oleh Junarsih
Di mana bilangan tertua? Dan dari mana bilangan tua itu berasal? Inilah pertanyaan saya sampai akhirnya saya dikabari salah seorang teman untuk menonton live streaming “Mengintip Matematika Sriwijaya-Nalanda” di akun Youtube Jaya Suprana Show bersama Iwan Pranoto pada Selasa (8/12). Pak Iwan adalah penulis buku “Mengembalikan Budaya Belajar” yang juga berprofesi sebagai guru besar matematika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pak Iwan mengawali dengan penjelasan tentang awal mula hancurnya kampus Nalanda di India. Biara Nalanda yang dihuni oleh biarawan yang tak mengenal kekerasan dengan mudah diserang dan dihanguskan oleh serangan dari Turki yang dipimpin oleh Bakthiar Kilji. Nalanda sendiri memiliki hubungan yang erat dengan Sriwijaya. Bisa dikatakan kalau kita mempelajari Sriwijaya sama dengan mempelajari Nalanda, begitu pula sebaliknya. Seperti dalam catatan I-Tsing, pendidikan di Sriwijaya tidak berbeda dengan Nalanda. Studi Nalanda tidak akan lengkap bila tidak belajar di Sriwijaya, jadi Nalanda dan Sriwijaya itu saling melengkapi.
Karena zaman dahulu banyak orang India melakukan pelayaran menuju Indonesia untuk belajar di Sriwijaya, banyak terjadi pertukaran budaya, misalnya makanan. Saat itu, nenek moyang kita tidak hanya menyerap budaya tapi juga mengembangkannya sambil tetap mempertahankan budaya lokal. Jadi, sulit bagi kita untuk menemukan sesuatu yang asli dari makanan atau budaya yang lain karena memang sudah sejak zaman dahulu tradisi dan budaya kita itu berasimilasi dengan bangsa lain. Dapat dikatakan bahwa budaya itu maju ke depan mengikuti perkembangan zaman, jadi sulit untuk menemukan yang asli.
Lebih lanjut, Pak Iwan membicarakan tentang asal mula bilangan. Pada abad ke 7, sistem nilai berbasis sepuluh dilihat dari sistem tempat terdapat di prasasti Kedukan Bukit di Sumatra dan prasasti Trapang Prei di Kamboja. Di kedua prasasti tersebut sama-sama dituliskan “tahun 604 tahun saka”.
“Saat abad ke-9, tidak bisa dibilang bahwa bilangan nol itu berasal dari India, karena saat itu pedagang Arab sudah masuk ke sub benua India. Kalau bilangan nol berdasar nilai nilai tempat berbasis sepuluh itu dari India tidak ada bukti yang kuat,” ujar Pak Iwan. Bukti yang kuat tentang keberadaan bilangan nol itu hanya ada ada di Sumatera dan Kamboja. Prasasti Kedukan Bukit yang memuat bilangan tersebut kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Berdasarkan bukti prasasti yang berasal dari Sumatra ini, saya menjadi tahu bahwa puncak peradaban Nusantara adalah bukan pada masa Majapahit, melainkan sudah dimulai sejak masa Sriwijaya. Pada masa Sriwijaya sudah dikenal bilangan yang akhirnya bisa dipelajari hingga kini. Belajar itu sepanjang hayat, tidak ada putusnya. Sampai tua pun kita masih harus belajar karena ada hal-hal baru setiap harinya. Bedanya, kalau sekarang itu ego sangat ditinggikan ketika belajar. Berbeda dengan zaman dahulu, “Kalau dulu pengetahuan berkembang di mana itu kita suka semua. Tapi kalau sekarang kan tidak, semua ya harus ada di kita gitu. Melihat itu ego jadi besar daripada dulu,” jelas Pak Iwan.
Banyak hal yang bisa saya pelajari dari webinar ini, mulai dari belajar itu penting untuk dibagikan kepada orang lain. Sebenarnya paling penting itu kita belajar sejarah, karena di sana kita bisa belajar tentang asal mula sesuatu agar tidak terjadi salah tafsir dan kita belajar untuk bijak dengan memetik pengalaman berharga dari masa lampau.
—
Gali lebih banyak ilmu seputar pembelajaran di Sriwijaya dan Nalanda dari karya Pak Iwan yang berjudul “Mengembalikan Budaya Belajar”.