Jeffrey Hopkins, seorang cendekiawan, penulis, guru, dan penerjemah yang sangat berpengaruh dalam dunia Buddhis Tibet di Barat telah meninggal dunia pada 1 Juli 2024 pada usia 83 di Vancouver, Canada.
Pionir Perkembangan Buddhisme Tibet di Barat
Selama lebih dari 30 tahun, Profesor Hopkins telah menjadi sosok yang terkemuka dalam upayanya untuk mengajar Studi Buddhisme Tibet dan Sastra Tibet di Pusat Studi Kebudayaan Asia Selatan di Universitas Virginia. Warisan Beliau yang sangat berpengaruh adalah program doktoral Studi Buddhisme Tibet yang terbesar di Amerika Utara. Program ini telah melahirkan banyak cendekiawan besar antara lain Anne C. Klein dari Universitas Rice, Donald Lopez dari Universitas Michigan, Georges Dreyfus dari Williams College, dan Bryan Cuevas dari Universitas Negeri Florida. Program yang didirikan Profesor Hopkins ini menjadikan Buddhisme Tibet sebagai kajian utama. Hal ini menjadikan programnya ini berbeda dengan program Buddhis lain yang berfokus pada kajian Buddhisme India, Tiongkok, dan Jepang. Bahkan Beliau sendiri langsung mendatangkan guru-guru besar Buddhist Tibet dari India ke Charlottesville untuk mengajarkan teks klasik secara langsung. Menurut Donald Lopez, cara Profesor Hopkins ini mengubah pendekatan bagaimana Buddhisme diajarkan di kampus-kampus Amerika.
Pengaruh besar dari Profesor Hopkins juga terekam oleh para mahasiswanya yang bergabung di awal berdirinya program doktoral ini pada 1973. Menurut Lopez, sekali pun masih menjadi asisten dosen yang baru datang, Profesor Hopkins dengan cepat menarik perhatian dari kelompok mahasiswa yang mengikuti gaya hidup berkesadaran, ‘Be Here Now‘. Pada semester kedua, para mahasiswa berkeliling kampus sembari mengenakan pin yang bertuliskan,”Buddha’s Slogan: Dependent Arising.” (Moto Buddha: Kesalingbergantungan)
Lopez juga menceritakan pengalamannya menemukan tulisan di toilet pria toilet yang ia pikir akan bertuliskan R.Mutt selayaknya Marcel Duchamp yang menandai karyanya di toilet. Ketika ia melihat lebih dekat, ternyata tulisan itu adalah “Does Not Inherently Exist” (Tidak Ada dengan Sendirinya). Hal ini pulalah yang menginspirasi Lopez untuk memilih Hopkins sebagai pembimbing skripsi, tesis, dan disertasinya.
Profesor Hopkins sangatlah yakin akan pentingnya kemampuan membaca teks klasik Tibet dan berbicara langsung dengan masyarakat Tibet modern saat ini bagi cendekiawan Tibet. Hal ini mendorongnya untuk mendirikan program Bahasa Tibet pertama di Universitas Virginia dan ikut menyusun “Fluent Tibetan: A Proficiency Oriented Learning System“. Beliau juga telah mengkompilasi 900 halaman Kamus Trilingual Istilah Buddhis Tibet-Sanskerta-Inggris yang telah diunggah daring.
Karya Luas dan Mendalam
Selama karirnya,Profesor Hopkins juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Hawaii dan Universitas British Columbia. Beliau pun fokus pada proyek penerjemahan setelah pensiun dari Universitas Virginia. Beliau juga sempat mendirikan UMA (Union of the Modern and Ancient) Institute for Tibetan Studies dan sejak 2011 aktif mengarahkan Proyek Penerjemahan Risalah Agung yang dirancang untuk membuat teks-teks Tibet bisa diakses secara gratis.
Profesor Hopkins juga merupakan aktivis perdamaian dan hak asasi manusia dan menerbitkan “The Art of Peace” yang berasal dari pidato-pidato di konferensi pemenang Nobel yang Beliau kelola pada 1998 untuk Univesitas Virginia dan Institute for Asian Democracy, organisasi nirlaba mempromosikan kedaulatan pemerintahan di Asia, khususnya Myanmar. Profesor Hopkins sendiri pernah menjabat sebagai presiden institut tersebut dari 1994 sampai 2000.
Sebagai salah seorang Tibetologis paling dihormati di zamannya, Profesor Hopkins telah menulis, menyunting, dan menerjemahkan lebih dari 50 buku. Salah satu karya ekstensifnya yang dipublikasikan adalah teks akademik bertemakan sunyata dan Tantra, dan juga terjemahan dari berbagai karya sosok Buddhis terkenal seperti Nagarjuna, Chandrakirti, dan Tsongkhapa. Karya pertama sekaligus paling berpengaruhnya adalah disertasi doktoralnya, “Meditation on Emptiness“, yang menjadi penjelasan terlengkap pertama mengenai sintesis antara filsafat dan praktik dalam Buddhisme tradisi Gelug. Setelah sempat tersebar dalam bentuk cetakan Xerox, karya Beliau ini kemudian diterbitkan oleh Wisdom Publications pada 1983. Edisi peringatan tahun ke-40-nya baru akan diterbitkan tahun depan. Sebagian besar dari karya Hopkins meliputi karya-karya pendiri tradisi Gelug, Je Tsongkhapa, yang mana Beliau telah menerjemahkan sebagian besar dari penjelasan Je Tsongkhapa terkait tantra, Stages of the Path of Mantra. Kemudian, Beliau pun beralih pada salah satu karya Je Tsongkhapa yang paling disukai oleh cendekiawan Gelug, Essence of Eloquence, sebuah teks yang ditulis berdasarkan ingatan kolektif dari para biksu di Biara Ganden yang dilafalkan pada pemakaman Je Tsongkhapa di 1419. Sekali pun teks Tsongkhapa tersebut singkat, Profesor Hopkins telah mendedikasikan tiga volume buku untuk teks tersebut: Emptiness in the Mind-Only School, Reflections on Reality: The Three Natures and Non-Natures in the Mind-Only School, dan Absorption in No External World.
Pada 1979, Profesor Hopkins berperan penting dalam penyelenggaraan kunjungan Y.M.S. Dalai Lama XIV yang pertama ke Amerika Serikat. Beliau pun menjadi kepala penerjemah dari 1979 sampai 1989 menemani Y.M.S. Dalai Lama XIV berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Asia Tenggara, dan Australia. Profesor Hopkins juga menerjemahkan dan menyunting pengajaran dari Y.M.S. Dalai Lama XIV sebanyak 16 buku, termasuk yang berjudul The Dalai Lama at Harvard dan judul-judul lain yang diperuntukkan bagi pembaca awam seperti Kindness, Clarity and Insight; How to See Yourself As You Really Are; How to Practice: The Way to a Meaningful Life, Mind of Clear Light, Mind of Clear Life: Advice on Living Well and Dying Consciously; How to Be Compassionate; dan How to Expand Love: Widening the Circle of Loving Relationships.
Profesor Hopkins juga sempat berkolaborasi dalam menulis karya yang berjudul Meditative States in Tibetan Buddhism dengan tulku Lati Rinpoche dan Denma Locho Rinpoche, yang mana karya ini sendiri berdasarkan teks dari seorang guru besar Gelug, Panchen Sonam Drakpa. Beliau juga berkolaborasi dengan guru-guru Nyingma seperti Lama Khetsun Sangpo untuk menerbitkan buku Tantric Practice in Nyingma dan menerjemahkan karya terkenal dari Patrul Rinpoche, Words of My Perfect Teacher. Sekali pun secara umum Beliau diasosiasikan dengan tradisi Gelug dan Nyingma, Profesor Hopkins juga menerbitkan buku terjemahan pertama dari teks akar tradisi Jonang yang terkenal akan ajaran “other emptiness” yang dikritik oleh Je Tsongkhapa. Komitmennya dalam menerjemahkan teks yang panjang dan sulit ini menunjukkan pendekatannya yang inklusif pada semua tradisi Buddhis Tibet.
Mengulas Topik Panas demi Kepentingan Banyak Orang
Mereka yang telah mengenal Profesor Hopkins sebagai akademisi berbakat juga masih sering terkejut dengan bidang lain yang digeluti Profesor Hopkins, yakni seks, termasuk seks sesama jenis, dan peranannya dalam praktik Buddhis. Hal ini dikaji dalam karya-karya Beliau seperti The Compatibility of Reason and Orgasm in Tibetan Buddhism: Reflections on Sexual Violence and Homophobia yang diterbitkan pada 1993; Gay Affirmative Ethics; Sex, Orgasm, and the Mind of Clear Light yang diterbitkan pada 1995; The 64 Arts of Gay Male Sex yang diadaptasi dari Tibetan Arts of Love, karya karya seorang mantan biksu, cendekiawan, dan pujangga Bernama Gendun Chopel bertema gairah dan permainan seks pada 1939 yang diterjemahkan oleh Profesor Hopkins pada tahun 1992.
Profesor Hopkins sendiri mendiskusikan seks dan Buddhisme Tibet dengan seorang psikoterapis dan penulis Tricycle edisi musim panas 1999 bernama Mark Epstein. Beliau mencatat bahwa banyak praktik Tantra menganjurkan seseorang untuk melihat diri mereka sebagai dakini (pengejawantahan energi pencerahan dalam wujud perempuan). Epstein pun bertanya kepada Profesor Hopkins kenapa ia “merasa penting untuk menerjemahkan ulang teks dengan pencitraan heteroseksual menjadi lebih spesifik agar bisa dijadikan sebagai manual untuk para gay.”
Profesor Hopkins, yang memang terbuka mengenai identitas homoseksualnya dan telah beberapa kali menyelenggarakan penyunyian untuk praktisi gay, menjawab, “Saya melakukan hal ini untuk mendukung salah satu dari komunitas saya, komunitas yang penting. Saya merasa saya seperti mengkhianati mereka jika saya tidak melakukannya. Hal itu sama seperti saya menyembunyikan [identitas saya]. Padahal tidak.” Beliau pun menambahkan, “Saya tidak secara langsung berbicara mengenai praktik Tantra, melainkan menggunakan seks biasa sebagai kesempatan untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan dalam Tantra.”
Baca juga: Buddhis Wajib Melek Isu Kekerasan Seksual
Seks bukan satu-satunya topik panas yang dikaji Hopkins. Pada Tricycle edisi musim gugur 1998, Profesor Hopkins bersama kepala biara Zen Bodhin Kjolhede merenungkan apakah pencerahan dan alkohol dapat dicampurkan. Profesor Hopkins mencatat bahwa dalam kelas Tantra yoga tertinggi, “sejumlah kecil alkohol digunakan dengan sengaja untuk mengubah kondisi pikiran seseorang dalam rangka meningkatkan jalan spiritual.” Namun, Beliau pun juga mengingat bahwa ketika ia mengatakan pada gurunya, Geshe Namgyal Wangyal, bahwa ia merupakan pecandu alkohol berat saat remaja, Geshe Wangyal berkata, “Jika kamu minum lagi barang setetes pun, aku tidak akan mengajarimu bahkan satu patah kata pun.”
Pemberontak yang Menemukan Jalan
Lahir dengan nama Paul Jeffrey Hopkins pada 1940, Profesor Hopkins tumbuh besar di Barrington, Rhode Island. Sebagai remaja pemberontak, Beliau sempat ingat bahwa dulu Beliau sering dijuluki sebagai “preman kampung… muak dengan cita-cita yang disodorkan kepada kami: sekadar mengejar uang dan seterusnya.” Hopkins remaja kemudian dikirim ke Pomfret, sebuah sekolah persiapan di Connecticut tempat Beliau kemudian berkembang. Selama tahun pertama di Harvard, Beliau membaca Walden karya Thoreau dan mengasingkan diri ke hutan Vermont, di mana Beliau tinggal di kabin satu kamar, menulis puisi, dan “mulai menemukan integritasku sendiri,” katanya di kemudian hari kepada pewawancara. Terinspirasi juga oleh Typee karya Herman Melville dan The Moon and Sixpence karya W. Somerset Maugham, Beliau kemudian naik kapal barang menuju Tahiti. Pada periode inilah Hopkins mulai bisa dikatakan bermeditasi.
Hopkins muda kembali ke Harvard setelah satu setengah tahun. Kemudian, antara tingkat junior dan senior, Beliau pergi berkelana lagi. Saat mengarungi sebuah sungai di Oklahoma, Beliau melihat seorang pria mati tersangkut di tepi sungai. Ini adalah titik balik baginya. “Saya tiba-tiba menyadari bahwa persepsi terakhirnya [pria yang meninggal itu]dalam hidup ini tidak lebih lengkap dibandingkan persepsi lainnya,” kenangnya. “Saya mulai menyadari kesia-siaan aktivitas eksternal dan mengalihkan perhatian saya ke dalam batin, pada cahaya di dalam. Ketika saya kembali ke Harvard pada musim gugur tahun 1962, rasanya ibarat sebuah peti mati telah dibuka. Selama ini saya telah menjalani hidup saya dalam peti mati dan tidak mengenali keberadaan langit.”
Selama liburan Natal dari perguruan tinggi tahun itu, seorang teman sekampus mengantar Hopkins muda ke Freewood Acres, New Jersey, untuk bertemu Geshe Wangyal, seorang penganut Buddhisme Tibet asal Kalmyk, Mongolia, yang mendirikan biara di sana pada tahun 1958. Pada tahun 1963, setelah lulus dengan magna cum laude dari jurusan sastra Inggris Harvard, Hopkins memenangkan Leverett House Poetry Prize untuk terjemahan puisi Anglo-Saxon “The Wanderer”. Hopkins muda pun kemudian menghabiskan tujuh tahun belajar dengan Geshe Wangyal di New Jersey. Kemudian, ia mendaftar di program doktoral di Universitas Wisconsin-Madison setelah sebelumnya sempat salah mendaftar di pascasarjana di Universitas Pennsylvania.
Belakangan, Profesor Hopkins menyebut pengalamannya di program Studi Buddhis di Wisconsin sebagai “hal yang mendebarkan dalam banyak hal dan tentu saja merupakan titik tolak penting bagi awal karier saya.” Atas desakan Hopkins lah Richard Robins, kepala program Studi Buddhis, mempekerjakan Geshe Lhundup Sopa, seorang sarjana Gelug yang pernah tinggal di Biara Kalmyk di New Jersey. Beliau pun berperan penting dalam perekrutan guru Tantra terkenal Kensur Ngawang Lekden, mantan kepala biara di Biara Universitas Tantra di Lhasa Bawah. Anne Klein, yang saat itu menjadi kandidat master di Wisconsin, mengenang bahwa Hopkins, bersama Robinson, “mendirikan Tibet House di sebuah peternakan di luar Madison, yang menjadi tempat Kensur, Jeffrey, dan mahasiswa pascasarjana lainnya dapat tinggal, belajar bahasa Tibet, dan berbagi tugas dapur bersama. Hopkins sendiri menyajikan es krim di piring kecil dan datar yang, seperti yang ditunjukkan Kensur dengan gembira, berarti Anda bisa menjilatnya hingga bersih.” Hopkins membaca bersama Kensur setiap hari materi yang kelak akan membentuk disertasinya, Meditation on Emptiness.
Mendobrak Paradigma Keilmuan Barat dan Timur
Sepanjang kariernya, minat Profesor Hopkins terhadap Studi Buddhisme amatlah luas, meliputi Asia Selatan, Tibet, dan Asia Timur. Beliau adalah penerima tiga beasiswa Fulbright dan melakukan dua belas perjalanan ke India dan lima ke Tibet untuk penelitian.
Sebagai seorang penerjemah, Profesor Hopkins mempunyai pendekatan yang tidak biasa di antara rekan-rekannya sezaman: Beliau bekerja sama dengan para sarjana Tibet dan menganggap mereka bukan sebagai “informan penutur asli” tetapi sebagai mitra kolaborasi. “Saya pikir itu benar… sangat penting untuk memperlakukan setiap sarjana Tibet dengan adil, untuk memberi mereka penghargaan atas peran mereka dalam memproduksi buku apa pun,” katanya. “Jika saya tidak dapat memahami teks tersebut tanpa seseorang memberi tahu saya maknanya, maka orang tersebut juga memainkan peran yang sama dalam penerjemahannya meskipun mereka tidak bisa berbahasa Inggris.”
Satu hal yang tetap tak Beliau ungkapkan adalah pencapaian spiritual. “Ada tradisi untuk tidak mengumbar pencapaian dan pengalaman Anda sendiri, dan saya bahkan tidak memberi tahu teman-teman saya,” katanya kepada pewawancara Mandala. Dalam tulisan Beliau di Tricycle edisi musim panas 1999, Beliau mengatakan bahwa salah satu keuntungan luar biasa yang Beliau peroleh setelah menemani Dalai Lama adalah berulang kali mendengar pesan Y.M.S. Dalai Lama XIV bahwa setiap orang menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan penderitaan. “Saya memahami bahwa pada tingkat pribadi dan praktis, saya harus membawa pandangan ini ke dalam setiap perilaku, momen demi momen. Hal ini memerlukan perhatian yang besar pada perasaan orang lain alih-alih warna kulit dan bentuk mereka.” Namun, “Agar welas asih dapat berkembang terhadap banyak orang, pengetahuan tentang bagaimana makhluk menderita saja tidaklah cukup,” tulisnya untuk Tricycle terbitan musim panas 2002, “Harus ada rasa kedekatan dengan kepedulian pada setiap makhluk.”
Berkah Manjushri
Pada tahun 1991, Profesor Hopkins menderita penyakit Lyme yang melemahkan dan hampir fatal yang membuatnya lumpuh sebagian dengan kesenjangan mental yang nyata untuk sementara waktu. Meski akhirnya pulih, Beliau berkata kepada biksuni Buddhis Tibet, Robina Courtin, “Saya harus merekonstruksi pikiran saya.” Selain itu, Beliau juga berkata, “Di bidang apa pun, saya harus secara sadar membuat koneksi logis, dan setelah koneksi dibuat, area itu dibuka kembali.” Beliau pun memberanikan diri untuk berkata bahwa apa yang menyelamatkannya adalah kebiasaan yang terbentuk selama bertahun-tahun di biara di New Jersey, yakni rutin melafalkan mantra kebijaksanaan Manjushri, Bodhisatwa kebijaksanaan, yang bertujuan untuk meningkatkan ketajaman mental. Mantra tersebut adalah “OM AH RA PA TSA NA DHIH”.
“Saya mendengar Geshe Wangyal memberi tahu seorang anak laki-laki Mongolia yang kesulitan menghafalnya, ‘Kalau begitu, lakukan dhih dhih dhih… tanpa henti,’” kenang Profesor Hopkins.
Diterjemahkan oleh Manavacary Jwd dari “Renowned Buddhist Scholar Jeffrey Hopkins, Professor Emeritus at the University of Virginian, Has Died” – tricycle.org