Beliau tidak mengenalku secara pribadi, namun ketulusan Beliau dalam mengatakan bagaimana Beliau senang melihat kami berpraktik Dharma, kerelaan Beliau dalam membagikan realisasi Beliau mengenai topik yang amat sulit dipahami ini kepada kami–intinya dalam setiap hal yang Beliau lakukan–membuatku sadar arti penting seorang guru.
oleh Shierlen Octavia
Sudah beberapa hari aku bergumul dengan vacuum cleaner. Setiap sesi review pada malam hari di retret SEALF 2019 berakhir, hal pertama yang aku lakukan selalu mencari vacuum cleaner untuk membersihkan debu-debu dan beras mandala yang tercecer di lantai. Sebagai panitia, tanggung jawab utamaku sebenarnya adalah mempublikasikan rangkaian acara di media sosial, namun aku merasa aku harus memaksimalkan waktuku dan berusaha membantu tim lain menyelesaikan pekerjaannya sesegera mungkin–agar semuanya bisa cepat beristirahat untuk mendengarkan sesi esok.
Pada hari pertama, pekerjaan membersihkan hall bukan hal yang berat buatku. Namun hari lepas hari, pinggangku yang jarang berolahraga ini sakit juga. Tanganku pegal dan mataku rasanya berat menahan kantuk. Beberapa hari kemudian, timbul ocehan dalam hatiku ketika aku mendorong pipa vacuum cleaner.
“Melelahkan”, “Kapan ini berakhir?”, “Merepotkan”, dan semua kata keluhan yang ada di dalam batinku rasanya berlomba untuk melompat keluar. Aku tidak lagi segembira hari pertama aku membantu. Ada rasa malas dan omelan yang menemani kegiatanku dengan sahabat baruku, si vacuum cleaner. Pokoknya, rasa sukaku dengan kegiatan yang semula kutujukan untuk membantu orang lain mulai berkurang hari demi hari.
Curahan hatiku barusan belum berakhir sampai di sana. Hari ini, 15 November 2019, dengan segala keluhan yang aku rasakan, aku mengeluarkan uneg-uneg, termasuk kelelahanku dengan pekerjaan vacuum cleaner dan lainnya, serta harapanku untuk tidak tertidur selama sesi saat puja berlangsung. Untunglah para Buddha dan Guru mendengarkan permohonanku sehingga aku bisa mendengarkan sesi dengan baik dan bisa merangkumnya di sini.
Pada pengajaran kali ini, Guru Dagpo Rinpoche menjelaskan bahwasanya, klesha tidak selalu tumbuh dalam diri kita, ada kalanya batin kita bajik sebab kita memang memiliki kemampuan tersebut. Namun, batin yang bajik saja belum cukup. Kita harus mengajak orang lain untuk menumbuhkan batin yang bajik pula dalam dirinya, mulai dari memberikannya materi dengan tulus, berbincang dengan cara yang baik, dan senantiasa mempraktikkan perilaku yang bermanfaat dengan berlandaskan aspirasi orang yang hendak kita tolong. Sebagai contoh, ketika kita ingin membuat seseorang menghentikan perbuatan jahat, kita tidak bisa serta merta menyuruhnya untuk menjauhi tindakan buruk yang selalu dilakukannya. Hal yang seyogianya kita lakukan adalah dengan menjadi temannya, memahami aspirasinya, dan memberikannya nasihat yang sesuai dengan hal yang ingin dicapainya.
Salah satu poin penting yang berikutnya Beliau sampaikan adalah mengenai cara kita untuk menjalankan hal yang selaras dengan yang telah kita nasihatkan pada orang lain. Sontak, hal ini jadi membuatku berpikir mengenai ketulusanku tempo hari dalam berusaha membantu teman-teman panitia yang lain. Rasa-rasanya sangat mudah bagiku untuk menegur teman yang enggan menolong temannya yang lain, namun sulit melihat kesalahan yang ada dalam diri. Sulit melihat bagaimana bantuanku membersihkan hall ditemani vacuum cleaner tidak berlandaskan ketulusan. Hal ini membuatku sadar bahwa toh, pada kenyataannya aku juga tidak baik-baik amat. Batin dan tindakanku belum berjalan selaras seperti yang seharusnya.
Setelahnya, Guru Dagpo Rinpoche kembali melanjutkan sesi dan merampungkan transmisi buku Pembebasan di Tangan Kita dan memberikan transmisi sehubungan dengan batin pencerahan (Bodhicita). Jujur setelah selesai pembacaan, aku tak mengira bahwa sesi kali itu akan berakhir. Aku bahkan masih menantikan sesi siang yang biasanya diadakan pukul 15.00. Namun, rupanya pagi tadi merupakan sesi pengajaran terakhir Beliau dalam SEALF 2019.
Banyak nasihat yang Beliau tinggalkan di akhir. Mulai dari bagaimana Beliau tampak bangga dengan Suhu Bhadra Ruci, yang merupakan teladan terbaik bagiku dalam berproses dari bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang luar biasa, yang bisa mengajak orang untuk belajar Dharma dari yang semula bisa dihitung dengan jari hingga sebegitu banyaknya massa yang datang, betapa sumringahnya wajah Beliau saat mengatakan ada begitu banyak orang yang melakukan 6 Praktik Pendahuluan dengan baik bersama-sama, dan bagaimana Beliau senang melihat para peserta yang tertarik belajar Dharma. Tak lupa, Beliau juga berpesan untuk selalu melanjutkan belajar Dharma dan menerapkan seluruh kata yang telah kami dengar dalam batin.
Ketika mendengarkan pesan-pesan Beliau, aku tercekat. Beliau tidak mengenalku secara pribadi, namun ketulusan Beliau dalam mengatakan bagaimana Beliau senang melihat kami berpraktik Dharma, kerelaan Beliau dalam membagikan realisasi Beliau mengenai topik yang amat sulit dipahami ini kepada kami–intinya dalam setiap hal yang Beliau lakukan–membuatku sadar arti penting seorang guru. Membuatku selangkah lebih memahami perihal kalimat yang menyatakan bahwa guru akan selalu mencari muridnya, bahkan di tumpukan sampah sekali pun. Hal ini karena bahkan sampai detik ini pun, kalau direnung-renungkan, aku tidak tahu dan tidak paham apa yang bisa Beliau dapatkan dengan datang mengajar ke Indonesia, bertemu aku yang bukan siapa-siapa dan tak ada hubungannya dengan Beliau. Berada dalam momen itu dan memikirkannya, aku merasa tak enak hati karena rasanya belum ada hal apapun yang bisa aku beri untuk Beliau.
Aku merasa aku menerima begitu banyak hal selama beberapa hari ini yang mendewasakanku dari Rinpoche. Namun, apa yang bisa Beliau dapat dariku? Nihil. Bahkan cuma membersihkan debu dan beras saja aku sudah mengomel, bagaimana kalau disuruh pergi ribuan mil untuk mengajarkan Dharma pada orang yang bebal sepertiku? Rinpoche tidak pernah meminta apapun dari kami, entah sebagai peserta maupun sebagai panitia. Dan justru karena itulah, dari lubuk hati terdalam, aku merasa malu dengan diriku yang mengeluhkan vacuum cleaner–hal remeh temeh yang bahkan tidak layak aku bahas kepada orang lain. Padahal, hanya itu hal terbaik yang bisa aku persembahkan buat Rinpoche sebagai “balasan” dari kebaikan hati-Nya.
Benar apa kata pepatah. Kita seringkali tak bisa menghargai hal yang ada di depan mata. Baru ketika kehilanganlah, kita bisa menghargainya. Hal itu yang aku rasakan ketika melihat sosok Rinpoche yang kini terasa mulai menjauh karena sesi pengajaran sudah berakhir. Saat dedikasi lamrim dibacakan, entah mengapa aku merasa momen ini akan sangat sulit terulang kembali. Di momen itu, aku menyadari betapa tak bernilainya Dharma dan seorang guru. Ingin rasanya aku memukul kepalaku karena kebodohanku mengeluhkan hal yang tidak penting. Dalam hatiku, biarpun hanya aspirasi kecil, sangat kecil, yang harus kupegang erat agar tidak kabur, kini tumbuh sebuah tekad untuk menjadi murid yang membanggakan Beliau. Pesan akhir yang Beliau sampaikan akan selalu kuingat dalam batin–tumbuhkan satu saja poin Lamrim dalam batin untuk bisa menolong orang lain.
Aku yakin, siapapun yang punya kesempatan selangka itu untuk bertemu Rinpoche tidak akan punya keraguan mengenai bagaimana Beliau menghargai Dharma dan menyayangi semua orang layaknya buah hati-Nya sendiri. Hal ini kedengarannya absurd dan berlebihan, tapi toh banyak hal ajaib yang kamu percaya memang bisa terjadi selama kita hidup di dunia ‘kan? Oleh karena itu, untuk yang kali ini saja, aku memintamu untuk mempercayai kesungguhan hati seorang guru besar. Aku berdoa semoga kebajikanku dan kebajikanmu bisa membawa kita bersama-sama sekali lagi, sekali lagi, dan beribu-ribu “sekali lagi” bersua dengan Sang Ayah Laksana Mentari Dharma.
Oh iya, satu hal lagi yang kupanjatkan kala berdoa. Kali berikut aku memegang vacuum cleaner untuk membersihkan hall, semoga tak lagi rasa dongkol yang bersemayam, namun rasa bakti dan terima kasih yang tak seberapa ini yang bisa muncul dalam batinku untuk Guru Dagpo Rinpoche.