Dilema Beribadah di Borobudur
oleh: Junarsih
Senyaman-nyamannya kita tidur di segala tempat, pasti lebih nyaman kalau tidur di rumah sendiri. Rumah sendiri menjadi tempat yang paling kita pahami, mulai dari mana ruang tamunya, kamar tidurnya, kamar mandinya, ruang makan, hingga dapurnya. Tapi, kalau rumah milik kita itu yang mengolah tetangga karena kita tidak peduli, gimana? Pasti kita hanya akan menjadi tamu kalau tidur di rumah sendiri.
Kisah rumah ini menjadi perumpamaan yang muncul di pikiran saya mengingat Borobudur yang sedang dalam posisi semu. Borobudur yang merupakan warisan nenek moyang ini masih belum tahu mau dibawa ke mana — mau dibawa ke mana hubungan kitaaa. Entah mau jadi tempat wisata komersial, wisata religi, atau bahkan cuma tempat penelitian saja. Umat Buddha gimana partisipasinya? Aku yo bingung embuh rek… rek…
Daripada bingung, ayo kita sama-sama baca curhatan dari seorang fasilitator Hak Asasi Manusia untuk masyarakat adat bernama Agung Nugroho yang tinggal di Magelang, cedak Borobudur iki!
Curhatan ini saya dengar pada Minggu sore, 18 April 2021, tepatnya dalam sesi tanya-jawab acara Lamrim Talk dengan tema “Berziarah ke Borobudur: Wisata atau Praktik?” yang diadakan oleh Lamrimnesia. Narasumber waktu itu adalah Agus Hartono (Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah, Religi, Tradisi, dan Seni Budaya Kementerian Pariwisata 2016-2019) dan Johnson Khuo (Dharmaduta pemerhati Candi Borobudur).
Susahnya Mau Ziarah di Borobudur
“Di sini saya mau sampaikan fakta yang sebenarnya saja, dan saya bertanggung jawab atas segala pernyataan saya, karena toh ini juga direkam gitu,” tutur Agung ketika memulai curhatannya.
Ini fakta yang Agung alami sendiri saat ia dan kerabat berkunjung ke Borobudur untuk ziarah.
“Kenyataannya saya sendiri mengalami. Ketika saya membawa tamu atau saudara atau kerabat yang akan ziarah ke Candi Borobudur, bahkan kita sudah membeli tiket wisata untuk melakukan prosesi di sana, susah sekali.”
Kejadian unik saat Agung bersama rombongan ingin melakukan ziarah adalah harus kejar-kejaran dulu dengan satpam yang ada di candi. Bukan balapan lari, tapi Agung dan rombongan harus menaati prosedur yang konon dikatakan sangat rumit. Untuk melaksanakan ibadah di Borobudur, umat harus mengirim surat ke Balai Konservasi, Kementerian Kebudayaan, dan BWCB. Surat itu pun harus disampaikan paling tidak 3 minggu sebelum pelaksanaan.
Selain izin dengan menyampaikan surat ke beberapa pihak sebelum ziarah dilaksanakan, masih ada ketentuan lain dari pihak pengelola yang mempersulit aktivitas spiritual di Candi Borobudur.
“Kita akan ziarah, tentunya kita semua memahami bahwa untuk melakukan sebuah upacara kita memerlukan sarana, prasarana upacara, nggih. Dalam hal ini yang biasa digunakan adalah dupa, itu kita nggak boleh.”
Alasan pihak pengelola Borobudur melarang umat menggunakan dupa untuk kegiatan ziarah adalah karena abu dan asap dupa dapat merusak batuan candi. Di sisi lain, mereka tidak pernah berpikir bahwa alas kaki yang digunakan pengunjung bisa merusak batuan candi. Saya sebagai penulis juga merasa aneh kalau dupa tiga batang saja dipermasalahkan. Misal ada 50 orang yang mau pradaksina di stupa utama tanpa alas kaki. Tiga dupa dikalikan 50 orang, sudah 150 dupa. Bandingkan saja dengan ribuan wisatawan komersial yang naik ke atas Candi Borobudur setiap harinya dengan memakai alas kaki, sudah jutaan gesekan alas kaki terhadap batu candi yang justru bisa menyebabkan kerusakan yang lebih berat.
Baca juga: Candi Borobudur, Tempat Suci atau Asbak Terbesar di Dunia
Agung juga menambahkan, “Tapi pernyataannya kontraproduktif ketika di Borobudur kita tidak boleh bakar dupa. Di Candi Mendut yang jaraknya tidak lebih dari 5km ke selatan Borobudur, di sana boleh bakar dupa.”
Di Candi Mendut setiap harinya pasti ada yang membakar dupa di sana, abunya jatuh pada tempat ditancapkannya dupa, sedangkan asapnya berkeliaran di dalam candi. Tapi candi itu sejauh ini aman-aman saja. Kalau begitu, kenapa dupa dilarang di Candi Borobudur?
Diusir Saat Meditasi di Tempat Sepi
Agung Nugroho pernah masuk ke Candi Borobudur sebagai pengunjung biasa dengan tiket wisata. Kemudian ia melakukan pradaksina dan samadhi di sekitar candi.
“Sudah mencari tempat yang sangat sepi sekali, sehingga kemungkinan untuk mengganggu wisatawan komersial sangat kecil, kita diusir satpam,” ujar Agung.
Meski sudah mencari tempat yang seperti untuk bersamadhi, tetap saja Agung diusir oleh petugas keamanan yang sedang bertugas dengan alasan mengganggu kenyamanan wisatawan. Apa salahnya orang sedang duduk diam menenangkan diri ini? Sedang duduk diam lho! Bayangkan saja, orang duduk diam diusir, tapi pengunjung yang membuang sampah sembarang dan mendaki stupa kok tidak diusir? Satpamnya barangkali sedang tidur jadi tidak sempat mengusir mereka. Ini tentu fenomena yang “unik”, orang yang bersamadhi dengan tenang harus mengalah dari jutaan kaki yang menginjak benda suci!
Tidak Boleh Mendekat ke Candi
Agung menceritakan bahwa ia punya sahabat di Bali yang mengelola jasa tour & travel. Sebelum pandemi COVID-19 melanda, minimal dua kali dalam sebulan ia diminta sahabatnya untuk memfasilitasi wisatawan yang rata-rata berasal dari Tibet dan Thailand untuk berziarah ke Borobudur. Bahkan ia juga mengundang biksu-biksu setempat, seperti Y.M. Bhikkhu Sri Pannavaro dan biksu-biksu lain yang berasal dari Semarang dan sekitarnya untuk ikut berziarah ke Candi Borobudur.
Tapi, inilah ungkapan Agung yang sebenarnya terjadi di lapangan, “Untuk melakukan prosesi di candi atau di mandala Gunadarma Bhumisambhara, kita nggak bisa, dan kita ditempatkan di area yang cukup jauh dari candi.”
Kenapa tidak boleh mendekat ke candi? Alasannya masih sama, karena rombongan peziarah menggunakan sarana upacara seperti sesajen, dupa, dan lainnya. Lagi-lagi masalah dupa, saya gemes. Seharusnya kan alas kaki juga tak usah dipakai saja kalau memang mau menjaga batu candi!
4 Kebenaran Arya untuk Melawan Kesedihan Borobudur
Meski Borobudur bukan benda hidup, tapi saya yakin kini ia sedang merasa kesedihan yang mendalam. Ditambah lagi para nenek moyang yang berada di alam lain pasti geleng-geleng kepala melihat kita semua. Mereka mendirikan mandala terbesar di dunia supaya para cucu bisa belajar tentang kehidupan demi meningkatkan kualitas spiritual. Tapi, kini para cucu malah melempar sampah di dalamnya. Duh Gusti, pangapurane!
“Sedih itu kan tahap 1, tahap 2 itu kan kita perlu melakukan sesuatu untuk mengatasi sedih itu,” ujar Johnson Khuo menanggapi curhatan Agung tentang sulitnya beribadah di Borobudur.
Sedih itu boleh, yang tidak boleh adalah larut dalam kesedihan dan tidak pernah bangkit untuk meraih kebahagiaan. Buddha mengajarkan tentang 4 Kebenaran Arya untuk mengatasi segala penderitaan yang sedang kita alami. Menurut Johnson, pola pikir itu bisa kita terapkan untuk menyikapi kenyataan pahit yang terjadi pada Borobudur.
Kebenaran Arya pertama adalah tentang dukkha atau penderitaan. Artinya kita perlu tahu ada penderitaan, yaitu bahwa untuk ziarah di Borobudur begitu susah. Kedua, memahami sebab-sebab penderitaan, yaitu kealpaan partisipasi umat Buddha dalam pengelolaan Candi Borobudur sehingga fungsi spiritualnya tidak diperhitungkan dalam pengembangan dan prosedur pemanfaatan candi dan kalah dengan fungsi lainnya. Ketiga, hilangnya penderitaan, artinya kita perlu tahu Candi Borobudur seperti apakah yang ideal dan bisa memberi manfaat kepada semua pihak. Tentunya kita menginginkan fungsi spiritual, edukasi budaya, dan pariwisata bisa seimbang di Borobudur. Keempat, jalan menuju berakhirnya penderitaan, artinya kita perlu secara aktif mencari cara untuk meraih akhir penderitaan tersebut dan menjalankannya.
Solusi untuk Status Borobudur
“Apa yang disampaikan Pak Nugroho tadi adalah buah dari kebijakan yang menempatkan Borobudur hanya sebagai perspektif arkeologi dan pariwisata. Itu poinnya itu, Pak,” tutur Agus Hartono menanggapi Agung Nugroho.
Lebih lanjut, Agus menerangkan bahwa ia pun sudah sejak lama mendengar berbagai masalah, salah satunya terkait umat dan biksu yang memperoleh berbagai larangan untuk beribadah di Candi Borobudur.
“Itu memang fenomena yang terjadi dan kalau menurut saya pribadi, hal itu bisa diubah kalau pengelolaannya tidak hanya dari berbasis arkeologi dan pariwisata. Walaupun saya bagian dari pariwisata, saya dan teman-teman mengkritik itu,” tegas Agus.
Kritikan Agus dengan teman-temannya dari bagian pariwisata terhadap Borobudur adalah bahwa Candi Borobudur tidak seharusnya hanya menjadi tempat wisata komersial saja. Bahkan Borobudur bisa menjadi Mekkahnya umat Buddha. Seperti Mekkah yang dikelola oleh umat Islam yang lebih mengetahui tata cara ibadahnya, begitu pula dengan Borobudur sudah seharusnya dikelola oleh Umat Buddha juga. Sejauh ini, umat Buddha tidak pernah terlibat sehingga menimbulkan berbagai kesulitan saat umat Buddha akan beribadah di Borobudur, mulai dari tidak boleh menyalakan dupa bahkan sampai diusir saat bersamadhi.
Andai saja umat Buddha terlibat yang akan terjadi pasti seperti ini. Berhubung umat Buddha tidak terlibat, samadhi dianggap aktivitas yang tidak normal, sehingga diusir.
“Makanya ke depannya kita harus serius memfasilitasi, mendampingi, pengelolaan Borobudur ke depan agar mayoritas atau main activity-nya untuk ibadah,” imbuh Agus Hartono.
Kesimpulan
Borobudur harus segera diketahui statusnya, akankah ia tetap menjadi tempat pariwisata komersial, ataukah ia akan berubah menjadi tempat ibadah untuk menggugah spiritualitas umat manusia?
Yang pasti, kalau umat Buddha turut berpartisipasi dalam pengelolaan Candi Borobudur, maka, nilai spiritualnya akan lebih terlihat. Setiap umat Buddha yang ingin beribadah di candi akan memperoleh tempat tanpa khawatir akan diusir oleh petugas keamanan. Setiap umat Buddha yang akan pradaksina dengan mengelilingi stupa utama atau bahkan keseluruhan candi tidak perlu khawatir lagi untuk menyalakan dupa.
Selain itu, umat Buddha tentu bisa berperan aktif dalam menggali Outstanding Universal Value berupa ajaran Buddha yang menjadi landasan pendirian Borobudur. Dengan demikian, tidak hanya umat Buddha, tapi seluruh bangsa Indonesia dan dunia bisa datang ke Borobudur untuk belajar tentang cara hidup berwelas asih tanpa membeda-bedakan seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Semoga pemerintah benar-benar menepati janji mereka untuk menjadikan Borobudur tempat ibadah umat Buddha dunia. Sampai itu terwujud, yuk kita juga buka mata dan telinga untuk lebih mengenal Borobudur, lalu buka mulut untuk memperjuangkannya!