oleh Shierlen Octavia
11 November 2019–Ini adalah hari pertama pengajaran Southeast Asia Lamrim Festival (SEALF) 2019, sekaligus kali pertama saya mengikuti sesi pengajaran oleh Guru Dagpo Rinpoche. Lebih dari itu, acara ini merupakan penanda perjumpaan saya pertama kali dengan sosok Guru Dagpo Rinpoche, yang bagi para muridnya dikenal sebagai seorang guru sekaligus ayah bagi para umat Buddhis di Indonesia. Jujur saja, jauh sebelum saya bertemu dengan Beliau, sempat timbul sebuah rasa ragu. Memang apa spesialnya seorang bapak di usia delapan puluhan ini selain senyum ramah dan wajah yang amat sumringah di setiap potret dirinya yang kulihat? Namun, setelah melihat langsung sosok Beliau yang datang menemui umat Buddha di Indonesia—yang kalau kita bayangkan sebenarnya tidak berhubungan banyak dengan Beliau dan bahkan tidak memberikan keuntungan apapun baginya jikalau kita mau memakai prinsip untung rugi—saya sadar bahwa pandangan saya keliru.
Entah mengapa, kali pertama saya melihat sosok Rinpoche yang berjalan memasuki hall, saya merasa tersentuh dari lubuk hati yang terdalam. Setelah mendengar bagaimana Beliau memiliki berbagai kondisi kesehatan dan rintangan lainnya, kehadiran dan ketulusan beliau sontak membuat saya merasa trenyuh sekaligus bersyukur. Di usia senjanya, Beliau mau hadir dan menemui para umat yang tinggal ribuan mil jaraknya dari tempat tinggalnya untuk mengajarkan kebaikan. Tidak banyak orang yang bisa melakukan hal ini. Jangankan yang sudah berusia lanjut, bahkan mereka yang masih berada di usia muda dan produktif pun belum tentu mau berkorban untuk hal demikian. Hanya dengan melihat sosoknya, saya belajar mengenai bagaimana kita bisa memaksimalkan kehadiran kita untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Pembelajaran mengenai hal ini semakin diperkuat rasanya bagi saya, setelah mendengarkan sesi pengajaran beliau secara langsung.
Jika boleh merangkum dengan satu kata, sesi pengajaran pada hari ini benar-benar mengajarkan tentang bagaimana caranya menjadi orang yang bermanfaat. Rinpoche menegaskan bahkan sejak awal bahwa segala aktivitas yang kita lakukan harus didasari oleh satu pemikiran, yakni motivasi Bodhicita: tekad mencapai kesempurnaan demi menolong semua makhluk. Dari aktivitas seremeh bangun pagi, berpakaian, berbicara dengan orang lain, bahkan bekerja—semuanya haruslah berlandaskan motivasi untuk membuat semua makhluk bahagia. Rinpoche mencontohkan bahwa kegiatan bekerja yang notabene merupakan aktivitas untuk menumpuk materi dan harta berlimpah sesungguhnya dapat kita ubah menjadi aktivitas yang jauh lebih bajik dengan senantiasa menanamkan motivasi Bodhicita. Berdasarkan motivasi tersebut, kita bisa membuat pekerjaan sebagai sarana bagi kita untuk mendapatkan kondisi fisik yang sehat agar bisa membantu lebih banyak orang.
Hal lain yang ditekankan oleh Rinpoche adalah mengenai pentingnya bagi kita untuk selalu mengamati batin setiap saat dan menanyakan pertanyaan ini kepada diri kita masing-masing, “Apakah hal yang saya kerjakan dilakukan untuk kepentingan banyak makhluk ataukah hanya untuk diri kita sendiri?”. Hanya dengan melakukan aktivitas demi kepentingan makhluk lainlah, kita dapat benar-benar menghilangkan tidak hanya penderitaan kita hingga mencapai Kebuddhaan yang lengkap sempurna.
Selama sesi, Rinpoche juga selalu mengingatkan kita untuk tidak melupakan latihan batin ketika kita dalam kondisi senang, melainkan senantiasa mengharapkan makhluk lain untuk merasakan hal yang sama. Demi mencapai kondisi ini, penting bagi kita untuk mengembangkan dan menyempurnakan enam paramita. Pada sesi kali ini, ada 5 paramita yang dibahas di dalamnya. Paramita pertama, dana, merupakan niat dalam batin untuk memberi, baik materi, tubuh, maupun akar kebajikan kita kepada makhluk lain. Hal ini menyadarkan saya bahwa sempurnanya dana paramita bukan soal nominal, namun dari keikhlasan kita dalam memberi.
Paramita kedua, sila, merupakan niat untuk menjaga atau menahan diri dari sepuluh jenis ketidakbajikan. Paramita ketiga, ksanti, merupakan kemampuan kita dalam menghadapi permasalahan dan bagaimana kita dapat menahan diri ketika dilukai pihak lain. Hal yang termasuk di dalamnya adalah sikap kita dalam mempraktikkan Dharma dengan antusias tanpa putus asa.
Paramita keempat, viriya, merupakan antusiasme untuk melakukan kebajikan sekaligus sebagai pendorong untuk merampungkan satu kegiatan. Sebagai contoh, ketika melakukan puja harian atau aktivitas bajik lainnya, kita perlu merasa bahagia dan bersemangat karena telah bermanfaat bagi orang lain. Kendati demikian, Rinpoche mengingatkan kita untuk membedakan antara usaha keras biasa dengan viriya. Bekerja mengumpulkan harta demi kehidupan ini saja merupakan usaha keras namun bukan viriya karena tidak disertai dengan antusiasme dalam berbuat bajik. Kita juga sering kali melekat pada hal yang tidak tepat, misalnya menyukai kegiatan-kegiatan yang tidak membantu perkembangan batin kita secara berlebihan. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk selalu mawas diri terhadap setiap hal yang kita lakukan dan batin yang mendasarinya. Paramita kelima, dhyana, merupakan kemampuan kita untuk bisa berfokus dalam satu hal yang pada akhirnya dapat membawa kita mencapai realisasi dengan mudah dalam batin.
Meskipun baru hari pertama, saya merasa sudah banyak hal yang saya pelajari dan harus saya renungkan dalam batin. Semoga esok hari pun bisa menjadi hari yang baik bagi karma bajik saya untuk berbuah sehingga bisa mendengarkan dan merenungkan ajaran Beliau.
Guru Dagpo Rinpoche akan memberikan transmisi dan pengajaran berdasarkan Teks Lamrim Mārga Krama-Vimocana-Hasta (Pembebasan di Tangan Kita) karya Phabongkha Rinpoche pada tanggal 11-18 November 2019.
Untuk mengikuti pengajaran, hubungi:
- Lia Erika (+62 815-7025-762)
- Sariputra (+62 877-8254-3387)
Internasional:
Antonio (+62 812-2433-8208)
Informasi acara juga dapat diakses di lamrimretreat.id.