oleh Shierlen Octavia
Setiap dari kita pastinya pernah berandai-andai tentang sesuatu.
Misalnya: kalau saja di dunia ini tidak ada Mark Zuckerberg, saat ini pastinya kita tidak bisa bersua dengan teman yang terpisah laut dan samudera di Facebook. Kalau saja di dunia ini tidak ada Larry Page dan Sergey Brin, jangan bayangkan kita bisa berselancar di Google untuk mencari-cari informasi. Ketika membayangkan kemungkinan ini, kita tentunya jadi merasa amat bersyukur karena penemu-penemu ini hadir di dunia. Berkat mereka, kehidupan kita kini amat dimudahkan.
Akan tetapi, pernahkah kita bayangkan, apa jadinya kalau Buddha tidak pernah hadir di dunia ini? Akankah kehidupan kita berjalan seperti saat ini? Adakah pengaruh Buddha dalam hidup kita?
Sebelum ke sana, mari kita bersama-sama berpikir untuk tujuan apa sebenarnya kita masih bertahan hidup di dunia hingga kini. Setelah sekian tahun hidup di dunia, tiap dari kita akhirnya menyadari bahwa tujuan hidup kita adalah untuk mencapai kebahagiaan. Untuk bisa merasakan hal ini, kita berusaha menuruti keinginan lahiriah kita. Kita akan melakukan apa yang keinginan kita kehendaki; ke mana pun tubuh dan batin ingin melangkah, ke sana pulalah kita akan bergerak. Sebagai contoh, ketika perut kita mulai keroncongan, kita akan mulai gusar dan mencari makan sesuai dengan selera kita. Kalau kita ke pusat perbelanjaan dan pikiran kita mendadak berkata: “Bagus banget bajunya, aku mau!”, kita (tanpa sadar) melangkahkan kaki kita ke dalam toko dan membelinya. Keinginan-keinginan tersebut, selayaknya air terjun, tidak pernah berhenti mengalir karena kita tidak akan pernah kehabisan ide mengenai hasrat apa yang butuh kita puaskan hari ini. Kita berpikir dengan menuruti keinginan-keinginan ini, kita akan mendapatkan kebahagiaan yang kita dambakan. Kita sering lupa pada fakta bahwa hasrat tersebut memiliki satu sifat yang sudah pasti tidak bisa memberikan kita kebahagiaan: Ia pada dasarnya tidak pernah bisa dipuaskan seutuhnya. Namun, tanpa menyadari dan memedulikan fakta ini, terkadang kita tak segan berbuat buruk dan menghalalkan berbagai cara demi bisa memuaskan keinginan tersebut, yang bukannya semakin kecil tapi berangsur-angsur membesar. Benarkah cara hidup yang demikian akan membawa kita pada tujuan kita?
Di sinilah Buddha hadir untuk ‘menyentil’ kita demi menyadarkan kita pada hal yang benar-benar penting untuk kita perjuangkan di dunia. Sudah lebih dari 2.500 tahun berlalu sejak Buddha Shakyamuni datang mengajar di dunia. Selama itu pula dunia mengenal ajaran-Nya. Mengapa Buddha harus repot-repot dilahirkan di Kapilawastu, menjalani kehidupan sebagai seorang pangeran, namun pada akhirnya malah melucuti seluruh kekayaan dan kenikmatan yang Ia peroleh lalu pergi bertapa bahkan sempat menyiksa diri? Buddha bukannya bosan dan tidak ada kerjaan. Buddha melakukannya karena Beliau ingin mencari obat bagi semua makhluk. Obat dari segala jenis hal yang membuat tidak hanya manusia, tetapi juga makhluk-makhluk lainnya dari 31 alam kehidupan, tidak pernah merasakan kebahagiaan sejati. Melalui perjalanan panjang Beliau selama berkalpa-kalpa, Beliau menemukan bahwa hakikat kehidupan ini adalah anicca, selalu berubah dan tidak kekal. Hal yang kita kehendaki kerap kali tidak berjalan sesuai dengan rencana kita. Hal yang tidak kita sukai menyengsarakan diri kita. Akan tetapi di satu sisi, ada kalanya hal yang kita sukai pun tidak lagi membawa kebahagiaan bagi diri kita. Intinya, Buddha mengajarkan kepada kita semua bahwa tak satu pun hal yang ditawarkan oleh dunia ini membawa kebahagiaan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, menuruti keinginan kita dengan membabi buta ketika kita sudah diberkahi dengan akal dan empati yang hadir sepaket dengan tubuh manusia yang berharga ini malah bisa menjauhkan kita dari kebahagiaan yang kita inginkan.
Jika demikian, hal apa yang semestinya dilakukan oleh seseorang untuk bisa mencapai kebahagiaan yang setara dengan kebahagiaan Buddha? Menyempurnakan sila, samadhi, prajna, dan hidup seturut dengan hukum karmalah yang seharusnya dilakukan. Beliau mengajarkan kita bahwa barang siapa berbuat baik, maka kebaikan pula yang akan diterimanya. Begitu pula sebaliknya. Sama seperti bibit mangga tidak mungkin tumbuh menjadi durian, perbuatan buruk tidak akan menghasilkan kebaikan. Kalau kita menginginkan kebahagiaan, satu-satunya jalan hanyalah berbuat baik. Begitulah kurang lebih yang ingin Buddha sampaikan pada kita.
Saat ini, kita beruntung karena kita masih bisa memperoleh Dharma. Kita masih diberikan kesempatan dan tenaga untuk mempraktikkan Dharma. Bandingkan diri kita saat ini dengan diri kita beberapa tahun silam. Adakah perbedaan yang timbul sebelum dan sesudah mengenal Dharma? Memaknai setiap petikan kalimat Dharma dalam keseharian niscaya membuat kita menjadi orang yang lebih kuat dan bermartabat. Namun sayangnya, kita seringkali kurang menghargai hal-hal baik yang kita dapat. Misalnya, jika kita merujuk pada contoh awal, kita pikir bisa mengakses Google di mana saja dan kapan saja adalah hal wajar yang bisa diperoleh siapa saja. Padahal, masih banyak daerah terpencil di dunia ini yang bahkan belum memiliki peradaban yang sama dengan kita saat ini. Tidak perlu jauh-jauh, kita juga sering menganggap bisa makan tiga kali sehari sebagai hal yang biasa-biasa saja, sementara di belahan dunia lain, ada orang yang mesti berjuang untuk bisa makan setidaknya satu kali dalam sehari. Mungkin, kita terlalu angkuh dan menganggap bahwa keberkahan pasti akan selalu dilimpahkan pada kita. Padahal hal-hal sederhana yang kita peroleh setiap harinya adalah hasil dari banyak tangan: perbuatan baik yang masing-masing dari kita upayakan dan peran makhluk lain di dalamnya. Tidak ada satu hal pun dalam hidup kita yang terjadi tanpa sebab dan akibat yang saling bergantung. Sama halnya dengan Dharma, mungkin kita berpikir bisa mendengarkan Dharma adalah hal sehari-hari yang bisa didapatkan oleh siapa saja. Namun berapa banyak orang yang sesungguhnya benar-benar punya kesempatan untuk mempraktikkannya? Benarkah Dharma bisa hadir di hidup kita dengan semudah itu?
Kehadiran seorang Buddha, secara simbolis maupun secara konkret, menjadi pengingat dan teladan bagi kita yang mengejar kebahagiaan sejati. Tanpa Buddha yang mengajarkan kita cara mengembangkan batin kita dengan terampil, tak terbayangkan perbuatan-perbuatan jahat seperti apa yang akan dan telah kita lakukan untuk mengejar definisi bahagia kita yang superfisial. Banyak orang di luar sana yang tidak memahami Dharma rela berbuat jahat demi materi dan reputasi. Akibat dari perbuatan tersebut pun beragam, mulai dari yang merugikan secara ringan untuk masing-masing orang hingga yang sifatnya sangat merugikan bagi banyak orang. Misalnya, berapa banyak orang yang dirugikan karena tindak korupsi oknum pejabat? Berapa banyak nyawa yang melayang demi melindungi diri dari jeratan hukum? Memang betul bahwa hal ini tidak hanya terjadi pada orang yang tak mengenal Dharma. Ketika kita mengenal dan mencoba mempraktikkan Dharma pun, kita sering menemui kerikil-kerikil yang membuat kita lagi-lagi gagal menaklukkan klesha dalam batin. Namun, selama kita masih meletakkan keyakinan dan pengharapan kita kepada Triratna, Buddha akan selalu menampakkan sosok dan membantu kita melalui berbagai perantara yang mungkin tak terpikirkan oleh kita; keluarga, sahabat, guru, bahkan mungkin orang asing yang ada di sekitar kita. Meskipun tak jarang bernada negatif, anicca yang Buddha ajarkan kepada kita–apa yang terkondisi tidaklah akan bertahan selamanya–memberikan harapan bagi setiap insan bahwa batin kita yang liar dan bandel tidaklah akan seperti ini hingga akhir zaman. Selama kita mengikuti teladan Buddha, sosok yang mengajarkan semua makhluk tanpa pilih kasih, batin kita akan dituntun untuk belajar menyikapi keinginan demi keinginan yang kita miliki dengan bijaksana. Melalui Beliau, kita dihindarkan dari risiko jatuh ke dalam penderitaan karena perbuatan kita sendiri sambil tetap bisa menikmati hal-hal baik yang kita peroleh tanpa melekat kepadanya. Hal berharga yang tiada taranya inilah yang Buddha wariskan pada kita ketika Beliau hadir di dunia.
Jadi, apa yang terjadi kalau Buddha tidak pernah hadir di dunia? Hukum karma tidak akan menghilang walaupun Buddha tidak mengajarkannya pada kita. Corak kehidupan tidak akan berganti meskipun Buddha tidak mengatakannya pada kita dua setengah milenium silam. Toh bukan Buddha yang menciptakan seisi alam semesta beserta hukum di dalamnya. Akan tetapi, coba kita tanyakan pada diri kita masing-masing, tanpa kehadiran seorang Buddha di dunia, akankah kita menyadari hal ini dan membuat perubahan baik dalam batin kita?
Referensi:
“Bertuhan, Beragama, dan Hal-Hal yang Belum Selesai: Sebuah Perspektif Buddhis Indonesia” oleh Y. M. Biksu Bhadra Ruci