Pangeran Sutasoma saja bisa menjalin hubungan dengan raksasa yang tadinya ingin memakannya, masa kita tidak bisa menjalin hubungan dengan saudara-saudara kita yang hanya beda agama, suku bangsa, atau pendapat di media sosial?
Perbaikan cara pandang yang didorong oleh bodhicita tentunya juga membawa kita pada konsep lain yang tak kalah agung, yaitu ahimsa atau “tanpa kekerasan”. Ketika kita bisa melihat makhluk lain setara dengan diri kita sendiri, kita tentu tidak akan tega melihat mereka menderita, apalagi sampai menyakiti mereka secara langsung. Rasanya akan sama seperti kita menyakiti diri sendiri. Begitu pula Pangeran Sutasoma memilih untuk mengorbankan dirinya untuk dimakan alih-alih berperang. Dengan cara yang sama, ketika kita benar-benar meresapi “Bhinneka Tunggal Ika” sampai ke makna terdalamnya, kita akan berhenti menyakiti siapapun dan bisa hidup damai tanpa kekerasan.
Cita-Cita yang Belum Terwujud
Setelah membahas tentang cara “Bhinneka Tunggal Ika” seharusnya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, sekarang saatnya kita kembali ke realita. Apakah semboyan ini sudah benar-benar direalisasikan sebagaimana mestinya?
Meski jargon “toleransi” dan “Bhinneka Tunggal Ika” terus diserukan berulang kali, disertai dengan pertunjukan formalitas seperti parade tari dan baju adat atau kewajiban menggunakan sapaan enam agama di acara resmi, kenyataannya diskriminasi masih ada di sana-sini. Orang-orang Papua masih sering dibatasi aktivitasnya gara-gara label “pemalas”, “pemabuk”, atau “terbelakang”. Orang-orang Tionghoa masih sering dianggap orang asing walau sudah berabad-abad hidup di Indonesia baik dalam perlakuan langsung atau dalam pembuatan dokumen negara. Pendirian rumah ibadah dari agama yang berbeda dengan agama mayoritas setempat dipersulit. Trauma masa lalu pun membuat kelompok minoritas menundukkan kepala dan berpura-pura “sama” dengan mayoritas “toleransi”.
“Indonesia Nasrani” masuk kategori ras di aplikasi resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Minimnya pengetahuan terhadap esensi dari “Bhinneka Tunggal Ika” membuat masyarakat Indonesia cenderung menutup-nutupi perbedaan, bukan memahami perbedaan. Buktinya adalah yang terlihat berbeda seperti orang Papua dan orang Tionghoa masih mengalami diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kelompok minoritas yang memilih untuk menyembunyikan perbedaannya membuat yang mayoritas salah kaprah tentang mereka, atau bahkan makin cemas. Kecemasan inilah yang menjadi bahan bakar bagi kelompok intoleran & ekstremis untuk menyebarkan bibit kebencian dan membenarkan opresi terhadap kelompok lain. Jika keadaannya terus begini, tinggal tunggu waktu saja sampai Indonesia senasib dengan saudara-saudara kita di Afghanistan.
Praktik “Bhinneka Tunggal Ika” di Indonesia masih jauh dari sempurna. Namun, meski masih ada berbagai hambatan dan batasan, secara resmi kita masih memiliki kebebasan berpendapat yang jauh lebih baik dibanding 30 tahun silam. Sudah bukan waktunya kita menundukkan kepala dan membatasi “Kebuddhisan” kita yang sesungguhnya merupakan nilai kebaikan universal warisan nenek moyang kita untuk seluruh bangsa Indonesia. Umat Buddha sebagai penganut paham yang mendasari “Bhinneka Tunggal Ika” seharusnya memiliki tanggung jawab lebih untuk mendalami asal-usul dan makna terdalam di balik semboyan ini, mengamalkannya, dan memperkenalkannya kepada semua orang.
Agar kita bisa melakukan hal itu, kita tentu perlu semakin giat mengembangkan welas asih dan kebijaksanaan dalam diri kita. Jika kita tidak punya welas asih, kita tentu tidak akan tergerak untuk keluar dari zona nyaman demi terwujudnya “Bhinneka Tunggal Ika” di Indonesia. Tanpa kebijaksanaan, kita tentu tidak bisa benar-benar memahami semboyan junjungan kita ini, apalagi memperkenalkannya kepada orang lain. Namun, kita tidak bisa menunggu kedua hal tersebut sempurna baru mulai bertindak. Tidak ada jaminan toleransi palsu yang selama ini kita jaga mati-matian bisa bertahan selama itu!
Kita mungkin belum sekaliber Pangeran Sutasoma, tapi kita perlu berusaha untuk menumbuhkan barang satu persen bodhicita yang Beliau miliki untuk bisa melakukan tindakan “berbahaya” demi banyak makhluk seperti yang Beliau lakukan sambil terus melatih diri hingga mencapai kualitas yang Beliau miliki.