oleh Shierlen Octavia
Ketika mendengar kata “Buddha”, hal apa yang pertama kali terlintas di benak kita? Jawabannya mungkin akan sangat beragam sebab kata “Buddha” pun sesungguhnya menyandang banyak makna, tergantung dari perspektif yang kita gunakan. Ada yang mengingat Buddha sebagai Pangeran Siddhartha, ada yang lalu mengingat arti kata Buddha, yaitu “yang tersadarkan”. Kemudian, ada pula yang mungkin mengingat Buddha sebagai sebuah kualitas—benih yang disebut-sebut ada di dalam diri setiap makhluk hidup. Meskipun begitu, hingga 2000-an tahun berlalu, Buddha yang kita tahu masihlah Buddha Shakyamuni seorang dan tak pernah barang sekali pun kita mendengar ada nama Buddha lain yang hidup di dunia modern. Kalau semua orang punya benih Kebuddhaan, kok sampai sekarang belum ada Buddha yang baru? Benarkah pernyataan bahwa kita memiliki benih Kebuddhaan?
Sebelum membahas mengenai benar atau tidaknya pernyataan di atas, kita mengetahui dengan pasti bahwa sosok Buddha yang dikenal oleh khalayak umum adalah sesosok manusia bernama Siddhartha Gautama yang terlahir sebagai seorang pangeran di Kerajaan Kapilawastu beribu tahun yang lalu. Sama seperti masa sekarang, Buddha di zaman dulu tidak terdiri dari banyak orang yang bisa kita temukan di mana-mana, lalu kita sapa dengan santai layaknya bertemu kawan lama. Kelangkaan ini bahkan tergambarkan dalam sebuah kejadian dalam kehidupan Buddha Shakyamuni. Dahulu kala, ketika Buddha tengah berdiam di Kota Āpana, ada seorang guru Brahmana bernama Sela yang kala itu mendengar kata “Buddha”. Ketika mendengarnya, Beliau berkata, “Sungguh jarang mendengar kata ‘Buddha, Buddha’ di dunia ini”. Akan tetapi, sebenarnya yang lebih jarang lagi adalah munculnya seorang Buddha. Hal ini karena untuk menjadi Yang Tersadarkan, kita harus menyempurnakan parami selama masa hidup yang amat sangat panjang.
Mengetahui hal tersebut, mungkin akan timbul keraguan di hati kita mengenai kebenaran Buddha dalam wujud kualitas—benih Kebuddhaan di dalam diri kita. Soalnya, kemungkinan kita untuk menjadi seorang Buddha rasanya sama mustahilnya seperti kemungkinan monyet akan bertelur. Setelah 2564 tahun lamanya kita mati lalu terlahir, lalu mati dan terlahir dalam siklus kehidupan yang tak terhitung, hingga kini kita masih saja manusia biasa yang terjebak di lingkaran samsara. Itu baru sebagian kecil dari perjalanan para bakal Buddha untuk mencari obat dari lahir, tua, sakit, dan mati yang lamanya lebih dari 550 kisah Jataka yang pernah dikisahkan oleh Buddha. Dibutuhkan empat asankheyya dan seratus ribu kalpa lamanya hingga Buddha yang kini kita kenal dengan nama Buddha Shakyamuni bisa mencapai kesempurnaan, dengan catatan bahwa satu kalpa saja setara dengan belasan juta tahun.
Meskipun tampak mustahil, jikalau kita pikir-pikir lebih jauh, sosok Buddha Shakyamuni sesungguhnya tidaklah jauh berbeda dengan kita. Pertama, Beliau mulanya adalah manusia yang sama seperti kita. Kedua, Beliau menyadari bahwa hidup dalam samsara tidak membawa kebahagiaan sejati dan bertekad untuk keluar darinya. Dalam hal ini, kita pun sama. Kita mengetahui dari Beliau betapa jahanamnya samsara, lengkap beserta dengan jalan untuk mengakhirinya. Ketiga, kualitas yang Beliau miliki pun pada dasarnya kita miliki. Sebagai contoh, kita memiliki kualitas wirya (viriya), yang secara ringkas diartikan sebagai kualitas semangat walaupun tentunya belum kokoh dan tak dapat digentarkan seperti Buddha. Artinya dalam hal ini, hanya satu hal yang membedakan kita dengan Beliau: Buddha sudah menyempurnakan kualitas tersebut sementara kita masih dalam perjalanan untuk sampai ke sana.
Berbeda dengan kita yang kadang naik kadang surut dalam upaya mencapai Kebuddhaan, para Buddha pendahulu tidak pernah patah semangat dan selalu gencar dalam praktiknya. Pengetahuan paripurna tentang kehidupan yang kini kita terima sebagai Dharma berasal dari pencapaian Beliau, hasil dari rentetan uji coba yang tak jarang menemui kegagalan dan hambatan. Beliau telah melalui tak terhitung banyaknya kehidupan, dan tak ada satu pun dari kehidupan yang Beliau jalani berlalu dengan sia-sia. Dari Jataka dan kitab-kitab, kita tahu bahwa selalu ada usaha yang diberikan di dalamnya untuk menolong semua makhluk. Hal ini merupakan salah satu kualitas yang sangat patut dikagumi, sebab tak pernah ada sejarah Buddha membeda-bedakan antara satu makhluk dengan yang lainnya. Buddha menolong siapa saja, baik yang merugikan maupun menguntungkannya. Bahkan Buddha mengasihi Dewadatta yang berulang kali mencoba membunuhnya sama seperti mengasihi anak kandungnya sendiri!
“Yah, bedalah antara kita dan Buddha, Buddha ‘kan selalu terlahir jadi makhluk-makhluk agung. Kita mah cuma remah-remah rengginang.”
Jika kita berpikir seperti itu, kita mungkin lupa atau belum pernah dengar kata Buddha yang satu ini: Buddha pernah menganalogikan jumlah kisah hidup yang Ia ceritakan dan jumlah pengalaman-Nya yang sebenarnya sebagai semangkuk air laut dan samudra. Hal yang kita kira sudah kita ketahui dengan jelas sesungguhnya bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan keseluruhan perjuangan Beliau. Semangkuk kisah luar biasa tentang keagungan Buddha bisa ada berkat satu samudra perjuangan-Nya jatuh bangun melawan klesha di enam alam kehidupan yang mungkin tak jauh berbeda dengan apa yang kita lalui.
Mengetahui hal ini, tentunya tidak mengherankan apabila banyak kitab yang menyebutkan bahwa Buddha adalah sosok sempurna. Kesempurnaan yang dimiliki Buddha bukan hanya ongkos mulut semata. Beliau memiliki empat jenis tubuh (Svabhavakaya, Jnana-dharmakaya, Sambhogakaya, dan Nirmanakaya). Sambhogakaya Buddha yang terdiri dari 32 tanda utama dan 80 tanda sekunder eksis bukan untuk pertunjukan teatrikal belaka. Tubuh fisiknya tersebut memungkinkan Beliau untuk bertindak dengan ahli—tidak hanya memberikan apa yang kita butuhkan, tetapi juga yang kita inginkan. Sebagai manusia biasa, kita sering kali gagal untuk memenuhi salah satu dari keduanya. Saat kita bisa memberikan yang orang lain butuhkan, kita gagal memberikan yang mereka inginkan. Begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, Buddha, mampu mencerahkan banyak orang dengan masing-masing keinginan dan tingkat pemahaman yang berbeda, hanya dengan mengucapkan satu kalimat yang sama.
Buddha berawal dari eksistensi-Nya sebagai manusia. Pernyataan ini saja sesungguhnya sudah memberikan petunjuk bahwa Kebuddhaan adalah potensi terbesar yang bisa kita wujudkan sebagai manusia, terlepas dari ras dan suku kita, bahasa yang kita gunakan, latar belakang keluarga yang kita miliki, kaya atau miskin—apapun itu. Tidak pernah kita temukan dalam satu bagian dari kitab mana pun yang menyebutkan misal: orang Indonesia tidak bisa jadi Buddha karena ia tidak mengerti bahasa Pali; atau orang miskin tidak bisa menempuh jalan Kebuddhaan. Hal tersebut karena tidak ada kondisi apa pun yang sebenarnya mengekang kita untuk menjadi Buddha dengan tubuh manusia, kalau bukan diri kita sendiri yang memang tidak menghendakinya. Buddha sendiri, sang revolusioner agung yang membawa makna sejati dari hakikat kehidupan ini pun berkata bahwa seseorang tidak menjadi mulia karena dilahirkan dalam keluarga tertentu. Beliau menjadi mulia karena perilakunya. Oleh sebab itu, adanya kesempatan untuk berperilaku seperti yang telah diajarkan guru kita, Buddha, adalah yang sebab nilai kehidupan kita sebagai manusia menjadi berharga.
Keagungan Sang Buddha ini mungkin bisa membuat kita berkecil hati di hadapan Beliau. Akan tetapi bagi saya, Buddha justru memberikan secercah harapan. Menurut saya, Buddha dan kita ibarat bunga yang sudah mekar dan benih bunga yang baru akan tumbuh. Benih bunga memiliki kualitas-kualitas yang nantinya akan tumbuh menjadi bunga. Karena masih berbentuk benih, maka kita tidak bisa melihat kelopak, putik, atau mahkota bunganya. Akan tetapi, kita tahu bahwa ketika kita berusaha menyiram, memupuk, dan menyingkirkan hama yang bisa merusaknya, benih tersebut akan berkembang menjadi bunga yang cantik lengkap dengan kelopak, putik, mahkota, dan bagian lainnya yang semula tak bisa kita lihat. Kondisi kita saat ini juga demikian. Kita masih diliputi hama bernama klesha dan kita jarang menyiram diri kita dengan air yang bernama perbuatan bajik. Makanya, kita merasa Buddha adalah sesuatu yang teramat sangat jauh dan berjarak dengan diri kita. Padahal, jika kita renungkan baris-baris sebelumnya, kita tahu bahwa kita tidak kekurangan kualitas yang juga dimiliki Beliau sebelum mencapai Kebuddhaan. Kita tidak perlu merasa iri pada Pangeran Siddharta yang sudah berhasil apalagi merasa tidak mampu.
Meskipun sulit, dari sini kita tahu bahwa pada dasarnya manusia pasti memiliki modal untuk menjadi seorang Buddha. Kita bisa melihat usaha-usaha luar biasa dari para ilmuwan zaman dahulu yang mesti gagal bahkan hingga ribuan kali sebelum berhasil menemukan banyak hal yang kini menyokong kehidupan manusia. Hal ini adalah sebuah pertanda baik dan bahan bakar bagi kita untuk meyakini bahwa kelahiran kita sebagai manusia memiliki potensi tak terbatas yang bisa melesat jauh, seminimal-minimalnya bahkan bisa seperti para ilmuwan itu. Oleh karena itu, biarpun jalan yang kita lalui sudah pasti akan menjadi jalan yang panjang dan sulit, namun usaha mencapai Kebuddhaan yang lengkap sempurna tidaklah mustahil, apalagi sia-sia.
Sama seperti kalimat guru Brahmana bernama Sela pada zaman Buddha, nama “Buddha” mungkin jarang terdengar di sekitar kita. Akan tetapi, kita, dari 7,61 milyar manusia di muka bumi ini, masih bisa mendengar kata “Buddha”. Tak hanya itu, kita juga amat beruntung bisa memperoleh Dharma dan semangat Kebuddhaan dari seorang guru yang sudah mencapai tingkatan Buddha—yang menjadi sebab bagi munculnya Buddha itu sendiri di dalam diri kita. Buddha telah berpesan bahwa kerajaan terbesar yang dapat ditaklukkan oleh seorang manusia sebenarnya terletak di dalam diri kita sendiri. Jika kita dapat menguasai kerajaan ini seutuhnya, niscaya kebahagiaan sejati yang melampaui ruang dan waktu akan menjadi milik kita selamanya. Pertanyaan yang tersisa hanya satu: seberapa besar keinginan kita mencapai Kebuddhaan untuk menolong semua makhluk dan usaha kita untuk mewujudkannya?
Referensi:
1. “Kitab Komentar Buddha-Nature: Mahayana-Uttaratantra-Shastra” oleh Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche
2. “Riwayat Agung Para Buddha” Jilid I oleh Tipitakadhara Mingun Sayadaw
3. “Pembebasan di Tangan Kita” Jilid II oleh Phabongkha Rinpoche