Oleh: Toni Bernhard J.D.
Ajaran Sang Buddha berhasil diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan sekitar lima abad lamanya. Ajaran-ajarannya kemudian diabadikan dalam sekumpulan tulisan yang kita sebut sebagai ceramah-ceramah Buddha. Dalam menyajikan resolusi-resolusi ini, saya mencoba menuliskan kata-kata beliau tersebut melalui sisi pandang orang pertama; tidak lupa juga mengadaptasi gaya tulisan supaya tulisan ini lebih mudah dibaca dan diterapkan sebagai resolusi menyambut tahun baru. Isi tulisan ini tetap sesuai dengan ceramah-ceramahnya.
Resolusi Buddha:
1. Saya tidak akan mempercayai apapun hanya karena saya telah mendengarnya dan dirumorkan banyak orang. Saya tidak akan mempercayai apapun hanya karena diajarkan oleh guru-guru dan orang-orang tua. Tetapi setelah melalui observasi dan analisis, ketika saya memahami sendiri bahwa sesuatu, jika dijalankan dan dipraktekkan, akan membawa saya menuju kebaikan dan kebahagiaan sekali untuk selamanya, saya akan menerimanya dan hidup sesuai dengannya.
Ini adalah kutipan pendek dari ceramah terkenal yang disebut Kalama Sutta. Sang Buddha menyuruh kita untuk bertanggungjawab atas kehidupan kita sendiri – untuk mengecek sendiri segala sesuatu (bahkan termasuk ajaran-Nya) dan tidak langsung menerimanya mentah-mentah. Barulah jika kita sudah memutuskan bahwa menjalankan dan menghayati sesuatu akan menguntungkan bagi semua makhluk, yuk hidup sesuai hal itu!
2. Sebelum berbicara, saya akan merenungkan apakah apa yang akan saya katakan itu benar, baik, dan bermanfaat.
Tiga hal ini disarikan dari pedoman yang diberikan Buddha dalam Ucapan Bijaksana. Berikut penjabaran lebih lanjut tentang ketiga aspek ini dalam buku saya, How to Be Sick:
Membuat semua ucapan kita benar, baik, dan bermanfaat memang merupakan sebuah perintah yang cukup sulit untuk dijalankan, tetapi kita dapat mengatur niatan untuk menjaga ketiga kualitas tersebut dalam pikiran sebelum kita membuka mulut… Saya menemukan bahwa seringkali mudah untuk memenuhi dua dari kriteria tersebut, tetapi mungkin tidak tiga-tiganya sekaligus. Contohnya, mungkin benar bahwa seorang teman telah tidak menyapa dalam waktu satu bulan, tetapi akankah bermanfaat jika kita langsung mengkonfrontasinya tentang itu? Sebelum mengirimkan sebuah surel “Kenapa sih kamu tidak ada kabar selama ini?”, jika kita mengganti niatan konfrontasi dengan niatan bertanya (“Bagaimana kabarnya?”), maka komunikasi tersebut dapat saja menjadi baik dan bermanfaat. Bisa saja teman tersebut tidak berkabar karena dia sedang mempunyai banyak pekerjaan atau masalah keluarga, sehingga memberikan kita kesempatan untuk menjawab dengan welas asih dan dukungan alih-alih ego pribadi.
3. Kebencian tidak akan pernah berakhir dengan kebencian; kebencian berakhir dengan ketidakbencian. Ini adalah kebenaran sejak zaman dulu. Saya tidak akan ikut serta dalam kebencian.
“Kebencian tidak akan pernah berakhir dengan kebencian; kebencian berakhir dengan ketidakbencian” adalah kutipan yang sangat terkenal dari Dhammapada. Kita mungkin merasa mudah saja untuk setuju dengan separuh pertama, tetapi paruh kedua cenderung lebih sulit direalisasikan. Contohnya Nelson Mandela yang dikurung selama 27 tahun dalam penjara sebelum akhirnya dibebaskan tanpa menyimpan rasa getir atau kemarahan, justru beliau keluar dengan penuh lapang dada. Itulah yang membuatnya dapat banyak menyembuhkan luka-luka di Afrika Selatan dan menginspirasi orang-orang di seluruh dunia untuk mengikuti jalan kedamaian.
4. Apapun yang terus saya kejar dengan pikiran dan renungan saya akan menjadi kecenderungan kesadaran saya, sehingga saya akan mengawasi pikiran dan cara-caranya dengan penuh perhatian.
Di butir ini, Sang Buddha mengajarkan kita untuk waspada terhadap pikiran karena setiap pikiran kita bisa menimbulkan konsekuensi. Kita mungkin tidak dapat mengontrol pikiran yang tiba-tiba muncul di benak kita, tetapi kita bisa belajar untuk tidak sembrono bertindak berdasarkan pikiran-pikiran tersebut — apalagi jika akibatnya akan membawa keburukan bagi kita sendiri atau orang lain. Contohnya, jika orang lain mendapatkan sesuatu yang sangat kita inginkan, rasa iri mungkin langsung terbesit di hati; tetapi dengan latihan mental, kita dapat belajar untuk cukup mengobservasinya sebagai fakta alih-alih terus “menguber” hal tersebut – misalnya dengan mengarang pikiran negatif seperti “ih dia nggak pantas mendapatkannya; akulah yang pantas!”
Hal ini justru akan memperkuat iri hati yang dirasakan hingga menjadi “kecenderungan kesadaran” dan kita bisa terjerumus menjadi seorang penuh iri hati yang ujungnya mengantarkan diri kita sendiri pada penderitaan dan ketidakbahagiaan.
5. Saya tidak akan memikirkan tentang kesalahan orang lain atau apa yang telah atau belum mereka lakukan. Alih-alih, saya akan memikirkan tentang apa yang saya sendiri telah atau belum lakukan.
Resolusi ini sudah cukup jelas.
6. Sebagaimana batu kokoh bergeming terhadap terpaan angin, saya juga akan bergeming terhadap pujian maupun celaan
Beberapa pengikut Buddha mengejek seorang bhiksu karena postur tubuhnya pendek. Ketika Sang Buddha mendengar bahwa bhiksu tersebut tidak menunjukkan kemarahan apapun, beliau menyatakan bahwa bhiksu tersebut tetap bergeming baik terhadap pujian maupun celaan, seperti sebuah batu.
Dalam ceramah lainnya, Sang Buddha menyatakan bahwa akan selalu ada pujian dan celaan di dunia ini, jadi saya menginterpretasikan perumpamaan batu tersebut sebagai bahwasannya apa yang penting bagi kita adalah reaksi dan respon kita terhadap pujian dan celaan yang kita dapat. Akankah kita terlempar kesana kemari oleh angin yang timbul dari perkataan-perkataan orang, atau akankah kita tetap bergeming dan menyadai bahwa pujian dan celaan bukanlah yang akan membawakan kedamaian dan kebahagiaan bagi kita?
7. Saya akan mengembangkan dan membina pikiran saya.
Sang Buddha berkata, “Sama seperti pohon balsam yang paling lunak dan liat dari semua pohon, dengan cara yang sama, Aku tidak melihat segala sesuatu apapun, yang ketika dikembangkan dan dibina, dapat selunak dan seliat pikiran.” Ini kabar baik! Hal ini berarti bahkan ketika kita tidak dapat meringankan penderitaan fisik, kita dapat terus mengembangkan dan membina pikiran kita untuk meringankan penderitaan mental.
Para ahli saraf sering merujuk pada plastisitas otak. Hal ini sama dengan yang disebut Buddha sebagai “lunak dan liat”. Karena otak kita teramat sangat liat, kita dapat belajar untuk menjaga benak kita dari pikiran atau emosi negatif sebelum mereka berkembang dan akhirnya terwujud dalam ucapan atau tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kita juga dapat belajar untuk membina pikiran dan emosi yang lembut juga menyembuhkan, seperti welas asih dan kebaikan.
Sebagai manusia kita memiliki kemampuan unik untuk mengembangkan dan membina pikiran kita. Saya sendiri juga telah membuat resolusi di tahun baru ini untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga ini untuk berkembang.
diterjemahkan oleh: Elvan Adiyan Wijaya | disunting oleh: Raka