Ternyata sifat negatif yang kita miliki bukan bagian yang melekat dengan diri kita. Itulah kunci menjaga kesehatan mental yang disampaikan oleh Dharmaduta & aktivis pendidikan Hendra Wijaya di bincang-bincang online “Mental Bajik dan Tak Bajik – Ada Hubungannya Loh dengan Kesehatan Mental” dalam Nusantara Dharma Book Festival (NDBF) 3.0 tanggal 20 Agustus 2021 lalu.
Batin & Faktor Mental: Penjelasan dari “Sucikan Hati & Pikiran”
Kak Hendra memulai acara dengan mengutip bait terkenal dari Buddha Shakyamuni yang berbunyi:
“Hindari perbuatan buruk,
perbanyak perbuatan bajik,
sucikan hati dan pikiran,
inilah ajaran para Buddha.”
Kak Hendra menjelaskan bahwa meski dua baris pertama terdengar sederhana, praktiknya kadang tidak semudah itu. Maka dari itu, ada baris ketiga tentang menyucikan hati dan pikiran. Ini memang lebih sulit karena berurusan dengan hal nggak kelihatan, tapi Sang Buddha sudah mengajarkan caranya!
Cara kerja pikiran yang diajarkan Sang Buddha dan dijelaskan oleh Kak Hendra dalam acara ini bisa ditemukan dalam Abhidhamma. Pikiran kita terdiri atas batin utama (cita) yang bersifat netral dan 51 jenis faktor mental (cetasika) yang menyertainya. Ketika indra kita menangkap sesuatu, batin utama kita akan mengenalinya sementara faktor mental kita akan “mengomentari” hal itu sehingga kita bisa merasa senang, tidak senang, atau terdorong untuk melakukan tindakan.
Jenis-Jenis Faktor Mental
Kak Hendra kemudian menunjukkan berbagai pengelompokan faktor mental. Di antara beberapa kategori ini, yang menjadi perhatian khusus adalah faktor mental tak bajik dan faktor mental bajik. Emosi negatif yang biasa membuat kita menderita seperti kemarahan, kebencian, keragu-raguan, dan kesombongan termasuk dalam faktor mental tidak bajik yang juga dikenal dengan sebutan “klesha”.
“Semakin kita mengenali faktor mental ini secara detil, kita bisa mengaplikasikan obat penawarnya,” terang Kak Hendra.
Setelah itu, Kak Hendra juga menjelaskan sekilas tentang 11 faktor mental bajik; beberapa contohnya adalah keyakinan, menghargai diri sendiri, dan mempertimbangkan orang lain. Kak Hendra menekankan bahwa semua orang memiliki seluruh faktor mental ini. Jadi, pembunuh paling kejam sekalipun sebenarnya memiliki faktor mental bajik, hanya saja kalah kuat dengan faktor mental tak bajik yang mendorongnya melakukan pembunuhan seperti kebencian atau ketidaktahuan bahwa membunuh bisa mendatangkan penderitaan. Ketika kita memahami klesha apa saja yang dominan dalam diri kita, kita bisa belajar untuk mengatasinya dan berusaha membuat faktor mental bajik jadi lebih mendominasi sehingga kita lebih sehat secara mental.
“Tujuan mempelajari faktor mental adalah agar kita tahu bahwa kita punya senjata untuk membalikkan kondisi tidak menyenangkan menjadi kondisi menyenangkan,” kata Kak Hendra.
Fondasi Kebajikan, Fondasi Mental yang Sehat
Kak Hendra juga menjelaskan 3 hal yang menjadi fondasi untuk mengembangkan faktor mental bajik, yaitu keyakinan, aspirasi, dan wirya atau semangat. Keyakinan yang dimaksud di sini adalah keyakinan bahwa Triratna bisa melindungi kita, bahwa karma itu pasti sehingga perbuatan baik pasti membuahkan hasil yang baik. Dari situ, kita baru bisa punya keinginan untuk berhenti berbuat jahat dan melakukan lebih banyak kebaikan. Di sini, kita perlu membangkitkan aspirasi.
“Kalau tidak punya aspirasi, kita tidak akan mencapai apa-apa. Kalau punya aspirasi, pasti tercapai, waktunya saja yang belum tahu, tergantung pada usaha kita.”
Kak Hendra menambahkan bahwa umat Buddha di Indonesia kurang diajarkan tentang membuat aspirasi ini. Sebagai umat Buddha, kita seharusnya bisa membangkitkan aspirasi untuk mencapai Kebuddhaan demi menolong semua makhluk. Jika belum ingin sampai ke sana, kita bisa beraspirasi untuk bebas dari samsara. Jika masih terlalu jauh juga, setidak-tidaknya kita punya aspirasi meraih kehidupan mendatang yang bahagia.
“Kehidupan kita sekarang kebanyakan sudah ditentukan oleh karma pelempar kita dari masa lampau. Makanya sekarang kita persiapkan kehidupan yang akan datang dengan lebih bahagia.”
Kak Hendra kemudian mengaitkan hal ini dengan kejenuhan yang dirasakan banyak orang selama pandemi. Kita yang masih cukup beruntung untuk bisa tinggal diam di rumah kadang masih saja merasa bosan dan resah karena tidak bisa keluar rumah, tidak bisa bertemu dengan teman-teman, atau tidak bisa jalan-jalan. Kebosanan itu bisa ada karena kurangnya aspirasi bajik dan semangat untuk mewujudkan aspirasi itu. Padahal kalau kita punya aspirasi ini, kita pasti dengan mudah menemukan cara melakukan lebih banyak kebajikan dari rumah, misalnya belajar Dharma lewat buku atau siaran, membaca dan menghafalkan Sutta, hingga ikut kebaktian wihara online.
Jangan Takut Pamrih
Salah satu peserta menanyakan cara membedakan “aspirasi” dengan “pamrih” dalam berbuat bajik. Kak Hendra menjelaskan bahwa jangan sampai keinginan kita untuk melakukan kebajikan yang “sempurna” malah membuat kita batal melakukan kebajikan itu. Kenyataannya memang konsep hadiah & hukuman sebagai motivasi melakukan sesuatu sudah tertanam dalam diri kita sejak kecil, misalnya kita diiming-imingi mainan agar mendapatkan nilai bagus disekolah. Saat kita baru mulai berlatih melakukan kebajikan, tidak apa-apa mulai dengan rasa pamrih asal kita ingat untuk mengalihkan fokus kita pada aspirasi yang lebih penting seperti pencapaian Kebuddhaan demi semua makhluk. Dari situ, semakin sering kita latih, rasa pamrih akan berkurang hingga hilang sepenuhnya.
Kembali ke perihal kesehatan mental, Kak Hendra menyebutkan serangkaian aktivitas yang bisa kita lakukan untuk melatih diri kita. Caranya adalah mulai dari belajar untuk mengatasi ketidaktahuan kita, melakukan analisis dan diskusi, merenung, bermeditasi, kemudian berbagi.
Trauma dan Sifat Buruk Bisa Diatasi
Dalam kasus yang lebih berat seperti post-traumatic disorder syndrome (PTSD) yang ditanyakan oleh salah satu peserta, Kak Hendra menjelaskan bahwa kita bisa menggabungkan pemahaman tentang faktor mental dari sudut pandang Buddhis dengan dukungan psikiater atau psikolog klinis untuk menganalisis sebab dari trauma tersebut.
Seringkali sebab trauma yang dialami bukan dari perlakuan yang diterima seperti pukulan atau cacian, melainkan perasaan yang menyertai dalam kejadian itu, misalnya rasa tidak dicintai atau tidak diinginkan. Perasaan-perasaan itu berkaitan erat dengan faktor mental dan bukan hal yang menyatu dengan diri seseorang, ibarat pakaian yang bisa dilepas. Dengan memahami sebab trauma kita dan faktor-faktor mental yang bekerja sehubungan dengan trauma itu, kita pun akan tahu cara melepaskannya.
Contoh lain yang lebih sederhana adalah saat kita merasa diri kita pemarah. Kenyataanya kita tidak marah-marah terus selama 24 jam. Kita baru marah ketika ada sesuatu yang memicu. Kemarahan, sama seperti faktor mental tak bajik lainnya, bisa dipelajari, dicari sebabnya, dan diatasi dengan penawarnya. Begitu pula faktor mental bajik bisa dilatih sehingga makin dominan dan kita makin bahagia.
“Kita bisa memperoleh ketenangan setelah mempelajari batin dan faktor mental karena kita tahu bahwa segala hal buruk itu tidak menyatu dengan diri kita. Itu semua bisa diatasi,” demikian pesan penutup dari Kak Hendra.
—
NDBF Talk: “Mental Bajik dan Tak Bajik – Ada Hubungannya Loh dengan Kesehatan Mental” bisa disaksikan di sini.
Ikuti juga bazar buku & rangkaian acara NDBF 3.0 di ndbf.lamrimnesia.com