Bisa menyayangi tanpa risiko ditolak. Katanya, bisa juga berkomunikasi dengan dunia lain dan minta pertolongan duniawi. Mendengar hal ini, siapa yang tidak tertarik mengadopsi spirit doll?
Terlepas dari motif mengikuti tren atau “latah” karena melihat para influencer mulai mengadopsinya, fenomena adopsi spirit doll belakangan menjadi sesuatu yang sangat hangat diperbincangkan. Fenomena ini menarik untuk dibahas–bukan kontroversi benar-salahnya, melainkan alasan yang melandasi fenomena ini. Apa yang membuat seseorang memperlakukan “bayi” boneka layaknya makhluk hidup? Hal apa yang membuat memilih merawat boneka, bukan bayi manusia atau hewan peliharaan?
Ivan Gunawan dan dua “anak”nya
Sumber foto: Kompas.com
Kebutuhan Emosional Dasar
Sebelum membahas pertanyaan tersebut, penting bagi kita untuk mengetahui kebutuhan emosional dasar yang kita butuhkan sebagai manusia. Sejak lahir, semua makhluk hidup memiliki kebutuhan untuk bisa mengasihi dan dikasihi. Kita semua paham betul bahwa biarpun hal ini terdengar mudah, sebagian besar orang tidak memperoleh kasih sayang yang diharapkan, dan sebaliknya tidak mampu memberikan kasih sayang kepada orang lain. Orang tua yang cuek, teman-teman yang menjaga jarak, pasangan yang memberikan cinta bersyarat, serta budaya ketimuran yang tak jarang membuat kita merasa awkward ketika mengungkapkan perasaan menjadi tembok untuk saling bertukar kasih. Akibatnya, tidak sedikit orang yang merasa kesepian.
Sudah Berusaha, Tapi…
Ada pula orang yang sudah berusaha untuk menyayangi seseorang dengan sepenuh hati dan jiwa, namun tidak mendapat balasan dan bahkan mungkin memperoleh penolakan. Untuk sebagian orang yang mengalami hal ini, penolakan menjadi pengalaman yang menyakitkan. Banyak yang memutuskan untuk menarik diri, tapi perasaan ingin disayang dan menyayangi yang secara naluriah dimiliki setiap manusia tetap ada.
Berhubungan dengan manusia menelurkan risiko–risiko ditolak, dikhianati, disalahkan, dan masih banyak lainnya. Tidak hanya dengan manusia, bahkan hewan pun bisa memberikan reaksi yang tidak diharapkan. Ketika kita berusaha menyenangkan kucing peliharaan kita misalnya, kucing kita tetap bisa galak dan mencakar kita tanpa ampun. Ego kita berpendar seolah memberikan sinyal: “Aku sudah memberikan cinta tak bersyarat lho! Kenapa aku malah mendapatkan perlakuan seperti ini? Sungguh tidak adil!”.
Cinta yang “Pasti Berbalas”
Berbeda dengan makhluk hidup, spirit doll tidak rewel. Ia juga tidak bisa beraktivitas sendiri layaknya ayah, ibu, kakak, adik, dan pacar kita. Lebih lanjut, pengadopsi juga diyakinkan bahwa spirit doll akan “merespons” pemilik dengan positif. Memberikan kasih sayang dengan merawat, mengajak bicara, memeluknya tidak akan membuat kita merasa tertolak. Mengapa? Sebab spirit doll tidak akan merespons kita dengan penolakan.
Selain menyayangi, kita juga bisa dengan bebas melakukan hal apapun terhadapnya tanpa dibebani tanggung jawab. Ketika berhubungan dengan orang lain, kita sering kali harus mengorbankan sesuatu. Akan tetapi, bisa saja tanpa disadari kita malah membuat orang tersebut menderita. Akhirnya, alih-alih merasa bahagia, kita malah merasa bersalah dan merasa tidak pantas menyayangi orang lain. Beda halnya dengan “mengasuh” spirit doll, spirit doll tidak akan merasa sakit atau kecewa dengan perlakuan yang kita berikan. Jika motivasi kita memiliki “spirit doll”, adalah seperti ini, bukankah artinya kita hanya sedang menghindar dari ketakutan dan kecemasan kita akan krisis kasih sayang?
Pertanyaannya: benarkah kebahagiaan sesungguhnya bisa kita peroleh dengan semata memuaskan diri untuk bisa diterima dan melindungi ego dari penolakan? Sebagian orang percaya bahwa jika kita berwelas asih kepada orang lain, kita akan dimanfaatkan dan yang terburuk–dikhianati. Padahal, welas asih yang sesungguhnya justru membebaskan kita dari hal-hal tersebut.
Yang sebenarnya kita butuhkan adalah…
Welas asih mengingatkan kita akan pengalaman bersama kita sebagai makhluk hidup. Misalnya, jika aku tidak ingin menderita, maka dia dan kamu pun sama halnya tidak ingin menderita. Kita sadar bahwa orang yang menyakiti kita atau tidak bisa melihat kebaikan kita pun sebenarnya merasa sakit. Mereka sakit karena klesha mengikat mereka sehingga menyakiti orang lain.
Welas asih menyadarkan kita bahwa kebahagiaan sebenarnya bukan terletak pada penghindaran rasa sakit dan kesedihan. Toh rasa sakit tidak bisa dihindari selama kita masih berada di samsara. Kebahagiaan bisa dirasakan ketika hal-hal ini tidak lagi mengganggu kita. Kita bisa tetap menyadari penderitaan yang kita rasakan, sambil di sisi lain tetap berupaya untuk peduli terhadap orang lain.
Welas asih bukan berarti membenarkan perbuatan jahat orang lain. Welas asih membantu kita berdamai dengan ketakutan dalam diri kita–ketakutan ditolak, dikhianati–yang juga dimiliki oleh semua orang, tak terkecuali mereka yang menyakiti kita. Berhubung ketakutan ini ada dalam diri setiap orang (walau bentuk dan intensitasnya bisa beragam), tidak akan tercipta titik temu jika tak ada pihak yang lebih dulu memulai untuk melawan ketakutan itu dan melatih welas asih.
Saatnya Kita Bercermin
Fenomena adopsi spirit doll ini sebenarnya tidak seharusnya dijadikan sebagai senjata untuk menyerang pihak tertentu. Malah, fenomena ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita untuk meningkatkan kualitas batin kita. Fenomena hanyalah fenomena. Ia datang dan pergi seiring berlalunya waktu. Baik atau tidaknya hal ini, hanya kita masing-masinglah yang bisa menilainya dalam diri kita. Kita tidak bisa melihat dengan jelas batin orang lain seperti mengetahui sejelas-jelasnya motivasi seseorang dalam mengadopsi spirit doll. Meskipun bisa jadi dilandasi oleh motivasi yang tidak murni, siapa yang tahu kalau-kalau orang-orang yang mengadopsi spirit doll sebenarnya punya niat melatih welas asih?
Beruntungnya, biarpun kita tidak bisa melihat batin orang lain, kita bisa dengan jelas melihat batin kita. Fenomena ini justru jadi penanda bagi kita untuk kembali bercermin:
- Apakah saat ini kasih sayang yang kita berikan kepada orang lain masih bersifat pamrih?
- Apakah ego kita takut disalahkan ketika kasih sayang kita disalahartikan oleh orang lain?
- Apakah saat ini masih sulit bagi kita untuk meruntuhkan ego ketika kasih sayang yang diberikan tidak berbalas?
- Apa yang masih menghalangi kita dari melatih welas asih?
Selain jadi penanda, fenomena spirit doll ini mungkin bisa juga jadi pengingat bagi kita untuk berupaya belajar menerima hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Misalnya, belajar menerima penolakan dari gebetan atau menerima kesalahan yang pernah kita perbuat kepada anak atau sanak saudara kita ketika kita berusaha peduli. Kemudian, kita bisa perlahan-lahan berlatih untuk berwelas asih kepada orang di sekitar kita. Misalnya, dengan menanyakan kabar, mendengarkan ketika pihak lain tengah berbicara, atau memberi hadiah sederhana. Dengan begitu, kita mungkin akan menyadari bahwa welas asih yang sesungguhnya bisa berarti mencintai orang lain tanpa merasa takut. Bagaimana menurutmu?
Penulis: Shierlen Octavia
Referensi:
“Hati Tanpa Gentar” – Thupten Jinpa, Ph.D