oleh BESTRELOAD
Baru seminggu 2020 dimulai, kita sudah diterpa banyak kejadian. Mulai dari banjir di Jakarta, kebakaran hutan di Australia, konflik di Natuna, sampai yang teranyar adalah ketegangan antara Iran dan Amerika yang disinyalir bisa menjadi pemicu perang dunia ketiga. Sangatlah wajar bila kita takut dan cemas dengan kondisi-kondisi ini, karena rasa takut dan cemas ini merupakan sistem alami pertahanan diri manusia. Namun, cemas dan khawatir terlalu banyak juga akan merugikan diri kita. Lantas bagaimana cara agar kita bisa melewati tahun 2020 yang penuh kebahagiaan jika di awalnya saja sudah kacau balau begini?
Ajaran Buddha bisa menjadi solusi untuk menghadapi fenomena-fenomena yang terjadi di dunia karena ajaran ini telah eksis sejak 2500 tahun yang lalu dan masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Ajaran-ajaran ini bisa disarikan dan menjadi filosofi yang dapet mengubah cara pikir, cara pandang, sampai pada cara berperilaku seseorang sehingga menjadi lebih berwelas asih dan mendatangkan kebahagiaan. Karena itu, seorang Buddhis yang benar-benar menerapkan ajaran Buddha tidak akan takut atau khawatir berlebihan menghadapi fenomena-fenomena negatif yang terjadi di dunia baru-baru ini. Apa saja ajaran itu? Yuk simak pembahasannya di bawah ini!
Waspada, tapi tidak takut, karena semua hal yang dialami merupakan buah karma sendiri.
Dengan mengerti hukum sebab akibat, seseorang akan dapat lebih menerima fenomena yang menimpa dirinya sendiri, termasuk rasa takut yang muncul ketika melihat berita-berita negatif. Bahkan seseorang yang tertimpa bencana secara langsung akan menjadi lebih tenang dan menerima dengan berpikir “ini adalah buah karma burukku di masa lampau.”
Menerima kenyataan tentunya tidak sama dengan pasrah. Dengan mengetahui bahwa suatu hal buruk yang terjadi merupakan buah karma, tahapan selanjutnya adalah bertekad untuk menghindari perbuatan buruk saat ini juga. Jadi, alih-alih khawatir dan takut, seorang Buddhis bisa menjadikan fenomena buruk ini sebagai latihan batin bagi dirinya.
Semua penderitaan berasal dari dalam diri, bukan luar. Sifat semua fenomena tergantung pada cara kita menyikapinya.
“Pikiran adalah pelopor” ucap Sang Buddha. Frasa yang kaya akan makna ini seharusnya menjadi bekal bagi seorang Buddhis untuk terus menjaga pikirannya. Sang Buddha secara eksplisit menjabarkan bahwa semua hal yang terjadi, baik atau buruk. tergantung pada cara pandang kita. Misalnya ketika melihat orang-orang yang membuat kita marah, kita bisa memilih untuk mengembangkan kebencian atau welas asih untuk orang itu. Menerapkan “pikiran adalah pelopor” juga bukan berarti kita pasif. Ketika melihat bencana banjir misalnya, seharusnya kita memunculkan empati terhadap penderitaan para korban sehingga kita tergerak untuk memberikan bantuan atau setidaknya tidak buang sampah sembarangan atau melakukan hal lain yang bisa memperparah banjir. Contoh lain adalah ketika melihat kebakaran hutan, alih-alih membiarkan pikiran kita marah pada pemerintah atau perusahaan sawit, kita fokus pada penyelesaian masalah, misalnya dengan proaktif menanam pohon, menjaga lingkungan, atau bergabung dengan komunitas atau lembaga resmi yang memperjuangkan keselamatan hutan.
Memahami ketidakkekalan dan kesalingbergantungan.
Memahami bahwa apapun yang terbentuk tidak kekal membuat kita tidak melekat pada sesuatu baik barang maupun konsepsi pikiran. Kita bisa merenungkan ketidakkekalan juga dengan melihat kondisi geopolitik dunia. Negara yang dulu pernah menjadi musuh bisa menjadi teman, begitu pula sebaliknya. Ketika melihat kenyataan banjir yang membuat semua barang kita rusak, seharusnya kita berpikir bahwa berani memiliki sesuatu berarti kita berani melepasnya juga. Dengan memahami ketidakkekalan kita akan lebih menerima ketika kita kehilangan sesuatu yang kita lekati.
Kesalingbergantungan artinya tidak ada satu hal pun yang berdiri secara inheren, misalnya banjir merupakan akibat dari banyak faktor seperti hujan yang sangat deras, kelalaian dalam antisipasi, banyak sampah yang menutup saluran, dan sebagainya. Jika salah satu tidak ada, belum tentu banjir tidak terjadi kan? Ketika kita memahami kesalingbergantungan, bahwa semua hal pasti disebabkan oleh kumpulan banyak faktor, kita tidak akan menyalahkan sesuatu pada satu hal saja. Dengan merenungkan hal ini, kita tidak akan dengan mudah membenci atau menghujat pihak tertentu yang nantinya akan menambah karma buruk yang harus kita tanggung di masa depan.
Fokus pada saat ini, karena yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga pikiran dan perbuatan kita untuk mengubah buah karma kita di masa depan.
Filosofi ‘mindfulness’ pada Buddhis membuat kita berada pada “saat ini”, kita sadar/eling akan diri dan fenomena sekitar. Hal ini merupakan salah satu kiat dalam menghadapi fenomena negatif di luar. Kita menjaga batin agar tidak marah atau meratapi apapun yang sudah terjadi, menjaga pikiran dan perbuatan sehingga tidak menimbulkan akibat karma negatif di masa depan, juga terus mengembangkan pikiran-pikiran bajik seperti welas asih dan empati.
Ini sangat penting karena fenomena negatif cenderung mengarahkan orang berpikiran negatif. Kita semua sudah lihat sendiri kan apa yang terjadi di media sosial? Semua orang menghakimi, membenci, menyumpahi, melampiaskan rasa takut, dan sebagainya, padahal perbuatan-perbuatan seperti itu merupakan karma buruk juga yang bisa menghasilkan hal buruk di masa depan. Kritik boleh, tapi jaga tutur dan motivasi saat mengkritisi sehingga kita tetap menghasilkan karma yang putih bersih, tidak tercemar oleh kekesalan dan benci.
Jadi 2020 sudah dimulai dan sudah banyak bencana yang datang. Nasib kita tidak akan berubah jika cara pandang kita selalu nyinyir, julid, dan benci. Maka dari itu, mari mulai berpikiran positif bersama-sama. Hanya dengan kebajikan kolektif kita semualah dunia bisa berubah ke arah yang lebih baik!