oleh Candrika Jayawardhani
Kupikir bahagia itu prestasi. Ranking 1, IP cumlaude, KPI exceeds expectation. Tapi semakin banyak prestasi, rasanya jadi beban yang menjerat. Begitu banyak hal harus kukorbankan demi mempertahankannya.
Kupikir bahagia itu apresiasi dan tepukan di punggung, lengkap dengan pujian yang bikin melayang dan kata-kata “kamu hebat!”. Nyatanya, dari sekian banyak orang yang memuji banyak juga yang ternyata ikut bertepuk tangan ketika aku gagal.
Kupikir bahagia itu punya gadget terkini, branded dan high quality. Pedihnya, ternyata pencuri bisa mengambilnya berkali-kali.
Kupikir bahagia itu punya teman dan relasi, dikenal dan mengenal banyak orang. Sebenarnya, hanya segelintir orang yang benar-benar dapat kuandalkan dalam susah dan senang.
Kupikir bahagia itu berilmu luas, tahu banyak hal dan jadi tempat bertanya. Ternyata ketika dihadapkan masalah hidup yang berat, ilmu duniawiku tak selalu bisa mengatasinya.
Kupikir bahagia itu sesederhana bisa makan enak. Dari korean BBQ sampai Indomie goreng telur pakai cabe rawit. Tapi usut punya usut, ujung-ujungnya semua hanya akan berakhir jadi tahi.
Lalu apa bahagia yang sebenarnya?
Bukan aku tak bersyukur dengan semua prestasi, apresiasi, gadget, teman, ilmu dan makanan enak itu. Tapi adakah bahagia yang konstan? Yang tak berubah menjadi penderitaan? Yang everlasting dan genuine?
Hmmm, aku mungkin pernah mengalaminya beberapa kali!
Bahagia ketika menyelamatkan seekor semut yang hampir tenggelam.
Bahagia ketika orang lain jadi mengerti prinsip akuntansi setelah mendengar penjelasanku.
Bahagia ketika aku berperan dalam perkembangan pola pikir dan keterampilan kerja anggota timku. Dan bahagiaku ketika mendengar mereka berhasil mendapat promosi jabatan.
Bahagia ketika sebuah foto yang kuambil dan video yang kubuat ternyata mengingatkan orang lain akan kebaikan.
Bahagia ketika memberikan telinga untuk mendengar masalah-masalah sahabatku dan membuat mereka merasa lebih lega.
Bahagia ketika membantu orang lain yang kesusahan dan melihat senyum terima kasih mereka.
Walau tak banyak momen bahagiaku yang sejati, tapi rasa bahagia itu tidak berubah walau telah berlalu. Ketika diingat kembali, hangatnya tetap di hati.
Bahagia dari sebuah kualitas kebaikan hati, didasari motivasi bajik dan dilakukan dengan senang dan tulus ternyata tak lekang oleh waktu.
Dipikir-pikir, tak heran seorang Buddha selalu dalam keadaan mahasuka, selalu dalam keadaan bahagia yang konstan. Karena tubuh, ucapan dan batun Beliau selalu bajik dan penuh welas asih ingin menolong semua makhluk.
Jika menolong seekor semut saja bahagianya tidak pudar, gimana menolong tak terhingga banyaknya makhluk? Kebahagiannya pun tak terhingga… Infinite happiness.
Ternyata selama ini semua usaha kerja keras dan sifat perfeksionisku salah sasaran. Aku mati-matian mengejar bahagia tapi karena dibutakan oleh klesha, aku tersesat dalam bahagia yang semu. Mulai sekarang aku akan memakai kacamata Dharma sehingga dapat melihat dengan jelas dan mempelajari setahap demi setahap jalan menuju kebahagiaan sejati. Berjuang mencapai the real perfection, becoming a Buddha.
Sebuah catatan renungan hidup seorang perfeksionis ditulis di Malang, 30 September 2020 dan didedikasikan untuk Guruku yang karenanya aku bisa merenung dan menjadi sadar.
*) Opini penulis adalah tanggung jawab penulis yang tertera, bukan bagian dari tanggung jawab redaksi Lamrimnesia.