Memasuki sesi pengajaran hari ke-6 Indonesia Lamrim Retreat 2018, Y. M. Biksu Bhadra Ruci mengajak kita untuk merenungkan: apa yang kerap kali kita lakukan ketika memulai hari? Mandi? Makan? Adakah dari diri kita yang memulai hari dengan merenungkan kelahiran sebagai manusia yang berharga?
Walaupun kemungkinan untuk terlahir sebagai manusia sangat langka, bagaikan kura-kura buta di dalam samudra yang memunculkan kepalanya setiap 100 ribu tahun sekali dengan kepalanya tepat keluar di atas sebuah cincin, kita sering menyepelekan hal ini dengan mengabaikan praktik Dharma. Bagi kita, praktik yang serius hanyalah duduk di depan altar untuk sembahyang dan mengharap berkah datang kepada kita. Kemudian melanjutkan aktivitas keseharian, kembali bekerja, dan menghabiskan waktu. Kita selalu meletakkan Dharma dan aktivitas keseharian seperti minyak dan air. Tidak hanya itu, kita bahkan sering membuat kesalahan besar dengan membeda-bedakan Dharma dan memandang rendah Dharma yang tampak berbeda dari yang kita pelajari. Padahal kitalah yang tidak punya cukup pengetahuan akan keseluruhan Dharma Sang Buddha yang amat luas dan ditujukan untuk berbagai jenis murid. Akibatnya, kita cenderung merasa sudah tahu segalanya dan tidak pernah merasa butuh untuk belajar dan berpraktik Dharma. Tentu saja hal tersebut juga membuat kita tidak pernah secara aktif dan konkret mengembangkan batin. Selain itu, Dharma pun sulit bertumbuh apalagi berkembang, sebab guru spiritual hanya dianggap sebagai orang biasa. Hal tersebut membuat kita sulit mencapai kemajuan batin dan tidak mampu menumbuhkan faktor mental bajik. Saat kita ingin mempraktikkan Dharma, kita pun sering luput dari mencoba untuk memposisikan diri sebagai seorang pasien yang membutuhkan pertolongan. Tak aneh bila kemudian, praktik yang kita lakukan menjadi tidak murni.
Bila kita cermati, praktik Dharma yang ingin kita lakukan semakin ternoda dengan semakin mudahnya segala sesuatu di dunia ini. Dengan berkembangnya teknologi, kita selalu berusaha membuat indra kita nyaman. Misalnya, sibuk memperhatikan konten-konten media sosial, hanya ingin berada di ruangan ber-AC, dan masih banyak lagi. Usaha-usaha tersebut lantas menjadi bahan bakar bagi kita untuk terus mengupayakan ambisi-ambisi duniawi yang kita miliki tanpa diiringi dengan praktik pengembangan batin. Kita tidak sadar bahwa kenyamanan indrawi yang kita rasakan menyebabkan timbulnya kemelekatan yang bersemayam dalam batin. Kita melupakan bahwa hidup dengan memiliki jasmani manusia bagaikan buih sabun, yang sangat lemah dan sangat cepat menghilang. Hal tersebut dikatakan demikian sebab faktor yang mendukung kehidupan seperti makan pun bisa menjadi faktor kematian. Kita juga lupa bahwa ketika mati kelak, semua hal yang mati-matian kita perjuangkan—harta, reputasi, dan kesenangan indrawi lainnya tidak bisa kita bawa ke kehidupan berikutnya. Saat mati, harta tak akan bisa beranjak bahkan seinci pun, terlebih mengantar kepergian kita. Teman-teman yang berusaha kita senangi di kala hidup hanya akan mengantar kematian kita di persimpangan jalan. Keluarga yang kita sayangi sepanjang hayat, hanya bisa mengantarkan kita hingga ke depan kubur kita kelak. Tubuh dan jasmani, yang tak pernah sedetik pun meninggalkan kita bahkan akan kita tinggalkan ketika tiba waktunya bagi kita untuk mati. Hanya karma baik dan buruklah yang akan menemani kita ketika kita mati. Sayangnya, kita terlalu terlena, kurang mengumpulkan kebajikan dan memelihara ketidakbajikan, dan pada akhirnya menjerumuskan diri sendiri ke alam rendah.
Oleh karena banyaknya ketertarikan kita terhadap hal yang tidak bajik, kita butuh bergegas menyelamatkan batin sebelum kematian menjemput. Sebagaimana telah disebutkan pada hari-hari sebelumnya, kita butuh bertumpu dan berbakti pada guru spiritual—sosok yang mampu memberikan berkah bagi batin kita dengan membuat kita sadar dan ‘bangun’ untuk keluar dari penderitaan yang kita alami. Di samping itu, dengan merenungkan kematian yang pasti dan bertumpu pada metode yang bisa membuat kita mencapai kehidupan berikut yang lebih bahagia, barulah kita bisa terbebas dari alam rendah. Metode tersebut adalah dengan mencari perlindungan. Mencari perlindungan artinya kita pergi untuk mencari dan mengambil perlindungan di luar diri kita yang sulit untuk mengembangkan kualitas bajik.
Untuk bisa mencari perlindungan, kita harus dengan cermat dan tepat mengenali objek mana yang layak untuk kita jadikan sebagai perlindungan dan mana yang tidak. Untuk mengenalinya, kita harus merenungkan bahwa semua makhluk di dunia ini—teman, keluarga, musuh, orang yang disukai maupun tak disukai—tanpa terkecuali, mengalami penderitaan. Adanya karma-karma buruk yang terus menerus kita lakukan membuat kita terus terjebak dalam samsara, mengalami lahir-tua-sakit-mati yang terus berulang, yang akhirnya membuat penderitaan yang kita alami tidak terhingga. Untuk bisa mengatasi penderitaan tak berhingga, tentulah dibutuhkan sebuah kemampuan yang bisa menyamai hal tersebut. Hanya dengan kemampuan untuk menolong yang juga tak berhinggalah, kita bisa memperoleh perlindungan yang sesungguhnya.
Buddha-lah sosok yang memiliki kemampuan menolong tak berhingga, yang dengan welas asihnya mengajarkan Dharma untuk mengeluarkan kita dari samsara. Namun sosok Buddha sering kali lenyap dalam batin kita karena bayangan akan sebesar apa pertolongan yang mampu diberikan Buddha sudah tidak ada sehingga kita tidak pernah meminta pertolongan kepada Buddha. Padahal, dengan menyatakan perlindungan dan bertrisaranalah kita bisa terhindar dari kelahiran di alam rendah. Untuk itulah, demi menghidupkan kembali Buddha dalam batin ini, kita perlu memupuk banyak karma bajik dan menumbuhkan keyakinan kita terhadap Buddha, Dharma, dan Sangha. Hal ini misalnya, bisa kita lakukan dengan membuat tsa-tsa Buddha agar menimbulkan aspirasi untuk bisa mendapatkan kualitas yang sama bajiknya dengan Buddha, sekaligus menumbuhkan pikiran bajik berupa keyakinan dalam batin kita dan orang-orang yang melihat wujud Buddha yang kita buat. Potensi-potensi karma bajik ini pun dapat kita arahkan sehingga menjadi sebab untuk matangnya kualitas-kualitas layaknya Buddha dalam batin.
Buddha telah bersabda bahwa pulau pelindung bagi diri kita sendiri adalah diri sendiri. Itu bukan berarti kita tidak perlu berlindung kepada Triratna. Ketika berlindung pada Triratna, Buddha melindungi kita dengan menunjukkan jalan Dharma yang harus kita tapaki untuk bisa terhindar dari kelahiran alam rendah bahkan terbebas dari samsara, jalan yang kita lalui dengan ditemani dan dibimbing oleh Sangha. Namun, pada akhirnya, kita yang memegang kendali dan kebebasan untuk bertindaklah yang akan memutuskan akan seperti apa kita kelak di kelahiran berikut. Alam rendah atau kelahiran kembali yang berharga sebagai manusiakah yang akan kita pilih? Berlindung pada diri sendiri yang dimaksud Sang Buddha berarti kita dengan kesadaran pribadi menyambut perlindungan Buddha dengan mempraktikkan Dharma yang Beliau ajarkan.
Apapun keputusan yang kita capai nantinya, kita harus merenung dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai di kemudian hari, kita menyesal telah menyengsarakan diri kita di kehidupan berikut dengan menyia-nyiakan kebebasan dan keberuntungan yang kita miliki saat ini.