Bagaimana karma bekerja? Apa makna hidup saya sebagai manusia? Dua topik itu dibahas dalam diskusi Dharma di hari pertama perayaan 100 Tahun Kitab “Pembebasan di Tangan Kita” yang diselenggarakan Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN) tanggal 25 Desember 2021 lalu. Kegiatan hari itu dimulai dengan sesi pembacaan buku bersama melalui aplikasi Zoom sejak pagi hingga sore pada 25 Desember. Pada malam harinya, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi bersama Stanley Khu, kepala editor YPPLN, dan dimoderatori oleh Yushua Adi Putra dari Lamrimnesia.
Diskusi dibuka dengan pertanyaan, “Ketika kita sudah tahu tentang hukum karma dan akibatnya, ketika sebuah perbuatan buruk dilakukan apakah hasilnya semakin berat?”
Stanley lalu menjelaskan bahwa karma adalah sebuah hukum yang sifatnya impersonal. Ketika kamu berbuat maka kamu menerimanya. Hukum karma akan tetap berjalan dan tak pandang bulu. Karena itu, lebih baik kita tahu konsep kerja hukum karma. Pemahaman tentang hukum karma akan membuat kita memiliki perasaan menyesal ketika melakukan perbuatan buruk. Perasaan menyesal inilah yang akan menjadi penawar dari karma buruk. Sedangkan kalau tidak tahu tentang hukum karma, tidak tahu apa yang baik dan apa yang buruk, bisa jadi kita memelihara pandangan salah yang membuat karma buruk kita semakin berlipat ganda.
Berkaitan dengan salah satu sifat karma yang dijelaskan dalam “Pembebasan di Tangan Kita”, yaitu karma yang diperbuat tidak akan hilang begitu saja, ada pertanyaan tentang ada atau tidak konsep “ahosi karma” (karma yang tidak bisa berbuah). Menjawab ini, Stanley menuturkan bahwa konsep ini merujuk pada keadaan Buddha yang karmanya tak berbuah lagi karena telah berhasil menyingkirkan semua klesha. Sebagai manusia biasa yang masih memiliki banyak klesha, setiap karma yang sudah kita lakukan pasti akan berbuah, tapi kita bisa melemahkan karma tersebut dengan praktik purifikasi.
Bagaimana klesha bikin karma pasti berbuah? Baca di sini.
Kelahiran kita sebagai manusia juga tidak lepas dari campur tangan karma. Salah satu peserta menanyakan cara terlahir sebagai manusia dengan 8 kebebasan dan 10 keberuntungan yang dibutuhkan untuk mempraktikkan Dharma. Sebelum memberikan jawaban langsung, Stanley mengajak peserta untuk memastikan apakah kita benar-benar menginginkan hal tersebut. Kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kita puas dengan kehidupan yang dipenuhi oleh dukkha? Dukkha yang dimaksud bukan sekadar penderitaan karena mengalami hal-hal yang tidak kita sukai, tapi juga termasuk kondisi tidak bisa puas yang akan terus kita alami tidak peduli di alam mana kita terlahir.
Jika kita tidak mau terus-terusan mengalami dukkha ini, kita akan tergerak untuk mempelajari ajaran Buddha dan berusaha mempertahankan bentuk kehidupan yang memungkinkan kita untuk mempraktikkannya, yaitu kehidupan sebagai manusia dengan 8 kebebasan dan 10 keberuntungan tadi.
Pembahasan pun berlanjut mengenai kelahiran di alam rendah. Jika kita sudah terlahir di alam rendah, akan sangat sulit untuk kembali terlahir di alam yang lebih tinggi. Kalaupun bisa, kita akan membawa sifat-sifat dari kelahiran sebelumnya. Misalnya jika kita sebelumnya hidup sebagai hewan, lalu berhasil lahir kembali menjadi manusia, kita akan jadi manusia yang berperilaku seperti hewan, tidak bisa mengendalikan diri dan sulit berpikir mandiri. Agar itu tidak sampai terjadi, mumpung kita masih hidup sebagai manusia, kita harus melatih Sila atau disiplin moral dan melatih kebijaksanaan dengan membiasakan diri untuk berpikir sehingga tidak jatuh ke alam rendah di kehidupan berikutnya.
Diskusi ditutup oleh moderator dengan kesimpulan dari berbagai poin yang telah dibahas. Yushua menggarisbawahi pentingnya mengenal diri sendiri, memahami kondisi kita saat ini, dan mengendalikan cara merespon buah karma yang kita alami untuk memastikan kebahagiaan di kehidupan mendatang
—
Penulis: Martino Liem