(OSV News) — Pemimpin Majelis Pemimpin Keagamaan di Prancis yang mewakili komunitas Islam, Yahudi, Katolik, Kristen Ortodoks, Protestan, dan Buddhis mengeluarkan pernyataan bersama 30 Juni yang berisikan permohonan perdamaian, hubungan harmonis, dan kebersamaan di tengah demonstrasi berbalut kekerasan yang melanda negara itu.
Kekacauan dimulai pada tanggal 27 Juni setelah Nahel M., pemuda 17 tahun turunan Algeria dan Maroko, ditembak polisi di perhentian lalu lintas di Nanterre, salah satu daerah pinggiran Prancis. Kekerasan dan rasisme yang dilakukan oleh polisi, terutama yang diarahkan terhadap warga turunan Arab dan kulit gelap Afrika dan biasanya merupakan Muslim, dituding sebagai salah satu alasan di balik pembunuhan Nahel.
“Kami turut merasakan derita yang dirasakan oleh keluarga Nahel dan mendoakan mereka yang ditinggalkan, terutama sang ibu. Kami mendengarkan rasa sakit dan amarah yang tengah meluap,” tulis para pemimpin keagamaan dalam surat mereka.
“Kami menghimbau para pemimpin dan perwakilan rakyat negeri kita bekerja sama bertanggung jawab mengembalikan keadilan dan kedamaian,” lanjut surat tersebut.
Petugas polisi yang terlibat dalam penembakan tersebut telah diringkus dengan tuduhan pembunuhan yang disengaja dan dipenjarakan. Polisi tersebut mengaku menembakkan peluru karena takut bahwa dirinya, rekannya, atau orang lain akan ditabrak oleh mobil tersebut, dilansir oleh media The Guardian.
Namun, laporan dari Guardian menjelaskan bahwa potongan video yang beredar di media sosial menunjukkan kondisi mobil Nahel masih diam pada saat kedua polisi membidik dirinya. “Kepalamu akan ditembus peluru,” sebut suara yang terdengar ketika mobil berusaha meninggalkan lokasi, diikuti suara tembakan.
Protes yang mengikuti pembunuhan Nahel dengan cepat berubah menjadi kerusuhan dan 45000 polisi diutus bergerak di seluruh penjuru negeri untuk meredakan peserta kerusuhan yang menggila, menjarah bangunan dan membakar kendaraan.
Nyaris 1000 orang ditangkap di Prancis pada tanggal 30 Juni saja, kebanyakan dari daerah Marseille dan Lyon yang cukup kritis. Sepanjang Prancis, ratusan polisi dan pemadam kebakaran terluka dalam kerusuhan.
Permohonan perdamaian intraagama 30 Juni ditandatangani oleh Chems-Eddine Hafiz, imam Masjid Raya di Paris, Rabbi Utama Prancis Haïm Korsia, Mohammed Moussaoui, Ketua Majelis Ulama Prancis, Uskup Éric de Moulins-Beaufort dari Reims, ketua Keuskupan Prancis, Msgr. Demetrios Ploumios, Ketua Persatuan Keuskupan Kristen Ortodoks Prancis, Pastor Christian Krieger, Ketua Federasi Protestan Prancis, dan Antony Boussemart, Ketua Persatuan Buddhisme Prancis.
Mengingatkan bahwa “ini adalah masa-masa menyedihkan untuk negeri dan dunia di sekitar kita”, para pemimpin tersebut meminta agar “diadakan pertemuan untuk membahas kedamaian”.
“Kami juga menegaskan dengan satu suara bahwa kekerasan takkan pernah jadi jawaban tepat,” sebut surat tersebut.
Dilanjutkan dengan, “Kami sungguh-sungguh menyesali kerusakan sekolah, pertokoan, balai kota, dan sarana transportasi… Orang-orang yang langsung menjadi korban hal ini adalah para penduduk, keluarga dan anak-anak yang bermukim di sekitarnya.”
“Dalam waktu sulit ini, kami meminta pemulihan kepercayaan dan pemeliharaan hubungan antara rakyat dan penegak hukum yang telah berjuang sangat keras dalam melalui situasi rumit yang melanda negeri kita,” harap mereka dalam permohonan perdamaian tersebut.
“Semoga semua umat hari ini memeluk perdamaian dan kebaikan bersama lebih erat daripada sebelum-sebelumnya. Bersama, kita bisa memberikan uluran tangan.”
Presiden Emmanuel Macron menunda perjalanan negara yang telah dijadwalkan ke Jerman, dan memperingatkan agar kerusuhan tidak menyebar lebih jauh di Prancis. Beliau meminta ketenangan dalam situasi yang penuh ketegangan rasial dan keagamaan.
Info Chrétienne melaporkan bahwa kongregasi dan pastor dari Gereja Evangelis Protestan Philadelphia di Marseille “menemukan bahwa tempat ibadah mereka telah dijarah” pada tanggal 28 Juni.
Aula ibadah dihancurkan, pintu dan jendela dirusak, dan dinding disemprot tulisan-tulisan provokatif seperti “Nabi terakhir adalah Muhammad” dan “Yesus bukanlah Allah”.
Gosip juga beredar di Twitter bahwa di Saint-Etienne, Pastor Francis Pelle, 80, telah dipukuli cukup parah sebelum ditinggalkan telanjang dan pingsan. Namun, keuskupannya mengklarifikasi bahwa Pastor Pelle adalah korban perampokan dan uang serta ponselnya dirampas, namun tidak kehilangan kesadaran dan posisinya sebagai pastor tidak ada sangkut-pautnya dengan kemalangan yang menimpanya, sehingga tidak ada hubungan dengan kerusuhan yang tengah berlangsung.
Pada tanggal 1 Juli, para pendeta Prancis merilis doa perdamaian di laman situs mereka, memohon agar “ketenangan dan kedamaian kembali ke negeri kita”.
Para pendeta juga mendoakan Nahel yang upacara penguburannya berlangsung tanggal 1 Juli di Nanterre. Dalam doa tersebut, “Kami mempercayakan Nahel kepada-Mu dan mendoakan orang-orang yang dicintainya. Semoga roh cahaya dan perdamaian melingkupi mereka.”
“Kami mempercayakan kepada-Mu mereka yang terluka dalam malam-malam kekerasan ini, dan mereka yang rumah dan tempat kerjanya dihancurkan atau dirusak,” lanjut doa para pendeta Prancis.
Para pendeta juga mendoakan pemerintah dan penegak hukum yang “tengah berada di bawah tekanan berat dan terkadang diserang”.
Doa itu diakhiri dengan, “Kami memohon sekali lagi kepada-Mu: bahwa di balik ledakan-ledakan yang saat ini terjadi, masyarakat akan mampu menemukan sumber kekerasan dengan awas dan sadar, serta mendapat kesanggupan untuk bergerak melampauinya”.
Sumber: Religious Leaders Plead for Dialogue, Peace, as Riots Convulse France
Diterjemahkan oleh Lisa Santika Onggrid