oleh Junarsih
Situs media berita Buddhis Buddhazine.com menyelenggarakan acara daring untuk mengenang dua tahun Sutar Soemitro via aplikasi Zoom dan Youtube pada Sabtu lalu, 6 Maret 2021. Acara ini diawali dengan kenduri dan prakata dari Y.M. Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera, kemudian dilanjutkan dengan cerita para sahabat tentang Sutar Soemitro.
Siapakah Sutar Soemitro?
Nama Asli Sutar Soemitro adalah Sutaryono. Ia adalah anak kedua dari pasangan Ibu Tarmi dan Bapak Sumitro yang lahir pada 8 Mei 1980 di Desa Purwodadi, Kecamatan Kuwarasan, Kabupaten Kebumen. Sejak kecil, ia memiliki hobi yang unik, yaitu membaca berita di koran. Hobi itulah yang membuatnya menekuni dunia jurnalistik.
Sutar mulai menulis dan juga menjadi editor sejak ia kuliah di STAB Nalanda, Jakarta. Sekitar tahun 2000-an bersama muda-mudi Vihara Dhammasagara, ia mendirikan DSP Magz dan menjadi pemimpin redaksi sekaligus editor artikel. Setelah lulus kuliah, tepatnya pada tahun 2003 hingga 2009, ia membantu perintisan majalah Dunia Tzu Chi. Selama tahun itu ia ditugaskan ke berbagai daerah untuk meliput dan hasil tulisannya pun bagus. Karya liputannya tentang tsunami di Aceh masuk nominasi 10 liputan terbaik di Taiwan. Pada tahun 2009, ia keluar dari Yayasan Buddha Tzu Chi dan menjadi pekerja lepas di Sekretariat Sangha Mahayana Indonesia (SMI).
Segudang pengalaman ini membuatnya mendirikan media berita Buddhis, Buddhazine pada 11 Desember 2011 dengan dukungan dosennya, Jo Priastana, dan beberapa orang sahabat.
Perintisan Buddhazine
Bangunan tidak bisa didirikan tanpa pondasi. Begitu pula dengan keinginan Sutar untuk mendirikan sebuah media berita supaya bisa mewartakan berita Buddhis yang tidak hanya bersumber dari perkotaan, tapi juga dari pedesaan. Perwujudan ide ini pun butuh pondasi yang kuat, yakni berupa niat dan ketekunan. Niat Sutar yang begitu kuat ini menggerakkan hati salah satu temannya yang bernama Firman Lie untuk membantu Sutar dengan mempertemukannya dengan Nirwan Derwanto. Saat itu Nirwan menyuruh Sutar untuk menemukan role model dalam menulis, sehingga ia bisa menemukan karakter dalam tulisannya.
Perjalanan mewujudkan Buddhazine tidaklah mulus. Berbagai masalah harus Sutar hadapi, mulai dari tidak memahami teknologi dan juga tidak memiliki budget. Pada dasarnya Sutar memang tidak memiliki apa-apa dalam perintisannya. Namun, berkat niat dan ketekunannya yang besar, ia perlahan menemukan orang-orang yang bisa mendampinginya di sepanjang perjalanan.
Pada Festival Waisak di Surabaya tahun 2013, Sutar bertemu dengan seorang programmer bernama Billy Joeswanto. Dari pertemuan itu, Billy melihat keinginan Sutar untuk mewartakan Dharma melalui media online. Sebagai seorang Buddhis, ia pun merasa ikut bertanggung jawab dalam penyebaran Dharma sehingga ia bersedia membantu Sutar untuk membuat website Buddhazine.
Hingga saat ini Buddhazine akhirnya perlahan berkembang dan mampu mewartakan Dharma mulai dari perkotaan hingga pedesaan.
Sifat Unik Sutar Soemitro
Selain kesibukannya menjalankan Buddhazine, ada banyak cerita unik tentang sosok Sutar Soemitro. Widodo, rekan jurnalis DAAI TV, mengungkapkan saat acara kenduri Sabtu lalu bahwa Sutar tidak pernah menyervis motornya. Saya pikir karena ia memang lebih sibuk memikirkan bagaimana cara menerbitkan berita yang baik daripada harus mengurusi motornya. Selain itu, walau sehari-hari sibuk mengurusi Buddhazine, Sutar tak luput dari pengalaman khas manusia biasa, yaitu jatuh cinta.
Sutar juga merupakan orang yang sederhana, rendah hati, dan tidak neko-neko alias apa adanya. Para sahabatnya pun merasakan bahwa Sutar adalah sosok yang rendah hati sehingga menyenangkan untuk diajak ngobrol. Meski Sutar suka bicara, ia juga bisa menjadi pendengar yang baik untuk lawan bicaranya.
Saya jadi ingat saat ia terbaring sakit di kampung halamannya, ia berpesan pada saya untuk terus menulis, menulis apapun itu untuk banyak orang. Tapi sebelum menulis, saya harus membaca buku terlebih dahulu. Kata Sutar “Buku adalah sejuta ilmu”. Meski tahun lalu saya sempat sama sekali tidak menulis, sekarang saya sudah kembali menulis sambil terus mengingat pesan Sutar.
Sutar juga pernah bercerita pada saya bahwa ia hanya seseorang yang suka ikut-ikutan dengan orang lain. Kalau teman naik gunung, ia pasti ikut. Kalau teman main ke mana, ia pun ikut juga. Namun, di balik sifatnya yang hanya ikut-ikutan dengan teman, rasa ingin tahunya pun tinggi. Pernah ia bercerita saat pergi ke daerah Wonosobo, ia tidak hanya menikmati alam, tapi ia penasaran dengan manisan buah karika. Jadi, ia pun mencari tahu proses pembuatan manisan karika itu seperti apa.
Banyak sifat baik yang bisa diteladani dari mendiang Sutar Soemitro. Mulai dari sikap rendah hati, tidak mudah patah semangat, dan rela mengorbankan apa yang dimilikinya untuk kepentingan orang lain. Kita semua bisa seperti Sutar Soemitro yang telah dengan menjadi manusia yang bermanfaat dalam kehidupan kita sebagai memanfaatkan kehidupan manusianya yang berharga dengan cara menghasilkan karya yang bermanfaat untuk pengembangan Buddhadharma.
—
Siaran “Mengenang Dua Tahun Sutar Soemitro: Kiprah dan Pemikirannya” bisa disaksikan di sini.