Banyak dari kita pasti merasa paham hukum karma. Kalau ada sebab ya pasti ada akibat. Apa yang kita tanam, ya itulah yang kita tuai. Apa susahnya sih? Praktiknya juga gampang. Pokoknya jangan berbuat jahat, banyak-banyak berbuat baik. Kalau udah ngelakuin itu, kita udah sah jadi murid Buddha yang praktikin hukum karma dalam kehidupan sehari-hari.
Tapi apa benar emang segampang itu?
Tafsirnya nggak salah sih. Toh kita memang butuh “panduan” biar nggak bablas merugikan diri sendiri dan orang lain. Tapi, kalau emang fungsi hukum karma cuma sebatas mencegah orang berbuat jahat dan mendorong orang berbuat baik, apa bedanya dengan konsep dosa dan pahala? Apa bedanya pula sama undang-undang atau KUHP?
Belum lagi ada juga yang jadiin karma sebagai bahan ngeles waktu lagi males. “Memang sudah karmanya begitu, apa boleh buat,” katanya. Di situasi yang “menguntungkan”, karma kadang disamakan dengan takdir–sesuatu yang sudah tersurat dan tidak dapat diubah. Salah kaprah bahwa Buddhisme adalah ajaran yang pasif dan pesimis pun makin merajalela. Padahal, bukannya ini bertentangan dengan Dharma yang seharusnya bikin kita bahagia?
Kalau direnung-renung lebih lanjut, ada lho fungsi karma yang lebih mendasar dibanding sekadar jadi aturan, apalagi alasan buat kemalasan. Fungsi inilah yang bisa bikin lebih bahagia dan semangat jalanin hidup, tapi emang nggak bisa langsung berasa. Butuh proses dan pengalaman buat bisa sampai ke sana. Nah, walau nggak nyebutin kata “karma” secara langsung, proses dan pengalaman ini saya temukan dalam sebuah komik Jepang berjudul “Tokyo Tarareba Girls”.
Gadis-Gadis “Seandainya”
“Tokyo Tarareba Girls” adalah komik karya Akiko Higashimura yang terbit pada tahun 2014-2017. Ceritanya tentang tiga mbak-mbak jones (jomblo ngenes) umur 33 tahun yang ingin bisa menikah sebelum Olimpiade Tokyo 2020. Nah, mbak-mbak ini punya hobi nongkrong di bar sambil mengeluh soal cowok, kerjaan, dan kehidupan pada umumnya. Suatu hari, mereka minum sampai mabuk, volume obrolan pun nggak kekontrol. Saking berisiknya, seorang berondong ganteng yang juga langganan di bar itu melabrak mereka. Dia mengatai mereka perawan tua tukang gosip dan memberi mereka julukan “Tarareba Girls” (tarareba = seandainya, bagaimana kalau…) karena lebih suka berandai-andai daripada melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah hidup mereka.
Julukan itu menjadi tamparan keras bagi para mbak-mbak ini, terutama si tokoh utama yang bernama Rinko. Saking terguncangnya, Mbak Rinko jadi makin sering mabuk sampai halu melihat cemilannya menakut-nakuti dia dengan lebih banyak “seandainya”, mulai dari seandainya dia nggak nolak cowok yang naksir dia sepuluh tahun lalu, seandainya dia lebih muda dan lebih bisa “menarik” klien, seandainya dia lebih bisa kompromi dengan calon pasangan, pokoknya nggak ada habisnya deh.
Dalam 30 bab komik, kita bisa menyaksikan bagaimana pikiran-pikiran tentang “seandainya…” membuat Rinko dan teman-temannya makin terpuruk. Di satu sisi, mereka jadi ragu dalam membuat keputusan karena kebanyakan pertimbangan. Mereka pun jadi cenderung mengambil keputusan yang menjadi sumber masalah baru. Di sisi lain, mereka juga kesulitan move on karena terus-terusan berpikir seandainya mereka memilih jalan lain. Mereka pun tak kunjung keluar dari samudra kegalauan dan malah makin larut dalam nestapa.
Dari “Seandainya” jadi “Karena”
Setelah melalui berbagai kejadian, akhirnya Mbak Rinko mencapai sebuah realisasi yang membuatnya bisa bergerak maju dari keterpurukan. Dia memutuskan untuk berubah dari gadis “seandainya” menjadi gadis “karena”. Alih-alih menyesali masa lalu dan mencemaskan masa depan dengan sejuta pengandaian, dia menyadari bahwa hidupnya bisa jadi lebih baik kalau dia bisa menerima segala hal yang ia alami dengan berpikir, “Karena dulu ini terjadi, maka aku jadi seperti ini.”
Mbak Rinko secara khusus menyatakan bahwa pemikiran “Karena…” ini bukan sekadar alasan untuk tidak melakukan apa-apa saat kemalangan terjadi. Dari penggambaran sang komikus, kita akan melihat bahwa “Karena…” bagi Mbak Rinko adalah bentuk tanggung jawab atas segala hal yang telah dia lakukan.
“Seandainya”, “Karena”, dan Hukum Karma
Kita yang Buddhis atau akrab dengan konsep-konsep Buddhis tentu bisa mengenali penalaran Mbak Rinko sebagai bentuk penerapan hukum karma. Yap, dari komik “Tokyo Tarareba Girls”, saya makin bisa merasakan bahwa hukum karma bukan sekadar sistem moral atau semacam undang-undang yang ada untuk mencegah tindak kejahatan atau menentukan siapa yang masuk surga atau neraka. Hukum karma seharusnya punya fungsi lebih dari itu, yaitu melindungi kita dari penderitaan akibat kemelekatan terhadap masa lalu yang membuat kita terjebak dalam bermacam-macam pengandaian.
Kalau kita sehari-hari cuma menghindari perbuatan jahat dan banyak-banyak berbuat baik, kita belum tentu sudah sepenuhnya memahami dan menerapkan hukum karma dalam hidup kita. Kita mungkin baru bisa dibilang benar-benar mulai memahami karma ketika kita siap bertanggung jawab atas segala hal yang kita lakukan, baik atau buruk, dan senantiasa berusaha sebaik mungkin dengan kondisi yang dihasilkan karma kita di masa lampau beserta segala faktor pendukungnya.
Sebagai contoh, kita mungkin pernah bertanya-tanya, “White lie itu boleh nggak ya? Berbohong kan karma buruk, tapi kalau buat kebaikan harusnya jadi karma baik dong.” Namun, orang yang benar-benar yakin pada hukum karma mungkin akan berkata, “Setelah dipikir masak-masak, sepertinya aku perlu berbohong demi kebaikan orang banyak. Mudah-mudahan niat baikku berbuah baik bagi mereka dan diriku, tapi aku tetap siap menerima buah karma buruk dari tindakan berbohong.” Atau kemungkinan lainnya, mereka berpikir, “Aku tidak mau menanggung akibat dari karma buruk berbohong. Kalau memang kejujuranku membawa masalah, aku siap menghadapinya.”
Berhenti Berandai-Andai Bukan Berarti Kehilangan Harapan
Ketika Mbak Rinko memutuskan untuk “lulus” dari status gadis “seandainya”, dia juga memutuskan untuk mensyukuri tindakan-tindakan yang membuatnya menjadi seperti sekarang, termasuk tindakan yang nggak terlalu “terpuji” seperti mabuk dan berisik sampai dilabrak berondong. Ketika kita berhenti berandai-andai, kita berhenti memikirkan kesempatan yang sudah lewat ataupun hal yang belum terjadi. Sebuah ruang terbuka dalam otak kita untuk melihat hal-hal baik yang sudah kita miliki. Pemahaman akan hukum sebab-akibat pun membuat kita bisa melihat tindakan yang sudah kita lakukan di masa lalu sebagai sebab bagi hal-hal baik itu, bahkan tindakan yang paling bodoh sekalipun.
Namun, kalau kita bahkan bisa mensyukuri tindakan kita yang paling bodoh, bukankah artinya kita akan berhenti berkembang? Kalau gitu, artinya hukum karma bikin kita “mandek” dong. Terus kalau saat ini kondisi kita emang jelek banget dan nggak ada baik-baiknya, harus pasrah dong? Kan memang itu buah dari karma kita?
Dari titik perubahan Mbak Rinko, nggak banyak diceritakan bagaimana nasibnya setelahnya. Tapi satu hal yang pasti, dia sama sekali nggak terlihat pesimis. Justru sebaliknya, dia terlihat lebih lepas dan bersemangat sejak menerima “hukum karma” dalam hidupnya. Saya bisa bayangin kebebasan dari kecemasan dan penyesalan ditambah energi positif dari rasa syukur bikin Mbak Rinko punya energi lebih untuk menata hidupnya lebih lanjut.
Nggak cuma itu, kita harus ingat satu lagi aspek karma yang superpenting dan nggak boleh kita lupakan. Emang bener karma masa lampau kita menentukan nasib kita sekarang. Tapi itu artinya kita juga bisa membuat karma baru yang bakal menentukan masa depan kita kelak!
Dalam buku “Bertuhan, Beragama, dan Hal-Hal yang Belum Selesai”, Y.M. Biksu Bhadra Ruci menjelaskan hukum karma dengan uraian berikut:
“Inilah aspek dari hukum karma yang jarang disorot orang-orang, bahwa manusia tetap memiliki harapan (atau kehendak bebas dan pilihan) meskipun hidup dalam sebuah dunia yang didefinisikan Buddha sebagai berhakikat penderitaan. Dia bisa saja dipasung oleh jalan hidup yang penuh cobaan, tapi tidak sekali pun dia akan mengoper keputusan-keputusan dalam hidupnya kepada sesuatu selain dirinya sendiri.“
Menghayati Karma Butuh Proses
Komik “Tokyo Tarareba Girls” nggak cuma menunjukkan cara hukum karma bisa bikin kita lebih bahagia. Wong bagian “bahagia”-nya cuma kelihatan secuprit kok di episode terakhir. Bagi saya, bagian yang paling “menginspirasi” dari komik ini adalah bahwa untuk sampai pada penerimaan seperti yang diraih Mbak Rinko dan teman-temannya, ada proses panjang yang harus dilalui dan proses itu nggak sepenuhnya nyaman. Banyak sengsaranya malah. Meski demikian, tokoh-tokoh dalam cerita ini maju sedikit demi sedikit (kadang mundur sih, tapi habis itu maju lagi) dari jomblo ngenes dengan batin lemah yang terbuai dalam pengandaian sampai siap menerima cara kerja hukum karma untuk tumbuh berkembang dan memulai langkah awal menuju kebahagiaan.
Setelah mencapai “realisasi”, tokoh-tokoh “Tokyo Tarareba Girls” nggak mendadak berhenti berandai-andai sama sekali. Mereka masih suka ngumpul di bar buat gosip dan curhat. Tapi, kalau saya boleh menafsirkan, mereka sekarang nggak cuma berhenti di berandai-andai, tapi juga saling mendukung satu sama lain untuk mensyukuri apa yang telah mereka miliki dan menciptakan sebab-sebab kebahagiaan baru untuk masa depan.
Kita juga tentunya nggak bisa berharap setelah mendengarkan penjelasan tentang hukum karma satu kali, lalu kita merem sebentar, terus tiba-tiba cara pandang kita berubah sepenuhnya dan kita langsung bisa menerima semua hal yang terjadi dalam hidup kita. Ya iyalah, emang kita murid langsung Sang Buddha, dengar satu kalimat bisa langsung jadi arahat?
Saya sendiri merasa masih perlu benar-benar membedah setiap pengalaman dan perasaan saya. Dari situ, baru saya bisa menyadari sebutuh apa saya terhadap pemahaman soal hukum karma ini. Proses ini akan terus berlangsung sampai saya bisa menyimpulkan bahwa, “Ya, aku butuh nerapin hukum karma dalam hidupku.” Setelah itu pun saya mungkin masih harus terus mencari “bentuk” penerimaan saya terhadap hukum karma. Jangan sampai saya “puas” dengan asal nggak membunuh atau mencuri dan banyak-banyak berdana (yang baik buruknya pun nggak terjamin karena motivasinya sekadar “nurut aturan”), apalagi jadiin karma sebagai alasan untuk malas-malasan. Tentunya nggak ada jaminan saya nggak akan lupa dan jatuh lagi ke pola hidup yang lama, tapi namanya juga “Tahapan Jalan Menuju Pencerahan”, ya majunya setahap demi setahap kan?
Semoga kita semua bisa tumbuh dari orang-orang “seandainya” menjadi orang-orang “karena” yang benar-benar menghayati hukum karma dalam hidup kita.
Komik “Tokyo Tarareba Girls” bisa dibaca secara legal di aplikasi INKR. Adaptasi serial live action-nya juga bisa disaksikan di Netflix.