“Apakah kita memiliki rasa percaya diri bahwa kita telah membawa banyak kebajikan saat kematian datang? Dapat dihitungkah seberapa besar modal yang sudah kita miliki untuk bertemu Dharma kembali di kelahiran mendatang?”
Pertanyaan di atas terlontar dari mulut Y. M. Biksu Bhadra Ruci sebagai pembuka sesi pengajaran Indonesia Lamrim Retreat 2018 hari keempat, 26 Desember 2018. Respons alamiah kemudian muncul dalam bentuk sebuah paksaan yang bersifat segera untuk memanggil seluruh memori tentang apa yang telah saya perbuat selama ini menggunakan tubuh yang ternyata sangat potensial dan mampu membawa kita menuju pembebasan. Sudah sepatutnya kita berterimakasih kepada Yang Mulia Suhu karena melalui welas asihnya, kita dari hari ke hari ‘dibangunkan’ oleh Beliau secara perlahan dari buaian klesha dan ketidaktahuan akan betapa pentingnya memaksimalkan keberuntungan yang didapat atas kelahiran sebagai manusia.
Untuk mencapai intisari atau esensi dari kehidupan berharga sebagai manusia, Yang Mulia Suhu berkata bahwa kita harus memproyeksikan diri pada kehidupan mendatang agar kita tidak terlahir kembali di alam yang rendah. Cara yang dapat ditempuh salah satunya adalah melalui jalan spiritual yang mampu mengasah batin kita untuk dapat menyikapi dengan baik berbagai fenomena yang terjadi di sekeliling kita. Perlu disadari juga bahwa fenomena selalu muncul awalnya selalu dalam bentuk yang netral, sedangkan batin dan karma yang kita bawa lah yang berperan untuk ‘mewarnai’ fenomena tersebut. Maka dari itu, kita perlu menaruh perhatian pada ego yang sering kali muncul mendominasi setiap kali kita mencerap sebuah fenomena, terutama penderitaan.
Analogi menarik mengenai realita bahwa ego dapat membawa kita pada penderitaan yang lebih dalam diberikan oleh Yang Mulia Suhu lewat contoh perumpamaan berikut ini: ketika kita berada dalam lingkaran api, semakin kita melolong kesakitan maka semakin panas kita rasakan api tersebut membakar tubuh kita. Ego kita memunculkan sikap bahwa kita tidak boleh menderita, kita harus selalu dalam kondisi bahagia, dan aneka persepsi subjektif lainnya. Batin yang menolak bahwa diri ini tidak terbebas dari penderitaan bisa jadi merupakan hasil dari kualitas karma yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kemampuan kita dalam melihat sebuah masalah. Oleh karena waktu tak akan menunggu kita, implikasinya adalah tiada kata menunda untuk menuntaskan satu per satu penderitaan yang nyatanya selalu kita bawa ke kelahiran berikutnya.
Sebenarnya, secara praktis seluruh halangan yang telah dikemukakan di atas dapat dikikis lewat sikap bertumpu pada guru spiritual. Sebelumnya, ada tahapan-tahapan yang harus kita lalui agar pondasi sikap bertumpu yang kita bangun mampu berdiri dengan kokoh di mana salah satu bentuk pondasi itu bernama keyakinan. Kita harus melihat guru spiritual yang hadir di depan kita sebagai seluruh Buddha, terlepas dari realita bahwa guru spiritual kita benar ataupun bukan seorang Buddha serta berbagai kekurangan yang dimiliki oleh sang guru. Yang Mulia Suhu berkata bahwa hambatan yang sering kali ditemui saat kita berupaya melihat guru spiritual sebagai seorang Buddha adalah kita kadang melihat menggunakan kacamata klesha: memusatkan perhatian pada kekurangan yang dimiliki oleh guru alih-alih melihat kualitas positif beliau. Kita membuat berbagai persepsi subjektif berkenaan dengan kualitas guru spiritual yang belum tentu benar jika kita melakukannya tanpa pengetahuan dan kebijaksanaan. Atau kita dengan berani memilah guru spiritual mana yang akan kita datangi sebelum memohon ajaran dharma. Padahal, yang menjadi penentu seberapa banyak berkah yang dapat kita terima tergantung dari cara kita memandang guru spiritual. Adapun fakta lain yang harus kita sadari adalah kita tidak akan pernah bisa melihat atau merasakan wujud samboghakaya yang berada dalam tubuh guru spiritual selama kebajikan yang kita kumpulkan masih minim.
Jika demikian adanya, apakah bisa kita bisa memupuk keyakinan bahwa guru spiritual yang saat ini menuntun kita adalah jelmaan Buddha? Jawabannya adalah sangat bisa. Yang Mulia Suhu mencontohkan bentuk probabilitas yang dapat kita cerna secara logis yaitu melalui konsep tubuh Tathagata di mana setiap satu wujud tubuh, mengandung batin, ucapan dan jasmani. Jika batin muncul dalam satu titik, maka ucapan dan jasmani akan turut hadir di titik tersebut. Jika kita pinjam konsep ini dengan mengganti tiga kualitas (batin, ucapan dan jasmani) dengan emanasi sang Buddha yang masuk dalam wujud guru spiritual, maka secara langsung kualitas sang Buddha turut tercermin pada guru spiritual kita. Tanpa kita pinta, Sang Buddha dengan kebaikan hatinya hadir melalui frekuensi yang sama dengan kita (sebagai manusia) dan beremanasi di dalam tubuh guru spiritual. Sehingga kita bisa tarik sebuah teori bahwa tidak ada alasan untuk tidak bersyukur ketika Buddha melalui guru spiritual hadir menolong kita dan mengajarkan Dharma dengan cara berdialog dalam tubuh sesama manusia. Jika kita mampu menerapkan analogi ini untuk membentuk keyakinan pada guru spiritual, Yang Mulia Suhu berujar hal ini pertanda kita telah berhasil mencapai sebuah realisasi kecil dalam perjalanan spiritual kita.
Guru spiritual tidak pernah absen berperan dalam setiap segala pencapaian yang kita raih, termasuk pencapaian terlahir dalam tubuh manusia yang merupakan bentuk buah karma dari jalinan hubungan baik antara murid dengan guru spiritual di kehidupan lampau. Ini alasan lain yang sangat ditekankan oleh Yang Mulia Suhu di penghujung sesi pengajaran Dharma hari ini, mengapa kita harus yakin bahwa guru spiritual kita merupakan seorang Buddha. Jika kita benar-benar bangun dan sadar akan sosok Buddha yang hadir lewat guru spiritual, maka di penghujung perjalanan spiritual kita nanti, sang guru akan menjemput kita di gerbang pintu keluar dari samsara, bagaikan menarik kelua seonggok jarum yang dari tumpukan jerami. Praktik bertumpu kepada guru spiritual pernah menjadi bagian dari peradaban Nusantara dan masih bisa ditemukan di pelosok-pelosok, namun sudah sangat pudar. Hal ini sangat disayangkan oleh Yang Mulia Suhu karena secara tidak langsung meminimalisir kemungkinan kita untuk mencapai Kebuddhaan melalui penyatuan dengan guru spiritual kita. Akhir kata, Yang Mulia Suhu mengingatkan kembali bahwa sudah seyogyanya bahwa bagi siapapun terutama bagi orang-orang yang telah belajar Dharma, khususnya dengan metode Lamrim, harus bersikap menghargai dan menaruh pandangan benar bahwa guru spiritual merupakan jelmaan Buddha agar kita dapat mencicipi nektar kebahagian sejati.