Borobudur sebagai destinasi wisata super prioritas semestinya dikelola sebagai wisata ziarah dengan konsep culture route. Nilai-nilai budaya dan keagamaan sebagai daya tarik utama akan tetap terjaga dan membuat Borobudur menjadi destinasi yang tidak ada duanya. Wisatawan yang hadir pun bisa mencakup peziarah, bukan hanya pengunjung umum.
Hal ini disampaikan oleh Agus Hartono, pegiat pariwisata sekaligus Co-Founder Kelana Anantara Nusa, dalam acara “Lamrim Talk Seri Borobudur: Berziarah ke Borobudur Wisata atau Praktik” yang diselenggarakan Yayasan Pelestarian dan Pembangunan Lamrim Nusantara (Lamrimnesia) secara daring pada hari Minggu, 18 April 2021. Selain Agus, business professional dan dharmaduta Johnson Khuo juga menjadi narasumber dalam diskusi ini.
Contoh culture route yang sukses adalah Santiago de Compostela yang dirancang berdasarkan perjalanan spiritual Santo Yakobus dari Yerusalem ke Spanyol. Di Borobudur, Agus mengusulkan untuk menghidupkan kembali kata “Dharmawisata” yang pernah digagas oleh Soekarno.
“Dharmawisata diposisikan sebagai perjalanan reflektif dan proses pencarian untuk mendapatkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran seperti yang diuraikan pada Candi Borobudur,” tutur Agus.
Rancangan culture route untuk Dharmawisata Borobudur bisa dibuat berdasarkan relief Gandawyuha yang terukir di candi. Wisatawan melakukan napak tilas perjalanan Sudhana mencari sahabat spiritual seperti yang diceritakan dalam relief. Di sepanjang rute, misalnya, dibangun pos-pos dengan instalasi digital yang menampilkan panel relief dan informasi tentang budaya setempat bagi pengunjung umum dan informasi ritual bagi peziarah.
Agus kemudian mengusulkan perubahan pembagian zonasi kompleks Borobudur untuk menjaga fungsi spiritual candi sekaligus membatasi jumlah wisatawan. Dengan demikian, keutuhan candi terjaga sesuai rekomendasi UNESCO. Saat ini, wisatawan bebas naik ke candi. Akibatnya, terjadi kelebihan kapasitas. Sementara itu, umat Buddha hanya bisa beribadah di area yang jauh dari candi.
“Sebagai bagian dari pariwisata, saya dan teman-teman pun mengkritik hal ini. Kita harus benar-benar serius memfasilitasi dan mendampingi pengelolaan Borobudur ke depan yang main activity-nya adalah untuk ibadah,” tutur Agus lebih lanjut.
Agus mengusulkan kompleks Borobudur dibagi sesuai fungsinya. Pertama, ada ruang sakral sekaligus zona konservasi yang memiliki fungsi agama yang sangat dibatasi. Kedua, ruang profan sebagai zona transisi dan pendukung untuk kegiatan dan aktivitas terbatas. Ketiga, ruang publik yang bebas digunakan untuk pariwisata, seni budaya, dan bisnis.
Agar ini bisa terwujud, Agus menambahkan, keterlibatan umat Buddha amat dibutuhkan. Sebab, merekalah yang memahami nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam Candi Borobudur. Selama ini, pengembangan pariwisata di Borobudur mengandalkan interpretasi bebas dari perspektif arkeologi dan pariwisata serta mengesampingkan interpretasi spiritual dari perspektif Buddhis.
Jika ini terus dibiarkan, lanjut Agus, bisa saja anak cucu kita hanya mengenal Borobudur sebagai taman rekreasi. “Kita memerlukan sebuah penyeimbang, jalur budaya, dharmawisata yang benar-benar mengangkat nilai-nilai Borobudur sehingga orang akan tahu bahwa Borobudur adalah jejak adiluhung, nilai-nilai kebaikan, representasi dari Dharma,” tutur Agus.
Johnson Khuo yang mewakili umat Buddha, juga menyetujui usulan Agus. Johnson memaparkan bahwa Buddhisme yang disimbolkan oleh Borobudur merupakan bagian dari identitas bangsa Indonesia. Dalam sejarah, Buddhisme pernah menjadi bagian dari sejarah Indonesia.
Johnson mengutip arkeolog dan pakar Borobudur Prof. Noerhadi Magetsari yang menyebut Buddhisme di Nusantara yang berkembang pada masa pendirian Borobudur adalah ajaran yang “murni”. Ajaran itulah yang mengundang Atisha Dipankara Srijnana, biksu besar dari Bengal abad XI, belajar di Nusantara selama belasan tahun sebelum akhirnya membawa ajaran tersebut ke Tibet.
“Identitas Buddhis ini yang harus kita jaga di Borobudur agar tidak berubah menjadi theme park,” kata Johnson.
Sama halnya seperti Masjid Agung Demak yang luar biasa memiliki identitas sebagai situs Islamnya Indonesia dan Gereja Katedral Jakarta sebagai situs Katoliknya Indonesia, Borobudur juga harus dijaga identitasnya sebagai situs Buddhis Indonesia. Ini menjadikan Bhinneka Tunggal Ika betul-betul ada.
Para pembicara juga mengapresiasi video dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengenai pembenahan Borobudur. Rancangan dharmawisata Gandawyuha culture-route tadi diharapkan bisa melengkapi narasi dari Gubernur Jateng tersebut yang masih banyak terfokus pada wahana hiburan dan belum menyentuh aspek filosofis Candi Borobudur.
Johnson juga mengutip pernyataan guru besar arkeologi UGM, Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc. di situs Buddhazine.com. Menurut Prof. Timbul, Borobudur punya fungsi edukasi, ekonomi, dan yang paling penting, fungsi ideologi. Fungsi edukasi sudah mulai marak, misalnya lewat acara Sound of Borobudur yang mengangkat alat musik tradisional dalam relief. Fungsi ekonomi dan pariwisata juga tampak sedang dikejar oleh pemerintah. Tinggal fungsi ideologinya yang masih kosong dan seharusnya bisa diisi oleh umat Buddha.
“Ini adalah kesempatan umat Buddha untuk berkontribusi bagi Indonesia dan dunia,” kata Johnson.