Api dalam Buddhadharma biasa dijadikan perlambang kemarahan yang membakar habis kebajikan. Di sisi lain, api juga digunakan untuk menggambarkan pemurnian dan perlindungan. Kedua aspek ini tergambar dalam film Promare, anime sains fiksi dari studio Trigger dan XFLAG yang tayang tahun 2019. Lebih lanjut, film ini bisa membantu kita merenungkan berbagai dampak kemarahan dan cara menyikapinya.
Ledakan Amarah yang Tertahan
Promare mengisahkan dunia yang luluh lantak akibat kemunculan “Burnish”, kaum pengendali api yang konon telah membunuh milyaran orang. Tiga dekade sejak kemunculan mereka, umat manusia berkumpul di kota Promepolis di bawah kepemimpinan Kray Foresight yang menciptakan berbagai teknologi antiapi dan pemadaman kebakaran sementara kelompok teroris bernama Mad Burnish masih beraksi dan membuat kekacauan di mana-mana.
Film dibuka dengan orang-orang dalam situasi “terjepit” di perkotaan. Ada yang terjebak di kereta yang terlampau padat, ada yang mengalami kekerasan di rumah, ada yang kecelakaan di jalanan. Kita melihat mereka makin tertekan dari bingkai ke bingkai hingga akhirnya mengalami hal yang sama: berubah menjadi kobaran api yang melahap habis seluruh kota.
Itu adalah awal-mula bencana yang menjadi latar belakang kisah Promare. Orang-orang pertama yang “meledak” ini punya kesamaan: mereka sedang menderita dan terlihat berusaha keras menahan penderitaan tersebut.
Di negara-negara Timur, terutama Jepang tempat film ini berasal, kesabaran adalah nilai yang dijunjung tinggi. Setiap orang dituntut untuk menahan diri dan tidak “menciptakan keributan” ketika berhadapan dengan ketidaknyamanan. Mengekspresikan emosi dianggap sebagai kelemahan atau tidak pantas dilakukan.
Kita di Indonesia juga memiliki budaya serupa. Leluhur kita, khususnya dari peradaban Buddhis di abad XI, mempraktikkan latihan batin yang memandang penderitaan sebagai hal positif yang membantu menumbuhkan welas asih dan kebijaksanaan. Nasihat untuk mengambil hikmah dari masalah bisa jadi mrupakan contoh nyata dari hasil praktik tersebut yang bertahan sampai sekarang. Sayangnya, metode untuk melatih cara pandang tersebut tidak ikut diwariskan. Padahal, kemampuan mengubah cara pandang terhadap masalah merupakan sikap yang tidak bisa muncul serta-merta, melainkan perlu dilatih setahap demi setahap.
Masalahnya, ketika seseorang mengalami penderitaan, yang dialami seseorang bukan hanya rasa sakit, tapi juga rasa tidak suka atau bahkan marah terhadap penderitaan tersebut. Tuntutan untuk “menerima” penderitaan tersebut tanpa disertai pengetahuan tentang cara pandang yang benar menambah intensitas penderitaan tersebut dan membuat rasa marah makin menjadi-jadi.
Kemarahan yang dipendam dan tidak dikelola dengan baik ini tentunya lama-lama akan meledak menjadi perilaku yang merugikan diri sendiri banyak orang. Ledakan yang dialami orang-orang di permulaan film Promare seolah menggambarkan fenomena tersebut.
Melampiaskan Kemarahan Juga Bukan Solusi
Tiga puluh tahun sejak Burnish muncul di dunia, kita menyaksikan kelompok pemadam kebakaran Burning Rescue menyelamatkan kota yang terbakar akibat ulah “kelompok teroris” Mad Burnish. Kalau Burnish yang pertama muncul di awal film “membakar” tanpa sengaja, Mad Burnish justru dengan sengaja menyebabkan kebakaran di mana-mana.
Pemimpin Mad Burnish dan salah satu tokoh utama kisah ini, Lio Fotia, mengatakan bahwa kaumnya merasakan “dorongan” untuk membakar dan dia memilih untuk mengikuti dorongan tersebut. Mad Burnish terus membakar, tapi mereka tidak membunuh dan selalu memastikan ada jalur evakuasi yang bisa dilalui warga sipil yang terperangkap dalam kebakaran. Selain itu, mereka juga berusaha untuk melawan upaya pemerintah Promepolis yang dengan sengaja memburu kaum Burnish.
Prinsip Lio terkait bakar-membakar ini serupa dengan pandangan yang belakangan populer di kalangan masyarakat. Banyak yang mempromosikan kemarahan sebagai hal yang positif, bahkan perlu dibangkitkan dan penting untuk menuntut keadilan, asalkan tidak sampai merugikan orang lain.
Di satu sisi, kita memang perlu belajar mengenali kemarahan alih-alih menguburnya seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, di sisi lain, hal ini berbahaya karena rawan menimbulkan kesalahpahaman. Ide bahwa ada kemarahan yang “benar” bisa membuat kita lengah. Mungkin kita tidak sampai melukai orang lain, tapi kemarahan tetap akan menyakiti diri kita dengan membakar habis akar kebajikan kita. Lama-kelamaan, kemarahan itu bisa menguasai diri kita sehingga kita merasa bahwa kita berhak menyakiti atau balas dendam kepada siapapun itu yang membuat kita marah.
“Balas dendam hanya membuat mereka tak terlindungi sekaligus mencemarkan tindakanku. karena itu, mereka yang tersiksa hasrat balas dendam akan tersesat.”
Shantidewa, Lakon HIdup Sang Penerang
Hal ini ditunjukkan juga dalam kisah Lio dan kawan-kawannya. Sekilas, kemarahan Lio terlihat “adil” karena dirinya dan kaum Burnish yang lain ditangkapi dan dijadikan objek eksperimen oleh penguasa Promepolis. Ketika dia beraksi, dia tidak menyakiti orang lain, tapi kemarahannya selama ini tetap saja menyakiti dirinya sendiri.
Puncaknya adalah ketika upaya Lio membawa para Burnish keluar dari kota digagalkan dan ia tak berdaya menyaksikan kawan-kawannya dibawa pergi. Apinya lepas kendali, membentuk naga raksasa yang menghancurkan kota sementara dirinya sendiri terlihat kalap dikuasai hasrat balas dendam.
Namun, tokoh utama kita yang lain, Galo Thymos si pemadam kebakaran yang berapi-api dari Burning Rescue, bisa menyadari bahwa Lio sesungguhnya sedang menangis. Jika tidak disadarkan oleh Galo, Dari sini kita bisa melihat bahwa ketika kemarahan meledak, bukan hanya orang lain yang jadi korban, tapi diri sendiri juga!
“Dengan bahan bakar berupa ketidakpuasan atas hal-hal yang sebenarnya tak diinginkan dan halangan ke hal-hal yang diinginkan, amarah membakar dan menghancurkanku.”
Shantidewa, Lakon HIdup Sang Penerang
Memadamkan Kemarahan dengan Welas Asih
Dipendam salah, dilampiaskan juga salah. Lantas, bagaimana seharusnya kita menangani kemarahan? Promare menyajikan jawaban ini pertama-tama melalui sosok Galo. Meski kelakuannya slengekan, pemuda ini punya tujuan hidup yang jelas, yaitu melindungi semua orang dari amukan api. Semasa kecil, Galo kehilangan rumah dan seluruh keluarganya akibat kebakaran. Dari pengalaman itu, ia tidak mau orang lain mengalami penderitaan seperti yang dia alami, karena itulah dia bertekad untuk memadamkan kebakaran dan menolong orang-orang keluar dari api.
Dengan tekad inilah dia berhasil menyadarkan Lio yang mengamuk. Dengan tekad yang sama jugalah dia meyakinkan Lio bahwa sejahat-jahatnya gubernur Kray Foresight sebagai dalang di balik penindasan terhadap Burnish, ia tidak seharusnya dibunuh.
Welas asih dapat didefinisikan sebagai rasa tidak tahan melihat penderitaan orang lain yang membuat seseorang termotivasi untuk menghilangkan penderitaan tersebut. Sang Buddha mengajari kita untuk menumbuhkan perasaan seperti ini terhadap semua makhluk, baik yang kita suka, benci, maupun yang tidak kita kenal. Buddha juga mengajarkan cara mengembangkan welas asih ini dimulai dari menyetarakan semua makhluk, menyadari bahwa semuanya sama-sama ingin bahagia dan tidak ingin menderita.
Galo sempat digambarkan menjalani proses ini. Awalnya ia mengira Burnish bukan manusia, tidak punya perasaan, dan hanya suka membakar tanpa alasan. Namun, pandangannya berubah ketika mengenal Lio dan kawan-kawannya. Ia bahkan tidak ragu menentang Kray Foresight yang ia idolakan ketika tahu bahwa Kray dengan sengaja menangkapi dan menyiksa para Burnish untuk memenuhi ambisinya.
Hal yang sama juga bisa kita lakukan ketika kita sedang marah pada seseorang. Kita bisa mengingat bahwa orang itu sama seperti kita, sama-sama berupaya menghindari penderitaan. Hanya saja, dia tidak tahu cara yang tepat selain dengan menyakiti kita. Kita juga bisa merenungkan hukum karma, bahwa penderitaan yang kita alami adalah buah dari karma buruk kita sendiri. Kita tentunya tidak mau membuat karma buruk baru dengan membiarkan diri kita merespon dengan amarah. Sebaliknya, kita bisa berwelas asih pada mereka yang sedemikian tersiksa oleh karma buruk dan kleshanya hingga sampai menyerang kita. Amarah kita pun akan berangsur-angsur mereda.
Baca juga: Kesabaran Penawar Kemarahan
Dengan Kebijaksanaan & Welas Asih, Ubah Penderitaan Jadi Kebahagiaan
Lio dan Galo berhasil mengetahui dari mana api para Burnish berasal. Pengetahuan ini membantu mereka untuk mengendalikan api tersebut dan menjadikannya kekuatan yang menyelamatkan alih-alih merusak. Api Lio tidak lagi menyakiti orang yang dibakar, malah memberikan perlindungan. Ini berbanding terbalik dengan Kray Foresight yang berusaha menarik kekuatan Burnish dengan membuat mereka merasa tersiksa dan semakin marah.
“Penderitaan juga memiliki kualitas lain; keputusasaan yang disebabkannya mengikis kesombongan, rasa sakit yang ditimbulkannya membuat kita mampu berbelas kasihan kepada semua makhluk di dalam samsara, kita menjadi takut melakukan karma buruk, dan akhirnya merasakan kerinduan mendalam kepada Jina.”
Shantidewa, Lakon Hidup Sang Penerang
Apa yang membedakan Lio dan Galo dengan Kray? Kan sama-sama memanfaatkan penderitaan dan kemarahan? Perbedaannya ada pada welas asih dan kebijaksanaan. Kray tidak cukup punya pemahaman tentang cara kerja kekuatan Burnish sehingga mesin yang dia ciptakan malah dengan sengaja menghancurkan bumi dan hanya bisa menolong segelintir orang. Lebih parahnya lagi, ia tidak punya welas asih sehingga tega dengan sengaja menyiksa para Burnish dan membiarkan banyak makhluk mati di bumi yang hancur. Kasusnya mungkin sama dengan mereka yang memaksakan dirinya dan orang di sekitarnya untuk “bersabar” dengan mengingkari penderitaan alih-alih berusaha memahami dan menghadapinya. Sebaliknya, Lio dan Galo yang berhasil menemukan cara kerja api Burnish malah bisa menggunakannya api untuk menyelamatkan dunia!
Kita juga tidak bisa serta merta melihat “hikmah” dari penderitaan atau “mendapatkan keadilan” dengan menunjukkan amarah. Kita perlu kebijaksanaan yang memahami setiap aspeknya, mulai dari cara kerja hukum karma, batin dan faktor mental (termasuk kemarahan), penderitaan semua makhluk di samsara, hingga jalan keluar darinya. Dari situ, barulah welas asih bisa tumbuh, kemarahan kita mereda, dan kita bisa melakukan tindakan nyata yang mewujudkan kebahagiaan bagi semua pihak. Tanpa kebijaksanaan itu, upaya kita untuk mengambil hikmah dari penderitaan ibarat menipu diri sendiri saja dan akan membuat kita makin tersiksa.
Klesha Selalu Mendatangkan Penderitaan
Tak peduli sebaik apapun suatu tindakan dan sebanyak apapun orang yang bisa ditolong, klesha atau kotoran batin akan merusak segalanya dan merugikan semua orang. Kita bisa menarik pesan ini dari sosok Kray Foresight, pemimpin Promepolis yang mengaku berupaya menyelamatkan dunia, padahal ternyata hanya ingin dipandang sebagai seorang juru selamat.
“Pujian, ketenaran, dan kehormatan tidaklah bermanfaat bagi kebajikan, umur panjang, kekuatan, kesehatan, serta kebugaran fisikku. Aku bergembira ketika mengetahui diriku dipuji. Betapa konyolnya! Aku bertingkah seperti anak kecil.”
Shantidewa, Lakon Hidup Sang Penerang
Kray Foresight sebenarnya sudah menjadi “pahlawan” dengan menyelamatkan Galo semasa kecil, tapi ia tidak puas. Ketika ia tahu bahwa api para Burnish berpotensi menghancurkan dunia dengan mengaktifkan gunung berapi, dia membuat rencana untuk membawa hanya 10.000 orang untuk pindah ke planet lain dengan penderitaan para Burnish sebagai bahan bakar. Tindakannya ini membuat kehancuran dunia berubah dari sekadar kemungkinan menjadi sesuatu yang pasti karena gunung-gunung berapi ini akan meledak seiring dengan meningkatnya emosi dan penderitaan para Burnish. Kray memilih menjadi pahlawan di mata 10.000 orang sekaligus melampiaskan kebenciannya pada Burnish alih-alih berupaya menyelamatkan seluruh dunia tanpa pilih kasih.
Upaya Kray memanfaatkan kemarahan dan penderitaan para Burnish ini mirip seperti yang terjadi di dunia nyata. Berapa kali kemarahan masyarakat dengan sengaja dipancing untuk kepentingan segelintir orang? Politik identitas dalam pemilu, berita hoaks dan clickbait untuk meningkatkan traffic atau popularitas, ajakan untuk merundung orang atau kelompok tertentu, semua adalah contoh eksploitasi kemarahan yang harus kita waspadai. Untungnya, kita lebih beruntung daripada para Burnish yang disandera oleh Kray. Kita masih bisa belajar untuk mengenali dan mengendalikan amarah sehingga tidak akan segampang itu terjebak oleh pancingan kemarahan tersebut.
Kray sendiri sebenarnya punya pilihan lain untuk menyelamatkan dunia. Alat-alat yang dia ciptakan untuk mengubah planet baru menjadi layak ditinggali olehnya dan 10.000 orang yang dia pilih sesungguhnya bisa digunakan untuk menyelamatkan dunia. Namun, ia terbutakan oleh klesha alias kotoran batinnya sendiri. Egonya sedemikian besar sehingga dia mengabaikan solusi yang bisa menolong lebih banyak orang. Ia bahkan menggunakan alat-alat yang seharusnya dipakai untuk menciptakan kehidupan di planet baru hanya untuk bertarung melawan Lio dan Galo.
Di dunia nyata, kita tahu ada banyak orang-orang kaya luar biasa yang hartanya sendiri saja bisa memberi makan satu negara. Namun, mereka memilih untuk memakai uang itu untuk liburan keluar angkasa atau kemewahan lain yang tak bermakna. Contoh lainnya adalah besarnya hambatan pengembangan energi bersih karena yang punya kapital memilih terus mengeksploitasi alam demi keuntungan. Sama seperti Kray yg punya alat untuk memperbaiki lingkungan hidup, tapi malah memakainya untuk berkelahi.
Demikianlah cara kerja klesha. Ia mengubah tindakan paling baik sekalipun menjadi karma buruk yang bisa menyakiti diri kita dan orang lain!
“Pujian dan sebagainya menghilangkan kedamaianku serta kekecewaanku terhadap samsara. Mereka membuatku merasa cemburu dan marah kepada orang-orang yang lebih hebat dariku.
Shantidewa, Lakon Hidup sang Penerang
Tindakan raja pemarah mana yang mampu menyaingi penderitaan neraka; penderitaan yang dialami sebagai akibat dari mencelakai semua makhluk?”
Kesimpulan: Api Bisa Membakar, tapi Bisa Juga Memurnikan
Api melambangkan kemarahan yang membakar habis benih kebajikan. Namun, dalam Buddhadharma, api juga bisa melambangkan pemurnian yang menghanguskan jejak karma buruk sehingga tidak bisa berbuah atau kekuatannya melemah. Agnihotra atau Puja Api dalam tradisi Vajrayana, misalnya, merupakan salah satu metode yang ampuh memurnikan karma buruk. Namun, metode ini baru bisa bekerja jika empat kekuatan hadir: yaitu penyesalan, tekad tidak mengulangi, kebajikan atau tindakan yang berkebalikan, serta berlindung dan membangkitkan Bodhicita. Jika tidak bisa melakukan Agnihotra, kita juga bisa melafalkan nama-nama Buddha, melafalkan Sutra Prajnaparamita, atau melakukan aktivitas bajik lainnya dengan motivasi untuk memurnikan karma buruk tersebut.
Baca juga: Jalan Keluar dari Karma Buruk
Di akhir film Promare, Lio dan Galo “membakar” seluruh bumi dengan api yang tidak menghancurkan, tapi justru melindungi orang-orang.
Berkat Lio dan Galo, api Burnish yang seolah melambangkan kemarahan terpendam pun akhirnya terbakar habis tak bersisa dan para Burnish kembali menjadi manusia biasa. Kalau proses ini kita pandang sebagai proses pemurnian karma buruk dan kotoran batin, khususnya kemarahan, kita tentu bisa belajar dari film ini untuk melihat setidaknya satu kekuatan yang wajib kita kembangkan, yaitu membakar karma buruk kita dengan welas asih & tekad untuk menolong banyak orang.